Kasus Kematian Pekerja Migran Asal NTT Meningkat, Peneliti: “Kita Sedang Memanen Krisis dari Sistem yang Gagal”

Negara perlu hadir semenjak mereka berangkat, bukan hanya saat mereka kembali dalam peti mati

Floresa.coTingginya jumlah kasus pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meninggal di negara lain merupakan bukti  kegagalan negara membangun perlindungan dan pemberdayaan yang menjangkau akar rumput, kata peneliti. 

“Pola turun temurun itu tak pernah serius ditangani negara,” kata Dominggus Elcid Li, Direktur Eksekutif Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC).

Peneliti yang telah lebih dari dua dekade mengkaji isu migrasi di NTT itu menambahkan, “kita sedang memanen krisis dari sistem yang gagal selama puluhan tahun.” 

Menurut data yang dirilis Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Wilayah NTT, jumlah pekerja migran asal NTT yang tahun ini meninggal di negara tujuan bekerja mencapai 82 orang.

Jumlah tersebut sudah mencapai 66 persen dari total 124 sepanjang tahun lalu.

Suratmi Hamida, Kepala BP3MI NTT berkata, lembaganya mencatat peti jenazah Thamrin alias Martinus Beda sebagai ke-82 yang tiba di Bandara El Tari Kupang pada 23 Juli.

Thamrin, 51 tahun, yang berasal dari Desa Ile Boli, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata bekerja di Malaysia selama 34 tahun.

Ia “berangkat kerja secara non-prosedural,” kata Suratmi.

Dari data BP3MI, 69 pekerja migran yang kembali dalam peti jenazah itu adalah laki-laki, sisanya perempuan.

Selain itu, 77 di antaranya berstatus non-prosedural, yakni berangkat tanpa melalui mekanisme sesuai regulasi yang berlaku.

Mereka berasal dari lima kabupaten. Jumlah terbanyak dari Kabupaten Ende, Malaka dan Flores Timur, masing-masing 16, 14 dan 13 jenazah. 

Kabupaten Kupang dan Kota Kupang masing-masing mencatat tiga dan dua jenazah.

Menurut Elcid, data tersebut seharusnya menjadi alarm bagi negara untuk segera menghentikan “siklus migrasi berisiko tinggi yang menjerat warga miskin pedesaan.” 

“Tanpa perubahan mendasar” dalam sistem perlindungan sosial, pendidikan dan ekonomi di desa-desa, kata dia, “gelombang pemulangan jenazah semacam ini hanya akan terus berulang.”

Butuh Perhatian Serius Pemerintah Daerah

Suratmi mengklaim lembaganya telah membangun kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan lembaga keagamaan dan organisasi masyarakat sipil. 

Namun, katanya, upaya tersebut tidak akan berjalan efektif tanpa keterlibatan aktif pemerintah daerah.

“Tanpa perhatian dari pemerintah daerah, kita tidak akan bisa menanggulangi masalah ini,” katanya kepada Floresa.

Ia menambahkan, hal mendesak yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah membuat “kebijakan-kebijakan edukatif” untuk menyadarkan masyarakat tentang “risiko migrasi non-prosedural, termasuk bahaya perdagangan orang.” 

“Entah prosedural atau non-prosedural, mereka tetap manusia, warga NTT yang harus dilindungi,” katanya.

Dominggus Elcid Li, peneliti sekaligus Direktur Eksekutif Institute of Resource Governance and Social Change [IRGSC] Kupang. (Dokumentasi Pribadi)

Bukan Semata Masalah Teknokratis

Merespons pernyataan Suratmi, Elcid berkata, persoalan migrasi tidak bisa hanya ditangani dengan pendekatan teknokratis.

Menurutnya, pernyataan bahwa “mereka tetap manusia” dan bahwa perlindungan pekerja migran harus menjadi tanggung jawab pemerintah daerah memang penting, tetapi tidak cukup jika tidak disertai perubahan sistemik dari hulu ke hilir.

“Yang kita hadapi bukan sekadar soal edukasi, tapi soal ketidakberdayaan struktural yang dibiarkan menahun,” katanya pada 22 Juli. 

Ketidakberdayaan struktural, katanya, mencakup keterbatasan akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan dan lapangan kerja yang layak.

Elcid juga menyoroti minimnya kehadiran negara dalam menjamin akses warga terhadap dokumen sipil dasar.

“Bagaimana mungkin masyarakat bisa diberi tahu soal ‘risiko migrasi ilegal’ kalau mereka bahkan tidak punya akses terhadap dokumen dasar seperti akta kelahiran atau KTP?,” katanya.

Ia menjelaskan, rangkaian soal ini diperdalam oleh lemahnya perlindungan sosial di tingkat desa serta tidak berfungsinya mekanisme pengawasan terhadap perekrutan pekerja migran. 

“Semua itu menciptakan kondisi di mana migrasi non-prosedural menjadi satu-satunya jalan yang dianggap masuk akal oleh banyak orang,” kata Elcid.

Ia menilai bahwa pendekatan edukatif, sebagaimana disarankan Suratmi, harus berjalan seiring “pembenahan mendasar atas sistem identitas dan layanan publik di tingkat desa.”

“Bagaimana bisa orang diminta taat pada sistem yang tak pernah hadir untuk mereka sejak awal?” katanya. 

Lebih jauh, ia menyoroti pentingnya peran pemerintah daerah untuk tidak hanya ikut serta dalam kolaborasi, tetapi mengambil alih peran utama.

“Kalau kita terus mengandalkan BP3MI untuk menjangkau desa-desa, itu ibarat menyalakan lilin di tengah badai,” katanya.

Menurut Elcid, yang diperlukan adalah reposisi tanggung jawab sampai ke akar rumput.

Perangkat desa, kepala dusun, Babinsa, pendamping desa hingga jaringan gereja dan komunitas adat “harus dilibatkan secara aktif dan diberi mandat serta sumber daya untuk melindungi warganya.”

Ia mencontohkan insentif berbasis kinerja bisa diberikan kepada desa-desa yang berhasil menurunkan angka migrasi non-prosedural, seperti memasukkannya dalam skema pengelolaan dana desa.

Namun, kata dia, pendekatan insentif saja tidak cukup. 

“Kalau ada aparat desa yang justru terlibat dalam perekrutan ilegal, maka harus ditindak tegas dan diberi sanksi yang jelas,” katanya.

Pembiaran atau keterlibatan aparat desa dalam praktik perdagangan orang, menurut Elcid, merupakan bentuk “pengkhianatan terhadap mandat pelayanan publik, dan negara tidak boleh kompromi atas hal itu.”

Ia menekankan bahwa tanggung jawab perlindungan bukan semata tugas institusi teknis seperti BP3MI, melainkan soal bagaimana negara—dalam keseluruhan struktur birokrasi dan politiknya—”menjamin kehidupan warganya sejak dari lahir, bukan setelah mereka kembali dalam peti jenazah.”

“Kita butuh sistem yang hadir sebelum orang-orang ini berangkat. Bukan hanya ketika mereka meninggal dan dikirim pulang,” katanya. 

Editor: Anastasia Ika

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

BACA JUGA

BANYAK DIBACA