Koperasi Desa Merah Putih untuk Siapa?

Pembentukan koperasi ini menghilangkan dan membatalkan otonomi desa

Oleh: Abdul Kadir

Diskursus tentang pembangunan desa di Indonesia telah mengalami pergeseran signifikan, termasuk dengan diperkenalkannya Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih oleh pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

Program ini ditetapkan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang ditandatangani Prabowo pada 27 Maret.

Program ini dirancang sebagai upaya strategis untuk memperkuat  ekonomi desa melalui pembentukan koperasi di 70.000 hingga 80.000  desa di seluruh Indonesia.  

Program yang diklaim digagas dengan semangat nasionalisme ini seakan menjadi solusi yang tepat untuk masalah masyarakat desa yang kompleks. 

Kopdes Merah Putih dinarasikan dapat membuka lapangan kerja di desa. Para pengurusnya akan mengikuti pelatihan di Balai Latihan Kerja. 

Dengan anggaran Rp36 triliun per tahun yang ditunjang dengan pelatihan dan pembukaan pasar, Kopdes Merah Putih diklaim mampu menyerap hingga lebih dari tujuh juta tenaga kerja dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun. 

Lantaran program ini bervisi kerakyatan yang berbasis ekonomi desa, maka pemerintah pusat perlu menganalisis kebutuhan tiap-tiap desa. Analisis ini penting supaya pemerintah pusat tidak menyamaratakan kebutuhan antar desa. 

Namun, apakah program ini sungguh-sungguh merupakan upaya untuk membangun ekonomi desa?

Berbagai literatur menunjukkan Kopdes Merah Putih penuh dengan  kepentingan elit politik.

Alih-alih demi memperkuat desa, Kopdes Merah Putih juga dinilai sebagai desain pelembagaan ekonomi untuk menghimpun modal penguasa demi kompetisi pada pemilu 2029.

Bahkan, program koperasi itu dinilai dapat menjerat kepala desa bila dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan prosedur.

Pesimisme terhadap korporasi yang disponsori negara ini juga lahir dari pengalaman kegagalan ide serupa dalam sejarah bangsa ini.

Pada era Orde Baru, pemerintah mendirikan Koperasi Unit Desa (KUD) yang difungsikan sebagai alat distribusi pupuk dan  kredit.

Namun, koperasi itu kolaps  pasca 1998  karena  prinsip  otonomi  dikorbankan  untuk kepentingan  rezim.

KUD gagal karena dananya digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan organisasi masyarakat milik rezim, sekaligus menjadi ‘sapi perahan’ politisi lokal yang menjadi pengurus.

Pengalaman ini  menunjukkan  bahwa  koperasi yang dikendalikan negara  rentan terhadap politisasi dan intervensi pemerintah yang berlebihan.

Solusi Rakyat atau Alat Penguasa?

Riset Center of Economic and Law Studies atau CELIOS yang dipublikasi pada bulan ini menunjukkan bahwa kebutuhan utama masyarakat desa adalah jalan, jembatan, layanan kesehatan, akses pendidikan hingga SMA, akses internet dan irigasi pertanian 

Temuan ini menunjukkan bahwa masyarakat menginginkan pembangunan yang tepat sasaran dan menjawab kebutuhan nyata di lapangan. 

Temuan ini juga memperlihatkan bahwa setiap desa mempunyai kebutuhan yang sangat variatif. 

Karena itu, jangan membangun desa dengan logika kota. Artinya, sebelum mendirikan Kopdes Merah Putih, pemerintah pusat perlu melakukan riset lapangan sehingga bisa mengetahui kebutuhan   masyarakat desa.

Selain itu, alih-alih mendirikan koperasi, pemerintah pusat mestinya mengoptimalkan Badan Usaha Milik Desa (BumDes), bukan malah menggeser perannya. 

Jika ditinjau dari pendekatan ekonomi politik, kehadiran Kopdes Merah Putih akan memperbesar ketimpang sistematik.

Kopdes Merah Putih didirikan dengan pendekatan top down (dari atas ke bawah), yakni dibangun di atas logika elit bukan dari masyarakat.

Padahal, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) telah mengatur kedudukan desa yang bukan lagi secara vertikal berada di bawah pemerintah daerah.

Desa merupakan gabungan antara self governing community (masyarakat yang berpemerintahan sendiri) dengan local-self government (pemerintahan yang berasal dari masyarakat).

Hal tersebut merupakan konsekuensi dari asas rekognisi dan subsidiaritas yang terkandung dalam UU Desa.

Kedua asas itu masing-masing terkait pengakuan terhadap keberadaan desa secara historis dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada di dalamnya serta distribusi kewenangan berskala desa.

Dengan merujuk pada UU itu, desa punya hak membangun gerakan ekonomi secara mandiri yang berangkat dari kebutuhan masyarakat, bukan dari pemerintah pusat.

Karena itu, penetrasi Kopdes Merah Putih akan menghilangkan atau membatalkan ide tentang otonomi desa.

Penghilangan itu diperparah oleh pemotongan anggaran dana desa untuk diinvestasikan ke dalam Kopdes Merah Putih dengan logika cicilan per tahun melalui Himpunan Bank Milik Negara.

Melalui potongan itu, desa hanya mendapat anggaran Rp1 miliar per tahun. Sisanya akan dipotong untuk modal awal Kopdes Merah Putih.

Potongan semacam itu berpotensi membuat elit nasional berselingkuh dengan elit lokal untuk memainkan anggaran Kopdes Merah Putih demi keuntungan pribadi. 

Kebijakan ini juga berpotensi menjadi mainan elit lokal untuk membangun kekuatan politik. 

Selain itu, secara tak langsung, Kopdes Merah Putih mengembalikan sentralisasi kewenangan pemerintah pusat dalam mengontrol pemerintah desa.

Padahal, masyarakat desa mempunyai kearifan lokal untuk menciptakan kemandirian ekonomi. 

Desa mempunyai prinsip gotong royong, kolektivitas dan kekeluargaan untuk menggerakan  ekonominya. 

Kopdes Merah Putih juga akan menghilangkan esensi partisipasi masyarakat desa sebagai subjek utama demokrasi. Desa mempunyai forum musyawarah yang berfungsi sebagai medium negosiasi politik bagi masyarakat dalam merumuskan kebijakan desa yang  berbasis pada partisipasi yang bermakna. 

Dalam hal ini, masyarakat terlibat langsung dalam merancang Kopdes Merah Putih, bukan diposisikan untuk menerima begitu saja keputusan dari segelintir elit.

Sebab gagal mengidentifikasi masalah, maka gagal pula menemukan solusi.  

Proyek Kesejahteraan Rakyat atau Ambisi Buta?

Wakil Menteri Koperasi, Ferry Juliantono menyebut dengan modal yang digelontorkan sekitar Rp400 triliun, dalam jangka dua tahun keuntungan Kopdes Merah Putih bisa mencapai lima kali lipat.

Namun, menurut Rahma Gafmi, seorang Guru Besar di Universitas Airlangga, hitungan tersebut tidak logis.

Mari kita bermain hitung-hitungan.

Rasio keuntungan terhadap modal Kopdes Merah Putih adalah Rp2.000 triliun/Rp400 triliun. 

Ini berarti keuntungannya sangat besar dan tidak biasa dalam dunia bisnis.

Keuntungan dihitung dengan mengurangi total pendapatan dengan total biaya. Jika kita asumsikan total pendapatan adalah X, maka keuntungan adalah X dikurangi total biaya. 

Jika keuntungan adalah Rp2.000 triliun dan modal Rp400 triliun, maka total pendapatan harus lebih besar untuk mencapai keuntungan sebesar itu. 

Padahal, kita mengalami defisit APBN kita Rp104,2 triliun. APBN memiliki batasan anggaran yang harus dialokasikan untuk berbagai program populis pemerintah serta kegiatan-kegiatan lainnya.

Karena itu, pemerintah perlu bijak memetakan anggaran prioritas untuk mendanai program yang paling penting dan berdampak secara nyata bagi  masyarakat desa. 

Di lapangan juga masih ada anggaran desa yang dikorupsi oleh pemerintah. Jangan sampai Kopdes Merah Putih menjadi ladang korupsi baru pemerintah dan elit desa. 

Kalau Kopdes Merah Putih tidak didukung dengan sumber daya manusia mumpuni, maka program tersebut akan menjadi sia-sia. Apalagi proses pembentukannya yang secepat kilat.

Program pembentukan Kopdes Merah Putih memerlukan analisis dan  kajian mendalam untuk mengetahui risiko, dampak dan kemampuan APBN.

Abdul Kadir merupakan mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Editor: Herry Kabut

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING