‘Kalau Saya Juga Ketua RT/RW, Tidak Tepat dan Tidak Etis Bila Gelar Itu Digunakan di Surat Undangan,’ Kata Rektor Undana Soal Gelar Profesor

Maxs Sanam, rektor kampus negeri di Nusa Tenggara Timur itu menyebut gelar profesor hanya melekat pada urusan akademik

Floresa.co – Gelar profesor, yang seharusnya hanya untuk dosen yang masih aktif mengajar di perguruan tinggi dan melakukan penelitian ilmiah serta hanya digunakan untuk kepentingan akademik, mengalami perluasan makna secara sosial. 

Gelar itu juga dianggap simbol status yang menempatkan pemiliknya pada strata sosial tinggi dalam masyarakat.

Perluasan makna inilah salah satu yang dianggap pemicu sebagian orang memburunya, meski dengan cara-cara tak patut, seperti tak melakukan penelitian ilmiah, tetapi dengan cara membayar sejumlah uang. 

Investigasi Majalah Tempo baru-baru ini mengungkap praktik manipulasi untuk meraih gelar guru besar di kampus di Indonesia.

Majalah itu melaporkan bahwa 11 dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat di Provinsi Kalimantan Selatan diduga mengirimkan artikel ilmiah ke jurnal predator – merujuk ke jurnal yang kualitasnya diragukan karena tidak melalui proses peninjauan ilmiah, bagian dari langkah mendapat kredit untuk gelar profesor.

Para dosen itu diduga membayar antara  Rp70 juta – Rp135 juta kepada jurnal tersebut.

Investigasi itu memicu seruan akademisi di berbagai perguruan tinggi untuk menempatkan status profesor pada porsinya yang tepat.

Maxs Sanam, rektor Universitas Nusa Cendana [Undana] Kupang yang berbicara kepada Floresa pada 19 Juli berkata, profesor adalah jabatan fungsional tertinggi dosen yang masih aktif mengajar di satuan pendidikan tinggi. 

Profesor, kata dia, sejatinya adalah penjaga nilai dan marwah akademik.

“Apabila ada tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai akademik itu sendiri, apalagi dilakukan oleh para kandidat profesor, sangatlah tidak patut,” kata Maxs.

Sementara Pater Otto Gusti Madung SVD, rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Flores berkata, profesor adalah gelar akademik yang berpijak pada objektivitas dan kebenaran.

“Urusan jual beli gelar profesor ini telah merusak integritas moral dan akademik lembaga pendidikan tinggi,” katanya.

Sementara itu, dalam sebuah pernyataan yang diteken 1.180 akademisi dari 245 perguruan tinggi dan institusi akademis lainnya, Aliansi Akademisi Indonesia Peduli Integritas Akademik menyatakan, praktik curang ini “adalah suatu pelanggaran akademik yang serius yang bisa menjurus perbuatan melanggar hukum dan merugikan bangsa.”

Otto salah satu dosen yang ikut meneken pernyataan bersama aliansi itu. “Saya bersama rekan-rekan akademisi lainnya menentang dengan keras praktik tidak terpuji tersebut.” katanya.

Maxs sepakat dengan seruan aliansi itu, yang salah satunya, mendesak pemerintah memberikan perhatian serius terhadap pelanggaran atau kecurangan dalam upaya meraih gelar profesor karena menurunkan marwah atau martabat akademik.

Desakralisasi Gelar Profesor

Masalah ini juga telah memunculkan upaya pentingnya desakralisasi gelar profesor, seperti yang digaungkan Rektor Universitas Islam Indonesia, Fathul Wahid dalam suratnya kepada pejabat struktural di lingkungan kampus pada 18 Juli.

Ia meminta gelar akademik itu tidak lagi disandingkan dengan namanya di berbagai surat atau dokumen resmi di kampus. Alasannya, kata Fathul, gelar profesor bukan sebuah status sosial yang perlu dikejar-kejar.

“Jadi, profesor itu ya tanggung jawab, amanah,” bukan “status yang kemudian diglorifikasi, dianggap suci, sakral,” katanya.

Langkahnya menuai pujian dari sejumlah kalangan, namun ada juga yang mengkritiknya. 

Salah satunya Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia, Mohammad Nasih.

Ia berkata, tidak perlu desakralisasi gelar, cukup digunakan secara proporsional. 

Nasih menyebut saat seseorang tidak melakukan kegiatan akademis, maka gelar profesor tidak perlu dibawa-bawa.

“Kapan dan dalam kondisi apa profesor digunakan,” katanya seperti dilansir CNN Indonesia, adalah hal yang lebih penting diperhatikan.

Maxs Sanam dari Undana juga tidak sepakat dengan istilah desakralisasi itu.

“Secara pribadi, gelar bukan suatu jabatan yang sakral. Dan karena tidak sakral maka tidaklah penting untuk dilakukan desakralisasi apapun alasannya,” kata Maxs.

Hal yang terpenting, kata dia, adalah jabatan atau gelar profesor tersebut, termasuk juga penggunaan gelar-gelar akademik seperti Doktor, Magister, Sarjana dipergunakan “pada aktivitas dan momen yang tepat dan profesional.”

Ia menekankan bahwa “bagi dunia perguruan tinggi dan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang ada, profesor atau guru besar itu bukan gelar, tetapi jabatan fungsional dosen aktif.”

Karena itu, apabila dosen tidak lagi aktif mengajar di perguruan tinggi atau telah purna bakti maka ia tidak lagi menyandang jabatan fungsional profesor. 

Maxs juga mengingatkan bahwa “bagi akademika kampus, seorang yang memiliki jabatan profesor tidak berarti bahwa dia lebih pintar daripada dosen lain yang tidak profesor.”

Anggapan yang keliru, kata dia, justru lebih banyak ada dalam persepsi masyarakat awam atau mereka yang terlanjur mendewakan gelar profesor untuk kepentingan-kepentingan populer sehingga dengan segala daya dan cara berupaya meraih gelar tersebut. 

“Etika akademik menuntun seorang dosen yang beretika dan bermartabat bahwa jabatan profesor hanya disematkan atau dipakai dalam interaksi dan aktivitas akademik di kampus dan kepentingan administrasi akademik.” kata Maxs.

Tidak perlu dan tidak etis, kata dia, apabila jabatan akademik tersebut dipakai dalam aktivitas-aktivitas yang bersifat non akademik. 

“Sebagai rektor, saya tentunya wajib menggunakan gelar profesor untuk ijazah dan surat atau administrasi akademik. Namun, jika seandainya saya juga merangkap sebagai Ketua RT/RW, tentunya tidak tepat dan tidak etis apabila saya mengeluarkan surat undangan dengan menggunakan jabatan profesor,” kata Maxs.

Alur Usulan Gelar Profesor di Undana

Di Undana, kata Maxs,  prosedur kenaikan jabatan fungsional, termasuk di dalam jabatan guru besar, dilakukan secara berjenjang dari Program Studi, Fakultas dan Universitas. 

“Usulan kelayakan guru besar akan dibawa dalam rapat senat dan dibahas juga di dalam Komisi Guru Besar.”

Senat, kata dia, tidak akan memberikan rekomendasi usulan Guru Besar bagi dosen yang terlibat pelanggaran akademik, administratif, maupun pelanggaran etik dan moral. 

“Sebelumnya pada tingkat universitas, akan ada tim yang memverifikasi kualitas usulan angka kredit calon guru besar, termasuk keabsahan publikasi dosen yang bersangkutan pada jurnal-jurnal bereputasi.”

Tim itu bernama Komite Integritas Akademik yang “diketuai langsung oleh wakil rektor satu dan bertanggung jawab langsung kepada rektor.”

Selama ini, kata Maxs, tidak ada temuan terkait pelanggaran-pelanggaran akademik publikasi para guru besar, termasuk calon di kampusnya.

Editor: Petrus Dabu

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya