Floresa.co – Selama delapan tahun terakhir, sebuah komunitas warga di Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur terlibat dalam konservasi penyu laut.
Langkah Komunitas Sahabat Penyu Loang berlangsung di tengah minimnya perhatian pemerintah setempat terhadap satwa dilindungi itu yang kini terancam punah.
Mereka membantu menjaga sarang, merawat telur hingga menetas, lalu melepasliarkan anak penyu ke laut setelah dinilai sudah bisa bertahan hidup.
Terdiri dari enam anggota, komunitas ini kini memusatkan upaya konservasi di Pantai Riang Dua, Desa Bour, Kecamatan Nubatukan.
“Kami memilih konsentrasi pada konservasi penyu setelah mengamati aktivitas tangkap dan jual penyu laut oleh masyarakat,” kata ketua Komunitas Sahabat Penyu Loang, Polikarpus Bala.
Salah satu yang jadi fokus mereka adalah penyu hijau, katanya.
Penyu ini masuk dalam daftar salah satu dari enam penyu yang dilindungi di Indonesia, menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Lima jenis lainnya adalah penyu bromo, penyu belimbing, penyu sisik, penyu lengkang dan penyu pipih.
Daftar merah atau red list oleh Union for Conservation of Nature and Natural Resources [IUCN], lembaga internasional yang menangani isu konservasi alam dan sumber daya alam, menempatkan penyu hijau sebagai spesies yang rentan.
Sedangkan Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Terancam Punah [CITES] mengkategorikannya ke dalam Appendix I, artinya termasuk spesies paling terancam punah dan paling berisiko punah, menurut Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam.
Sejak 2016, kata Polikarpus, mereka mengidentifikasi 443 sarang, tempat bertelur penyu laut di pesisir Lembata.
Pada ratusan sarang itu, 49.612 telur penyu telah menetas. Yang hidup 33.884 ekor, sementara yang mati 3.440.
Polikarpus berkata, hingga kini masih ada 5.534 yang belum berkembang dan 5.510 yang tidak jadi menetas.
Perburuan yang Marak
Anggota komunitas sering melaporkan perburuan liar penyu sepanjang pantai selatan hingga pantai utara Pulau Lembata, kata Polikarpus.
“Penyu belimbing dan penyu sisik paling banyak diburu masyarakat,” katanya.
Polikarpus berkata, praktik perburuan terbanyak di Pantai Desa Loang, yang berjarak 20 kilometer ke arah selatan dari Lewoleba, Kecamatan Nubatukan.
Perburuan penyu sisik di desa itu bisa mencapai tujuh ekor dalam seminggu, katanya, sehingga dalam sebulan diperkirakan 28 ekor dan per tahun 336 ekor.
Perburuan di desa lain tidak dapat dipastikan jumlahnya, tapi selalu ada, kata Polikarpus.
Ia menyebut aktivitas perburuan masih dianggap normal dan dibiarkan di beberapa desa, seperti Desa Baobolak, Mingar, Labala, Wulandoni, Weateba sampai Atanila dan Nilanapo.
“Tujuan mereka memenuhi kebutuhan ekonomi,” katanya.
Selain dagingnya dikonsumsi dan dijual, cangkang dari kedua penyu ini diolah dan kemudian dijadikan aksesoris gelang, anting, atau kalung, kata Polikarpus.
Para pemburu juga sering mengambil tukik atau anak penyu di tepi pantai.
Kekhawatirannya juga terkait aktivitas pemboman ikan yang sering terjadi di perairan Lembata.
Polikarpus berkata hal ini bisa mengganggu keseimbangan ekosistem penyu laut.
Ia berkata, seharusnya warga Lembata seharusnya tidak menyasar satwa yang dilindungi itu, karena hasil tangkapan ikan “masih bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk kebutuhan ekonomi.”
Lembata, pulau di sebelah timur Flores yang berhadapan dengan Laut Sawu di sisi selatan dikelilingi oleh perairan yang luas dengan potensi laut melimpah.
Dengan luas perairan 3.353,895 kilometer persegi dan panjang garis pantai 492,80 kilometer persegi, perikanan tangkap di kabupaten itu mencapai 44.903, 075 ton per tahun, menurut data Dinas Perikanan pada 2021.
Pemerintah Belum Lakukan Upaya
Polikarpus berharap ada intervensi dari pemerintah daerah, terutama Dinas Perikanan Lembata, terhadap upaya konservasi penyu.
Ia berkata, “intervensi anggaran selama ini hanya disediakan terpusat untuk penyediaan alat tangkap masyarakat nelayan tradisional,” dan tidak ada pada upaya konservasi.
Berbicara kepada Floresa pada 20 Juli, Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Lembata, Hadi Umar Abdullah mengakui memang belum ada tindakan yang signifikan untuk konservasi penyu.
Ia berkata dinasnya masih sebatas sosialisasi dan diseminasi informasi untuk mengatasi masalah perburuan penyu.
Pemicunya, kata Hadi, tugas dan wewenang konservasi penyu laut menjadi kewenangan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT, sekaligus untuk anggaran.
“Kami di Dinas Perikanan Lembata tidak ada anggaran untuk konservasi penyu. Regulasi anggaran dari dinas di provinsi,” katanya.
Sejauh ini, kata dia, belum ada alokasi anggaran dari dinas di provinsi untuk dinasnya.
“Kami masih menunggu dana dekonsentrasi, baru bisa eksekusi program konservasi penyu”, katanya.
Ia menjelaskan, saat sebelumnya mencoba mengkomunikasikan hal itu, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT sulit mendistribusi anggaran karena berbagai kesulitan, meski tidak menjabarkan lebih lanjutan alasannnya,
Hadi berjanji akan mengkomunikasikan lagi hal tersebut.
Di sisi lain, ia juga mengklaim pihaknya terbentur dengan regulasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Regulasi itu terkait Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 06/KEPMEN-KP Tahun 2014 Tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu dan Sekitarnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2014-2034.
Namun, ia lagi-lagi tidak merinci poin dalam regulasi tersebut yang membatasi kerja dinasnya.
Pertahankan Inisiatif
Sementara pemerintah tidak bisa berbuat banyak untuk menjaga kelestarian penyu, komunitas Sahabat Penyu Loang berkomitmen tetap merawat inisiatif mereka.
Bagi Polikarpus, upaya konservasi ini adalah juga bagian dari upaya menjalankan regulasi pemerintah. Salah satunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pasal 21 ayat 2 huruf a menyatakan setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
Polikarpus berkata, sebagai komitmen bersama, komunitasnya membuat program tidak makan daging penyu dan memakai aksesoris yang terbuat dari cangkang penyu.
Langkah ini, kata dia, juga untuk menarik minat wisatawan lokal dan asing terhadap upaya konservasi itu.
Ia berkata, sejak 2021, kunjungan wisatawan asing ke komunitas Sahabat Penyu Loang rata-rata 40 orang per tahun.
Tidak hanya berkunjung, wisatawan juga terlibat dalam konservasi.“Mereka berpatroli bersama relawan lokal dan mengajarkan Bahasa Inggris kepada anak-anak komunitas,” kata Polikarpus.
Editor: Ryan Dagur