Floresa.co – Kompetisi antarsekolah telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia.
Model-model kompetisi lumrahnya terkait bidang akademis, seperti olimpiade sains dan matematika, hingga bidang non-akademis seperti olahraga, seni, dan debat.
Kompetisi berlangsung pada berbagai jenjang, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini [PAUD], Sekolah Dasar [SD], Sekolah Menengah [SMP, SMA, SMK] hingga Perguruan Tinggi.
Lomba antarsekolah kerap dianggap sebagai sarana untuk mendorong siswa mengembangkan bakat dan keterampilan serta memupuk semangat kompetisi yang sehat.
Lomba antarsekolah juga dapat menjadi platform mengekspresikan kreativitas dan inovasi siswa.
Melalui berbagai kompetisi seperti seni, sains, atau teknologi, siswa dapat mengembangkan ide-ide baru dan solusi kreatif penyelesaian masalah tertentu.
Selain itu, kompetisi juga memberi kesempatan bagi siswa untuk belajar dari pengalaman praktis, kolaborasi dengan sesama siswa, dan mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam konteks nyata.
Saya menemukan kompetisi memang dapat mendorong kolaborasi antarsekolah, dengan siswa dapat saling belajar, bertukar ide dan memperluas wawasan melampaui lingkungan sekolah mereka sendiri.
Kompetisi juga mengakomodasi beragam minat dan bakat siswa di bidang olahraga hingga seni dan sains, yang memungkinkan setiap siswa mengeksplorasi minat dan berkembang sesuai bakat masing-masing.
Cenderung Timpang
Meski tampak bernilai positif, saya menilai praktik kompetisi justru cenderung tak berkeadilan. Sebaliknya, melanggengkan ketimpangan antarsekolah dan kapasitas diri siswa.
Sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas dan sumber daya yang lebih baik cenderung lebih unggul dalam berbagai lomba, sementara sekolah-sekolah di daerah kurang mampu tertinggal jauh.
Menjadi lumrah ketika kecenderungan tersebut menimbulkan perdebatan tentang keadilan dan pemerataan serta kesempatan bagi semua siswa di negeri ini.
Hal ini melahirkan pertanyaan tentang apakah lomba antarsekolah efektif dalam menggali potensi siswa, atau justru menambah beban bagi mereka.
Tidak sedikit siswa yang merasa tertekan akibat ekspektasi tinggi dari sekolah dan orang tua untuk memenangi lomba.
Tekanan ini bisa berdampak negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan siswa.
Hal lainnya yang penting dievaluasi adalah kecenderungan menitikberatkan target prestise dan penghargaan eksternal ketimbang pembelajaran dan pengembangan pribadi.
Dalam beberapa kasus, motivasi untuk memenangkan lomba bisa menggeser fokus dari proses belajar yang menyenangkan dan bermakna menjadi sekadar mengejar trofi dan medali.
Sebab-Sebab Kesenjangan
Sekolah-sekolah di daerah terpencil sering kali menjadi korban dari ketidaksetaraan peluang dalam berbagai kompetisi, termasuk lomba antarsekolah.
Hal ini juga mengarah pada kesenjangan pembangunan.
Ada beberapa sebab kesenjangan.
Pertama, keterbatasan fasilitas dan sumber daya.
Sekolah-sekolah di daerah terpencil umumnya memiliki fasilitas yang terbatas dan sumber daya yang kurang memadai.
Misalnya kurangnya laboratorium, perpustakaan yang lengkap, atau bahkan akses internet yang dapat menghambat siswa berkembang dan bersaing secara maksimal..
Kedua, sebagai dampak lanjutannya, akses siswa terhadap informasi dan materi pembelajaran menjadi terbatas.
Sekolah-sekolah di daerah terpencil seringkali memiliki akses yang terbatas terhadap informasi dan materi pembelajaran terkini.
Buku-buku pelajaran yang belum diperbarui, minimnya koleksi perpustakaan, serta keterbatasan akses internet menjadi hambatan bagi siswa untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bersaing.
Ketiga, kurangnya pelatih dan mentor berkualitas.
Pelatih dan mentor berkualitas seringkali lebih banyak terdapat di sekolah-sekolah di kota besar, atau perkotaan.
Siswa di daerah terpencil mungkin sama sekali tidak memiliki akses yang sama terhadap bimbingan dan arahan atau pelatihan yang diperlukan untuk meraih prestasi dalam kompetisi.
Keempat, hal yang lebih serius lagi adalah kesenjangan ekonomi dan sosial.
Siswa dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah cenderung tidak mampu memenuhi kebutuhan fasilitas penunjang belajar, hal yang berbeda dengan siswa dari kalangan ekonomi tinggi.
Selain itu, faktor-faktor sosial seperti ketidakpercayaan diri atau rasa minder juga dapat mempengaruhi partisipasi siswa dalam kompetisi.
Kelima, sebab-sebab di atas dapat diperparah oleh kurangnya dukungan dan pengakuan dari pemerintah atau masyarakat setempat.
Program-program bantuan atau insentif untuk meningkatkan kualitas pendidikan seringkali lebih banyak tersedia bagi sekolah-sekolah di perkotaan.
Akibatnya, sekolah-sekolah di daerah terpencil mungkin merasa terpinggirkan dan kurang diakui dalam kompetisi.
Selain karena hal-hal di atas, faktor lain yang menjadi penyebab sekolah kecil menjadi tumbal adalah faktor ketenaran.
Bukan suatu rahasia lagi bahwa faktor ketenaran atau nama besar sekolah kerap mempengaruhi penilaian tim penilai [juri lomba] yang lebih fokus pada peserta dari sekolah favorit dibandingkan dengan sekolah baru yang minim prestasi.
Keluhan ini bukan opini apalagi protes melainkan fakta yang sering didiskusikan pada lembaga pendidikan di wilayah pinggiran.
Menghapus Jurang Ketimpangan
Selain mengembangkan minat dan bakat siswa, kompetisi antarsekolah juga menjadi ajang kolaborasi siswa dan guru.
Di sana ada “ring” pertarungan gengsi sesama lembaga. Semua sekolah ingin menjadi yang terbaik, unggul dan favorit.
Namun, bagaimana nasib sekolah kecil, terpencil dan serbakekurangan?
Bisakah mereka bersaing dengan sekolah di kota dan sekolah yang sudah memiliki nama besar?
Jawabannya, mustahil, kecil kemungkinan untuk bisa bersaing.
Di era Kurikulum Merdeka yang memiliki tujuan membangun potensi siswa sesuai fitrahnya, apakah sekolah yang memiliki banyak kekurangan fasilitas penunjang dan tidak menjuarai lomba debat [misalnya], dianggap tidak berkualitas?
Tentu saja tidak. Masih ada kelebihan lain sekolah tersebut yang mungkin saja tidak diakomodasi dalam kompetisi.
Guna mengatasi ketidaksetaraan peluang yang dialami oleh sekolah-sekolah di daerah terpencil, penulis menilai pentingnya upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait.
Upaya bersama itu termasuk peningkatan akses terhadap fasilitas dan sumber daya, pelatihan dan bimbingan bagi guru dan siswa, serta program-program bantuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah terpencil.
Selain itu, pengelola sekolah perlu berinovasi dalam mengatasi keterbatasan. Misalnya, memanfaatkan teknologi sederhana untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, atau menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah di kota untuk berbagi sumber daya dan pengetahuan.
Masyarakat juga bisa berperan dengan mendukung pendidikan anak-anak di lingkungan sekitar, baik melalui donasi buku, sukarelawan pengajar, maupun dukungan moral.
Saya juga beranggapan sistem kejuaraan lebih baik dihapuskan, lalu digantikan dengan penghargaan.
Pengubahan itu semoga dapat melemahkan diskriminasi, frustasi serta hilangnya kepercayaan diri, baik pada peserta didik maupun pendidik.
Pada akhirnya, kompetisi antarsekolah seharusnya menjadi ajang yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua siswa untuk berprestasi.
Hemat saya, cara ini bertujuan untuk menghapus jurang ketimpangan dalam fasilitas dan kualitas pengajaran, agar kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih adil dan merata bagi semua peserta didik.
Pendidikan yang merata dan berkualitas untuk semua adalah kunci utama menghapus ketimpangan dalam kompetisi dan membangun generasi penerus yang berprestasi, tanpa memandang latar belakang geografis mereka.