Oleh: Siprianus Edi Hardum
Pada 21 Maret 2024, anggota Komisi III DPR RI, Benny Kabur Harman meminta para jurnalis agar membongkar mafia tanah di Labuan Bajo yang melibatkan oknum kepala desa, petugas Badan Pertanahan Nasional [BPN] dan aparat penegak hukum lainnya.
Permainan mafia tanah di Labuan Bajo, kata Benny, sangat sistematis. Ia menyebut kerja para mafia sebagai bagian dari perampasan hak rakyat atau masyarakat lokal dengan berbagai macam modus. Beberapa di antaranya adalah melalui proses hukum dengan merekayasa hukum, merekayasa kasus, pemalsuan sertifikat tanah orang dan ada permainan hukum.
Hal yang dikatakan Benny sebetulnya bukan sesuatu yang baru, karena mafia tanah di Labuan Bajo ada sejak setidaknya satu dekade lalu.
Mafia tanah di Labuan Bajo hampir sama dengan yang terjadi secara nasional atau di kota-kota besar di Indonesia. Labuan Bajo bisa dikatakan sebagai subsistem kejahatan dalam pertanahan yang terjadi secara nasional. Mengapa? Karena pelakunya hampir sama dan pola permainannya sama juga.
Mafia tanah di Labuan Bajo tidak terlepas dari status kota di ujung barat Pulau Flores itu sebagai destinasi wisata super premium. Labuan Bajo yang indah menggoda banyak turis, baik domestik maupun mancanegara untuk menikmatinya. Saban hari, banyak penikmat keindahan laut, pantai dan gunung mendatangi Labuan Bajo.
Hal ini membuat peredaran uang di Labuan Bajo menjadi tinggi. Dampak lanjutannya, harga-harga barang melonjak, termasuk biaya sewa hotel.
Peredaran uang yang tinggi juga berjalan seiring dengan banyaknya orang yang ingin memiliki tanah dan membangun rumah serta penginapan. Bebukitan dan lekukan lembah pinggir pantai seperti di Golo Mori dan sekitarnya mengundang banyak pengusaha lokal dan internasional untuk berinvestasi dalam bidang perhotelan, bahkan gedung perkantoran.
Pada akhir April 2024, pihak perusahaan properti terbesar dan ternama di tanah air Ciputra bertemu Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi menyampaikan rencana membangun perumahan di Labuan Bajo. Kedatangan pihak Ciputra bertemu bersamaan dengan ratusan anggota Real Estate Indonesia [REI] yang hadir di Labuan Bajo untuk merayakan HUT ke-52 organisasi itu.
Ketua Umum DPP REI, Joko Suranto mengatakan, perputaran uang selama empat hari penyelenggaraan acara itu di Labuan Bajo mencapai Rp 100 miliar. Ini baru acara REI, belum acara-acara besar sebelumnya dan yang akan datang.
Informasi yang saya dapat, jauh hari sebelumnya, pihak perusahan properti besar lain di Indonesia, Sinar Mas menyampaikan rencana akan membangun mal di Labuan Bajo. Beberapa hari lalu pengusaha asal Uni Emirat Arab [UEA], pemilik menara tertinggi di Timur Tengah, Burj Khalifah, mendatangi Labuan Bajo. Informasinya, ia melihat lahan untuk dibeli yang akan menjadi lokasi pembangunan hotel berkelas internasional.
Prakti Mafia Tanah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring, mafia berarti perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan/kriminal. Orang yang terlibat dalam mafia disebut mafioso.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Nia Kurniati mendefenisikan mafia tanah sebagai kejahatan di bidang pertanahan yang melibatkan sekelompok orang yang saling bekerja sama untuk memiliki ataupun menguasai tanah milik orang lain secara tidak sah. Para pelaku menggunakan cara-cara yang melanggar hukum, yang dilakukan secara terencana, rapi, dan sistematis [Nia Kurniati, 2023].
Menurut saya, mafia tanah terjadi karena beberapa hal. Pertama, ada permintaan yang tinggi [demand], sementara ketersediaan [suplay] tanah terbatas. Kedua, pengawasan yang rendah serta minimnya penegakan hukum. Ketiga, banyaknya aparat penegak hukum ikut bermain dalam praktik mafia tanah. Misalnya, oknum dari BPN, oknum Polri, TNI, kejaksaan, hakim dan oknum dari Kementerian Hukum dan HAM.
Pengalaman yang saya temukan dalam mendampingi klien yang tertimpa kasus pertanahan, modus operasi yang dilakukan oleh mafia tanah adalah pemalsuan dokumen, melanggar Pasal 263 KUHP [pemalsuan surat] dan Pasal 266 KUHP [pemalsuan dokumen].
Selain itu, mereka melakukan kolusi dengan oknum dari BPN dan aparat penegakan hukum. Praktik lain mafia tanah adalah melakukan rekayasa perkara dengan menyuap oknum polisi, jaksa dan hakim.
Dampak yang timbul dari mafia tanah antara lain banyak masyarakat yang kehilangan hak atas tanah; tidak terwujudnya kepastian hukum dan hilangnya keadilan; pembangunan terhambat karena investor takut untuk berinvestasi; berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara; serta terjadi sengketa penguasaan hak kepemilikan atas tanah.
Mafiah Tanah dan Tanah Ulayat
Tanah yang menjadi sasaran mafia di Labuan Bajo lebih banyak tanah adat/ulayat atau bekas tanah adat/ulayat. Hak ulayat berkaitan dengan masyarakat hukum adat. Keberadaan masyarakat hukum adat diatur dalam dalam pasal 18B ayat [2] UUD 1945 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Pakar Hukum Agraria dari Universitas Gadjah Mada [UGM], Maria Sumardjono, mengatakan, hak ulayat utamanya berkenaan dengan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum itu berisi wewenang dan kewajiban. Artinya, tanah dalam lingkungan wilayahnya itu mencakup luas kewenangan masyarakat hukum adat berkenaan dengan tanah termasuk segala isinya, yakni perairan, tumbuh-tumbuhan dan semua binatang di dalamnya [Maria Sumardjono, 2008: 171].
Selanjutnya, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria [UUPA] mengakomodasi hak ulayat dengan penegasan bahwa “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Menurut Maria Sumardjono, penjelasan pasal 3 UUPA tersebut berkenaan dengan eksistensi dan pelaksanaannya.
Namun, pengakuan keberadaan hak ulayat oleh UUPA tidak memberikan kriteria tertentu. Menurut pakar Agraria dari Universitas Trisakti, Boedi Harsono, alasan para perancang dan pembentuk UUPA tidak mengatur tentang hak ulayat adalah karena pengaturan hak ulayat, baik dalam penentuan kriteria eksistensi maupun pendaftarannya, akan melestarikan keberadaan hak ulayat, sedangkan secara alamiah terdapat kecenderungan melemahnya hak ulayat [Maria Sumardjono, 2008:175].
Sementara Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menganut persepsi yang berbeda tentang hak ulayat. Jika dalam hukum tanah nasional hak ulayat disikapi sebagai hak dasar atas tanah dengan segala isinya [termasuk hutan], maka dalam konsepsi kehutanan status hutan dibagi menjadi dua, yakni hutan negara dan hutan hak. [Pasal 1 angka 5 dan 6 UU 41/1999 tentang Kehutanan]. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah [Pasal 1 angka 5], sementara hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat [Pasal 1 angka 6].
Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 1 angka 2 menyebutkan, “Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu”.
Pasal 1 angka 1 peraturan itu menyebutkan, “Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.
Selanjutnya Pasal 1 angka 3 peraturan itu berbicara mengenai masyarakat hukum adat, yakni sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Dari pengertian-pengertian tanah adat di atas, dapat disimpulkan bahwa, pertama, negara mengakui masyarakat hukum adat sepanjang masih ada. Kedua, baik peraturan perundang-undangan maupun doktrin [pendapat pakar] tidak memberikan kriteria dan struktur masyarakat hukum adat. Hal ini tentu sebagaimana dikatakan Boedi Harsono di atas karena lama-lama keberadaan masyarakat hukum adat akan hilang.
Bagaimana dengan masyarakat hukum ada untuk konteks Labuan Bajo? Berdasarkan pantauan saya, keberadaan masyarakat adat di Labuan Bajo sama-samar. Mengapa?
Pertama, rumah adat rumah dan strukturnya masyarakat hukum adatnya tidak jelas. Beda dengan wilayah Manggarai Barat lainnya, Manggarai dan Manggarai Timur, yakni ada rumah adat yang disebut Lumpung dan Gendang. Di Manggarai Raya [Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur] umumnya dikenal istilah gendangm one lingko’n pe’ang [rumah adat di kampung dan lahan bersama di sekitar kampung, yang disebut sebagai tanah adat].
Kedua, tanah yang disengketakan saat ini di Labuan Bajo adalah tanah-tanah bekas tanah adat/ulat. Tanah-tanah adat ini dulunya diserahkan secara adat kepada orang-orang tertentu atau lembaga-lembaga tertentu seperti kepada lembaga pemerintah, yayasan, koperasi bahkan perusahaan perseroan.
Penyerahan adat itu bisa dilakukan karena jual beli, bisa karena dengan cara adat yakni kapu manuk [bawa ayam] dan lele tuak [bawa tuak/minuman beralkohol], ala adat Manggarai.
Pelaku Mafia Tanah di Labuan Bajo
Siapa saja pelaku mafia tanah di Labuan Bajo?
Pertama, tua adat abal-abal. Pada zaman dahulu, penyerahan tanah adat tidak dibukukan, seperti surat penyerahan tanah dan ada yang dibukukan yakni surat jual beli atau surat penyerahan tanah. Ketika tua adat terdahulu meninggal dunia, maka muncul tua adat baru [tua adat pengganti]. Tua adat baru ini sah karena memang merupakan pengganti tua adat lama yang sudah meninggal dunia. Sebelum tua adat terdahulu meninggal dunia, ia [tua adat baru] ditunjuk oleh tua adat terdahulu dengan surat pengangkatan atau berdasarkan surat wasiat atau karena ahli waris langsung [vertikal].
Namun, saya juga menemukan ada tua adat baru yang muncul dengan mengangkat dirinya sendiri dengan cara membuat surat pengangkatan diri, seolah-seolah surat pengangkatan itu dibuat tua adat terdahulu. Dalam hal ini, tanda tangan tua adat terdahulu dipalsukan. Tua adat baru yang demikian, yang saya istilahkan sebagai tua adat mafioso atau tua adat abal-abal.
Selanjutnya, tanah-tanah yang sudah diserahkan tua adat terdahulu, oleh tua adat mafioso atau abal-abal ini dijual kembali kepada orang lain, entah itu orang asing atau pendatang dari luar Manggarai Barat atau orang Manggarai Barat sendiri. Umumnya dijual kepada orang yang berduit dari Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Kedua, oknum kepala desa. Dalam menjalankan praktik mafianya, agar tanah di bawah penguasaanya terjual, tua adat mafioso bekerja sama dengan oknum kepala desa. Oknum kepala desa juga sebagai calo tanah di Manggarai Barat terutama di Labuan Bajo.
Ketiga, oknum notaris dan oknum BPN. Tua adat mafioso ini selain bekerja sama dengan oknum kepada desa juga kerja sama dengan oknum notaris dengan oknum petugas BPN dalam proses pembuatan sertifikat tanah. Karena itu, tidak heran jika tanah yang bermasalah di Labuan Bajo adalah tanah-tanah yang kebanyakan justru telah bersertifikat.
Keempat, oknum polisi dan oknum TNI. Yang penulis temukan juga di Labuan Bajo adalah tua adat abal-abal dibekingi oknum polisi yang masih aktif, sudah pensiun dan oknum tentara serta oknum jaksa dan oknum hakim dalam proses kasus tanah di pengadilan.
Pada dasarnya, bagaimanapun jahatnya permainan tua adat abal-abal yang bekerja sama dengan oknum kepada desa, kalau aparat penegak hukum seperti BPN, polisi, jaksa dan hakim bekerja benar, mafia tanah tidak akan terjadi.
Kunci utama pencegahan dan pemberantasan mafia tanah adalah pihak BPN, polisi, jaksa dan hakim. Kalau pihak BPN benar-benar menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka mafia tanah tidak terjadi, seperti BPN mewajibkan masyarakat mendaftarkan tanah, bagaimana melakukan pengurusan sertifikat tanah, bagaimana pendaftaran tanah untuk tanah bekas hak milik adat serta pensertifikatan tanah adat/ulayat.
Tanah harus didaftarkan untuk menjamin kepastian hukum pemegang hak atas tanah dan pihak lain yang berkepentingan atas tanah tersebut, sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Tanah didaftarkan di kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota Madya di mana tanah itu berada.
Selanjutnya mengenai sertifikat atas tanah. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat [2] huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan [Pasal 1 angka 20 PP 24/1997]. Pengeluaran sertifikat diperlukan adanya usaha, yaitu mengajukan permohonan, mempersiapkan surat-surat yang diperlukan, menghadap pihak BPN.
Untuk tanah bekas milik adat – yang dikuasai masyarakat dalam keadaan belum bersertifikat dan ditandai dengan surat girik – pendaftarannya diajukan ke BPN Kabupaten atau Kota Madya. Pengajuan dilengkapi dengan persyaratan [1] bukti pembayaran pajak [petuk pajak bumi, pipil, atau kekitir], [2] surat perolehan tanah [AJB jika terjadi jual beli, keterangan waris, hibah], [3] kuitansi jual beli, [4] surat keterangan riwayat tanah, [5] surat pernyataan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa, [6] identitas pemohon [KTP, KK, Akta Pendirian Badan Hukum], [7] surat pemberitahuan pajak terutang dan surat tanda terima setoran PBB [10 tahun terakhir] dan bukti pembayaran BPHTB, [8] surat permohonan pengukuran tanah [di Kantor BPN setempat], [9] surat kuasa bermaterai jika pengurusan sertifikat dikuasakan kepada orang lain, dan [10] surat pernyataan pemasangan tanda batas.
Sementara tanah adat [tanah ulayat] adalah tanah yang berada dalam penguasaan suatu masyarakat hukum adat. UUPA dan PP 24 / 1997 tidak memerintahkan pendaftaran hak ulayat, juga tidak dimasukan dalam golongan objek pendaftaran tanah.
Berbeda dengan prosedur mendapatkan tanah hak milik, hak guna bangunan dan lain-lain, untuk mendapatkan tanah ulayat, pihak tersebut mengadakan musyawarah dahulu dengan wakil dari masyarakat hukum adat untuk mencapai kesepakatan pelepasan hak.
Jika tercapai kesepakatan, maka dibuatkan suatu akta atau surat pelepasan hak yang berisi [1] pernyataan pelepasan hak, [2] pemberian ganti rugi.
Setelah pelepasan hak terjadi, maka status tanah adat tersebut berubah menjadi tanah negara, maka pihak yang membutuhkan harus melakukan prosedur permohonan hak terhadap tanah negara.
Beberapa Usulan
Ada beberapa usulan untuk menuntaskan masalah mafia tanah di Labuan Bajo.
Pertama, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat perlu menata dan menertibkan tetua adat yang tidak jelas alias tetua adat mafioso atau abal-abal di Mabar.
Untuk hal ini, Pemkab Mabar dan DPRD Mabar harus membuat Peraturan Daerah [Perda] mengenai tanah adat, bekas tanah adat dan penataan lembaga adat. Pembuat Perda yang dimaksud harus didahului dengan pembuatan naskah akademis yang melibatkan akademisi asal Manggarai Raya yang paham adat Manggarai dan Manggarai Barat dan juga tokoh agama.
Kedua, Kementerian ART/Tata Ruang harus mengawasi kerja BPN Mabar. Oknum petugas BPN dan pejabatnya harus dipecat dan diproses hukum jika terlibat dalam mafia tanah. Dalam sejumlah kasus, biang kerok utama mafia tanah di Labuan Bajo adalah oknum dari BPN dan oknum notaris.
Ketiga, Kementerian ART/Tata Ruang sendiri juga harus taat hukum, karena banyak juga oknum pusat berkubang di mafia tanah.
Keempat, Kapolri harus awasi serius anggota Polri di Labuan Bajo dan memberikan sanksi tegas kepada yang terlibat mafia tanah. Kapolri harus meningkatkan jumlah dan kualitas penyidik Polres Manggarai Barat. Penyidik yang berlatar belakang pendidikan minimal strata satu [S1] harus ditambah.
Pantauan saya, kuantitas dan kualitas penyidik di Polres Manggarai Barat perlu ditingkatkan, terutama untuk memberantas mafia tanah. Polisi di Manggarai Barat harus berani menolak sogokan atau ajakan kerja sama dari mafia tanah.
Kelima, oknum notaris termasuk advokat segeralah bertobat kalau selama ini bermain mafia tanah. Masyarakat yang merasa dirugikan dengan kerja advokat atau notaris jangan segan-segan lapor kepada polisi.
Keenam, siapa pun yang memiliki tanah harus menandai batas tanah dan memasang plang nama identitas kepemilikan pada tanah yang sudah dimiliki.
Ketujuh, BPN tidak boleh memberikan sertifikat tanah tanah kepada sembarangan orang. BPN harus memastikan tanah sudah terdaftar di BPN dan bersertifikat, serta menghindari penggunaan surat kuasa dalam melakukan peralihan hak tanah. Semoga!
Siprianus Edi Hardum adalah adalah advokat dari kantor Hukum Edi Hardum and Partners, sering tangani perkara tanah, doktor ilmu hukum
Editor: Ryan Dagur