Floresa.co – Manajemen kapal yang baru-baru ini kecelakaan di perairan dekat Labuan Bajo dan dikeluhkan oleh korban mengklaim urusannya sudah selesai dengan memberi kompensasi yang sesuai kapasitas dan kemampuan mereka.
Sementara korban kecelakaan kapal wisata KM Budi Utama itu mengaku tetap tidak puas dengan perlakuan pihak kapal dan membantah sejumlah klaim soal kompensasi.
Erfan M. Rizky, staf manajemen operasional KM Budi Utama menemui Floresa di Labuan Bajo pada 17 Juli, merespons berita yang memuat pengakuan dua korban kecelakaan – R dan M – bahwa pemilik kapal tidak bertanggung jawab terhadap mereka usai kejadian itu. Floresa sebelumnya mengontak pihak kapal sebelum merilis berita tersebut, namun tidak pernah direspons.
R dan M merupakan dua dari korban kecelakaan KM Budi Utama di selatan perairan Pulau Padar pada 22 Juni.
Kapal itu mengangkut 15 penumpang dan tujuh awak. Namun, lima dari penumpang itu, termasuk R dan M, kemudian dinyatakan tidak masuk ke dalam manifes, yang membuat mereka protes dan menuding buruknya manajemen kapal dan pengawasan oleh Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan [KSOP] Kelas III Labuan Bajo.
Mereka juga mengklaim tidak mendapat ganti rugi yang layak dari pihak kapal karena insiden itu dan mempersoalkan pihak kapal yang tidak mau merespons saat dihubungi.
Erfan mengklaim kepada Floresa, usai kecelakaan itu pihaknya langsung berkomunikasi dan berkoordinasi dengan agen travel setiap penumpang. Pihaknya memberitahu informasi yang disampaikan Basarnas bahwa “kecelakaan itu terjadi karena cuaca buruk.”
Ia berkata, pihaknya juga sudah berusaha peduli serta bertanggung jawab kepada korban dengan memberi pelayanan dan kompensasi “sesuai dengan kemampuan dan kapasitas kami.”
Bentuknya, kata dia, dengan memfasilitasi hotel, makanan, pakaian, obat-obatan, pembelian tiket pesawat kepulangan, mengurus surat berita kehilangan barang ke Polres Manggarai Barat, mengantar penumpang ke bandara serta refund atau pengembalian dana trip.
“Kalau untuk masalah tamu, kita udah care, kita sudah luruskan sama agen masing-masing karena tamu kita dapat dari agen,” katanya.
Ia mengklaim “pihak kapal sudah kasih ganti rugi” dan bahwa urusan “sudah clear” dengan 15 penumpang.
“Kompensasi dan refund sudah kami lakukan dan kami sudah mempertanggungjawabkan hal itu kepada agen travel,” katanya.
Ia berkata, “mungkin ada korban yang kurang puas karena tidak semua barang yang hilang diganti rugi.”
Ia menyebut pada dasarnya “keselamatan dan keamanan barang-barang menjadi tanggung jawab penumpang sendiri, bukan dari pihak kapal.”
“Mau naik pesawat, kereta, bus, ojek, barang yang dibawa itu menjadi tanggung jawab kita sendiri. Nggak ada yang namanya tanggung jawab dari pihak kendaraan,” katanya.
Dalam wawancara sebelumnya dengan Floresa, R dan M mengaku baru mendapat kompensasi dari Eastnesia, agen travel tempat mereka membeli tiket dan bukan dari pemilik kapal. Mereka juga menyebut pihak kapal tidak bisa diajak berkoordinasi oleh Eastnesia.
Erfan mengaku tidak tahu tentang Eastnesia karena “saya hanya sebagai manajer operasional kapal.”
Ia juga membantah pernyataan R dan M soal “koordinasi” dengan Eastnesia karena “ketika mendapat tamu, kami selalu berkoordinasi dengan agen travel.”
“Kami sepenuhnya sudah tanggung jawab karena kami juga tidak melepas korban dengan begitu saja. Semuanya kita koordinasikan,” katanya.
“Kami memang tidak mau musibah ini terjadi, tapi kami juga mesti bertanggung jawab,” tambah Erfan.
Hal senada disampaikan Wahyu, agen pelayaran yang mengajukan Surat Persetujuan Berlayar untuk KM Budi Utama kepada KSOP Labuan Bajo.
“Setahu saya KM Budi Utama sudah mengganti semua kerugian yang dialami tamu, termasuk mereka yang tidak terdaftar dalam manifes,” katanya.
Setelah evakuasi, kata dia, pihak kapal melayani para korban, seperti menyediakan pakaian bagi mereka.
“Dalam kasus seperti ini, agen travel juga ikut andil karena mereka yang menjual paket wisata ke sini. Pihak kapal juga kan tidak menutup mata terhadap kejadian ini,” katanya.
Perihal tidak adanya daftar lima penumpang dalam manifes, KSOP Labuan Bajo mengklaim kelimanya memang tidak naik ke kapal itu sejak dari pelabuhan.
Mereka, kata Kepala KSOP, Stephanus Risdiyanto pindah di tengah pelayaran ke KM Budi Utama dari KM Senada Phinisi. Kedua kapal itu berada di bawah satu manajemen. Ia pun telah memutuskan memberikan sanksi administrasi kepada nahkoda KM Budi Utama, dengan membekukan ijazahnya selama satu tahun.
Pernyataan itu dibantah R dan M karena mereka naik sejak dari Labuan Bajo, bukan di tengah pelayaran. Mereka mengecam Stephanus, menudingnya melakukan pembohongan publik.
Stephanus menolak menjawab pertanyaan Floresa soal kritikan korban terhadapnya, sembari meminta agar kasus ini tidak ditulis lagi karena akan mengganggu pariwisata Labuan Bajo.Soal ini, Wahyu berkata, KM Budi Utama memang hanya berkapasitas 10 penumpang.
Karena itu, sebelum kapal itu berlayar stafnya meminta pihak kapal untuk memindahkan lima dari 15 orang penumpang ke KM Senada Phinisi yang berkapasitas 20 orang.
KM Senada Phinisi, katanya, saat itu hendak mengangkut 12 orang. Namun, ternyata itu tidak terjadi.
Karena itu, katanya, “yang saya dan KSOP tahu, KM Budi Utama hanya mengangkut 10 orang penumpang” pada hari kejadian.
“Tidak tahu apa yang terjadi dalam perjalanan sehingga overload karena kami tidak ikut naik ke kapal,” katanya.
Ia mengaku “agen pelayaran dan KSOP hanya memantau dan mengecek saat di dermaga, tidak sampai di kapal.”
Ia menyalahkan nahkoda, menyebutnya sebagai pihak yang bertanggung jawab saat penumpang sudah naik kapal.
Nakhoda, “wajib mengecek kembali manifes dan jika ada kelebihan penumpang, maka dia berkewajiban menurunkannya, karena di sertifikat keselamatan, penumpang cuman diizinkan 10 orang,” katanya.
Sebagai agen pelayaran “saya tidak boleh memaksakan kapal agar menambah jumlah penumpang karena bisa dianggap melalaikan aturan.”
Wahyu mengaku selalu menyampaikan ke nakhoda bahwa merekalah yang paling berperan penting di atas kapal.
Karena itu, nakhoda berhak menurunkan siapapun dari kapal jika memang tidak sesuai dengan manifes mengingat “kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka ijazah mereka ditahan dan dicabut.”
Ia menduga kecelakaan KM Budi Utama terjadi karena nakhoda lalai sehingga “sangat tepat jika KSOP membekukan ijazahnya.”
Pada 17 Juli malam, Erfan menghubungi kembali Floresa meminta untuk menurunkan artikel editorial yang menyoroti kinerja KSOP, beralasan demi kebaikan pariwisata di Labuan Bajo.
Ia juga mengklaim “selama ini KSOP telah banyak membantu kami.”
Floresa menolak permintaan itu karena artikel tersebut “memuat beberapa alasan yang membuat kami harus menulis kasus kecelakaan kapal itu.”
Apa Kata Korban?
Floresa menghubungi R pada 18 perihal pengakuan Erfan dan Wahyu.
Ia mengaku tetap “tidak puas dengan kompensasi dan pelayanan” yang diberikan pihak kapal dan membantah sejumlah klaim Erfan dan Wahyu.
Pada saat insiden itu, kata dia, “pihak kapal hanya memfasilitasi hotel, makanan, dan memberikan sandal dan satu stel pakaian.”
“Pakaian itu saya pakai sampai balik ke Jakarta. Pakaian itu tidak layak karena tidak sebanding dengan pakaian yang seharusnya saya pakai saat sedang berlibur,” katanya.
R mengatakan sehari setelah insiden itu ia dan M hanya menerima kompensasi dari Eastnesia, agen tempat mereka membeli tiket.
Eastnesia “memberikan kompensasi Rp25 juta, yakni 50 persen dari total kehilangan untuk saya dan M.”
“Menurut saya, pihak Eastnesia benar-benar care dan bertanggung jawab,” katanya.
R mengaku saat kejadian pihak Eastnesia beberapa kali menelepon untuk menanyakan kondisinya.
Eastnesia menyiapkan seorang staf di hotel tempat mereka menginap untuk “berjaga-jaga jika saya dan M membutuhkan sesuatu.”
Ia menilai pihak Eastnesia sudah memberikan kompensasi yang layak dan “memperlakukan saya dan M dengan baik.”
Eastnesia, kata dia, juga “mengantar saya dan M ke Polres Manggarai Barat untuk membuat surat berita kehilangan terkait beberapa dokumen seperti KTP, SIM, NPWP, dan lain-lain.”
“Pemberian kompensasinya pun cepat, gak perlu ditagih ataupun diancam. Mereka sangat menyesal dengan kejadian ini. Mereka benar-benar terlihat sangat empati terhadap saya dan M,” ungkapnya.
R mengatakan pelayanan yang berbeda justru ditunjukkan oleh pihak kapal.
Ia mengaku sempat mengirimkan pesan ke Erfan, tetapi “dia sama sekali tidak memberikan kejelasan” terkait kompensasi.
Karena itu, kata dia, pada 24 Juni, ia mengirimkan pesan ke pemilik KM Budi Utama, Inigo Montana, tetapi “dia tidak balas sama sekali.”
Lantaran tak kunjung direspons, katanya, ia mengunggah kronologi tenggelamnya kapal itu di akun TikTok pada 29 Juni.
R berkata unggahan itu ditanggapi beberapa akun lain yang memintanya menyebut nama kapal itu.
Ia mengaku tangkapan layar komentar itu dikirimkannya ke manajer KM Senada Phinisi, Alwan yang kemudian langsung meneleponnya.
Dalam percakapan itu, kata dia, Alwan mengklaim bahwa kompensasi yang diberikan Eastnesia sudah termasuk pemberian KM Budi Utama.
Merespons klaim itu, katanya, ia langsung meminta konfirmasi Eastnesia. Namun, Eastnesia memberitahu bahwa “kompensasi itu pemberian mereka sendiri dan tidak ada campur tangan dari pihak kapal.”
Eastnesia juga memberitahu bahwa “pihak kapal tidak merespons mereka dan tidak bisa diajak koordinasi.”
“Saya ajak Eastnesia untuk telepon bertiga dengan pihak kapal, tapi belum omong apa-apa, pihak kapal langsung tutup teleponnya,” ungkapnya.
R mengaku sempat menggertak Alwan dengan mengatakan “kalau tidak memberikan kompensasi, saya akan membongkar dan mengeluarkan bukti-bukti kesalahan pihak kapal.”
Merespons hal itu, kata dia, Alwan langsung mentransfer Rp13.350.000 dari total kerugian karena barang-barangnya yang hilang Rp43 juta.
“Masing-masing saya dan M dapat Rp5 juta, ditambah 50 persen refund trip. Jadi, uang yang ditransfer pihak kapal itu untuk saya dan M,” katanya.
Dalam wawancara sebelumnya dengan Floresa, R tidak menyebut adanya kompensasi itu dari pihak kapal.
R mengatakan kompensasi itu “sangat tidak layak” karena pihak kapal “tidak mengganti semua kerugian yang kami alami.”
Ia juga membantah klaim Erfan yang menyebut bahwa “pihak kapal juga membeli tiket pesawat untuk kepulangan penumpang.”
Ia berkata “saya dan M membeli sendiri tiket pesawat saat balik ke Jakarta.”
Untuk memperkuat bantahannya, ia mengirimkan bukti transaksi tiket itu kepada Floresa.
“Kalau saya mau tuntut lebih, bisa saja saya minta juga dibiayai untuk ke psikolog pasca kejadian. Secara psikis sudah dibuat hancur dengan kejadian tersebut. Tapi, gak ada empati sama sekali dari pihak kapal,” katanya.
“Saya cuma minta ganti rugi total barang yang hilang,” tambahnya.
R juga membantah pernyataan Erfan yang menyebut “urusan dengan tamu sudah clear.”
“Mereka klaim clear karena semua penumpang sudah tidak ada di Labuan Bajo lagi.”
Padahal, kata dia, mereka belum memberikan kompensasi kepada semua penumpang.
“Sampai sekarang ada korban lain yang belum dapat kompensasi”, katanya.
R mengaku pihak kapal memang sempat membantu pengobatan dua orang wisatawan mancanegara yang mengalami luka, tetapi hanya sekali.
Pasca pengobatan itu, kedua wisatawan itu berangkat ke Jakarta dan mereka tiga kali mengunjungi rumah sakit untuk check up dan membuka perban.
“Apakah mereka peduli dengan itu? Nggak ada,” katanya.
R berkata, sepengetahuannya kedua wisatawan itu itu “hanya mendapat kompensasi Rp10 juta untuk akomodasi ke Jakarta, ditambah penginapan di hotel selama semalam,” tidak termasuk refund trip.
Ia berkata Rp10 juta itu dipakai kedua wisatawan untuk membeli tiket pesawat, biaya check up, dan biaya hidup selama satu minggu di Jakarta guna mengurus semua dokumen seperti paspor, visa, dan lain-lain yang hilang.
Saat kedua wisatawan itu sampai di Jakarta, kata dia, pihak kapal tidak pernah tanya keadaan mereka.
“Saya yang bantu pantau kondisi mereka karena saya merasa kasihan. Di negara orang lain, mereka malah sengsara,” ungkapnya.
R juga membantah pernyataan Erfan bahwa “keselamatan dan keamanan barang-barang menjadi tanggung jawab penumpang.”
Kalau memang seperti itu, “pihak kapal seharusnya memberitahu bahwa kapal tidak layak jalan dan akan tenggelam.”
Jika pihak kapal memberi informasi seperti itu, maka “kami bisa saja menyiapkan pelampung dan terlebih dahulu menyelamatkan barang-barang yang penting.”
“Ini kan gak ada informasi apa-apa sebelumnya,” katanya.
R mengaku sempat menanyakan kondisi kapal kepada seorang awak kapal, yang mengklaim kapal itu aman, tetapi “tidak lama kemudian kami nyemplung.”
Ia menilai kondisi fisik KM Budi Utama “sangat tidak layak” untuk berlayar dan pelayanan awak “benar-benar di luar ekspektasi saya sebagai penumpang sekaligus korban.”
Kasus ini hanyalah satu dari model penanganan kecelakaan kapal wisata di Labuan Bajo yang memicu protes korban.
Tahun lalu, Yves de Ryckel, seorang wisatawan asal Belgia pernah mengadukan penanganan kasus kecelakaan yang dia dan keluarganya alami bersama KM Dunia Baru Komodo.
Selain mempersoalkan penanganan insiden kebakaran kapal pada 16 Januari 2023 itu oleh pemilik kapal, ia juga mengkritik cara otoritas, termasuk KSOP Labuan Bajo, menanganinya, yang ia sebut tidak akuntabel.
Ia mempersoalkan klaim KSOP dan polisi bahwa kecelakaan itu berasal dari tabung gas elpiji di dapur kapal, yang menurutnya sebagai kesimpulan prematur karena tanpa melakukan investigasi secara serius.
Editor: Ryan Dagur