Floresa.co – Korban kecelakaan kapal wisata di wilayah Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat mempersoalkan penanganan insiden itu oleh pemilik kapal yang dinilai tidak bertanggung jawab.
Di sisi lain, dua korban yang berbicara dengan Floresa, menuding Kepala Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan [KSOP] Labuan Bajo, Stephanus Risdiyanto membohongi publik karena pernyataannya di media yang tidak sesuai fakta.
R dan M merupakan dua dari korban kecelakaan Kapal Motor [KM] Budi Utama di selatan perairan Pulau Padar pada 22 Juni.
Kecelakaan itu, menurut penjelasan Kepala KSOP Labuan Bajo, Stephanus Risdiyanto karena kapal “diterjang ombak tinggi serta arus kuat.” Kapal itu juga “mengalami gangguan pada pompa kuras air laut sehingga menyebabkan kapal miring dan tenggelam,” katanya.
Meski ada bagian yang tak berfungsi dengan baik, ia mengklaim “kapal wisata tersebut sudah ada izin dan layak” berlayar.
Semua korban selamat saat kejadian, dengan evakuasi dibantu sebuah kapal wisata yang sedang melintas di sekitar tempat kejadian.
Kapal itu mengangkut 15 penumpang dan tujuh awak. Namun, lima dari penumpang itu, termasuk R dan M, kemudian dinyatakan tidak masuk ke dalam manifes, yang membuat mereka tidak mendapat hak ganti rugi.
Saat mengadukan hal ini ke pemilik kapal, R dan M tidak direspons, sementara Kepala KSOP Labuan Bajo, Stephanus Risdiyanto menyebut mereka naik ke kapal di tengah perjalanan – pernyataan yang mereka kritik karena tidak benar.
Pemilik Kapal Cuek
Keluhan terhadap penanganan kecelakaan itu menjadi ramai di media sosial setelah pada 8 Juli akun X @akatelepsi menceritakan kasus ini, dengan mempersoalkan penanganan oleh pemilik KM Budi Utama, Inigo Montana.
Pemilik akun itu mengaku kepada Floresa sebagai teman dari R dan M.
Dalam cuitannya, ia menuding Inigo mengabaikan korban saat dimintai tanggung jawab terkait ganti rugi dan meminta klarifikasi terhadap data jumlah penumpang yang dilaporkan pasca kecelakaan.
“Kapalnya tenggelam, terus pihak kapal gak ada itikad baik ke beberapa penumpang. Komentar di Instagram juga dihapus. Marah banget,” tulis akun tersebut.
Selain menghubungi Inigo, kata akun itu, R dan M juga berupaya menghubungi Alwan, manajer KM Budi Utama. Keduanya sama-sama tak pernah merespons.
R berkata kepada Floresa, dua hari setelah kejadian, ia bersama penumpang lainnya bertahan di Labuan Bajo menunggu kejelasan informasi dari pihak kapal mengenai ganti rugi yang mereka harus terima.
Karena tidak ada kejelasan dari Inigo dan Alwan, R dan M pun balik ke Jakarta.
Pada 24 Juni, R mengaku beberapa kali menghubungi Inigo dan Alwan, namun keduanya tetap tidak merespons.
Inigo, kata R, baru merespons ketika ia dan M mencoba meneleponnya menggunakan nomor ponsel lain.
Dalam rekaman percakapan yang diperoleh Floresa, keduanya menanyakan “kenapa data penumpang hanya 10 orang, sementara jumlah penumpang yang sebenarnya ada 15 orang?”
Merespons pertanyaan mereka apakah ada kesengajaan, Inigo berkata, “hal seperti itu biasa terjadi.”
R lalu berkata: “Kalau terjadi apa-apa dalam kecelakaan itu, saya tidak ada dalam daftar pencarian. Saya dibiarkan mati begitu saja tanpa ada yang tahu bahwa saya ada di kapal Anda dan asuransi saya yang sudah disiapkan berarti hangus.”
Inigo kemudian menanggapi, “kan Masnya selamat,” lalu mengakhiri percakapan.
Jawaban itu, kata R kepada Floresa, “menyakitkan” dan menilai Inigo “tidak manusiawi.”
“Nyawa manusia bahkan tidak ada harganya,” katanya.
Sementara dengan Alwan, kata R, ia dan M mencoba menghubunginya lagi menggunakan nomor lain via WhatsApp dengan menyamar menjadi tamu yang mau memesan tiket KM Senada Phinisi. Kapal itu di bawah manajemen yang sama dengan KM Budi Utama.
Dalam tangkapan layar percakapan yang diperoleh Floresa, Alwan merespons pesan itu dengan mengirim penawaran jenis tiketnya.
Padahal, kata R, dalam waktu yang sama ia dan M mencoba menghubungi Alwan guna menanyakan tanggung jawabnya.
“Lucu sekali model bisnis yang hanya mau uangnya saja, tapi tidak mau bertanggung jawab ketika terjadi kecelakaan,” katanya.
R berkata, saat ini ia dan M hanya mendapat kompensasi dari Eastnesia, tempat mereka membeli tiket. Mereka mendapat 50 persen dari total lost sebagai bentuk permintaan maaf.
Ia berkata, pihak kapal sempat mengklaim bahwa 50 persen itu juga termasuk bagian dari ganti rugi yang mereka berikan, sementara mereka mendapat pengakuan lain dari Eastnesia bahwa pihak kapal “tidak bisa diajak koordinasi.”
“Itu pemberian Eastnesia sendiri. Tiba-tiba saja pihak kapal mengklaim itu sudah termasuk kompensasi dari mereka,” tambahnya.
Floresa meminta tanggapan Inigo Montana terkait kasus ini melalui WhatsApp sejak 9 Juli. Namun, pesan Floresa, termasuk yang terakhir pada 16 Juli tak direspons, hanya dibaca.
Korban: KSOP Bohongi Publik
Kepala KSOP Kelas III Labuan Bajo Stephanus Risdiyanto telah memutuskan memberikan sanksi administrasi kepada nahkoda kapal dengan membekukan ijazahnya selama satu tahun karena jumlah penumpang yang berbeda dengan manifes.
Stephanus berkata, KM Budi Utama melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pelayaran.
Selain itu, pihaknya juga memberi sanksi administratif lain, berupa pencabutan sertifikat KM Budi Utama.
Namun, Stephanus menyampaikan pernyataan yang kemudian memantik protes korban.
Ia mengklaim lima orang penumpang tidak terdata dalam manifes karena mereka pindah ke kapal itu di tengah pelayaran.
Mereka, katanya, “adalah penumpang dari KM Senada Phinisi.”
“Pada saat berlayar dipindahkan, jadi bukan penumpang, tidak ada dalam manifes,” katanya.
Pemindahan itu, menurut Stephanus, dilakukan karena “kedua kapal itu masih dalam satu manajemen.”
Kepada Floresa, R menyebut pernyataan Stephanus sebagai “pembohongan publik.”
Sejak awal berangkat sampai pada titik tenggelamnya kapal itu, “jumlah penumpangnya sama dan tidak ada penambahan di tengah pelayaran,” katanya.
“Dari titik kami berangkat, jumlah kami memang 15 orang,” katanya.
“Tidak ada penambahan penumpang di tengah jalan sampai pada titik kapal itu tenggelam.”
Floresa meminta tanggapan Stephanus terkait kritik korban atas klaimnya.
Alih-alih merespons kritikan korban, ia berkata persoalan kecelakaan kapal itu sudah basi dan meminta media tidak perlu membahasnya lagi.
Ia menyebut jika media mengulik lagi kasus itu, “maka akan mengganggu keberlangsungan pariwisata di Labuan Bajo.”
“Jangan hanya pikir tentang berita. Kalau media terus menerus memberitakan tentang kapal tenggelam, mau jadi apa pariwisata kita ini. Tidak akan ada lagi orang yang mau datang ke Labuan Bajo,” katanya.
KSOP yang Harus Bertanggung Jawab
R menilai maraknya praktik buruk oleh pemilik kapal wisata di Labuan Bajo terjadi karena “tidak ada pengawasan yang ketat dari KSOP.”
KSOP, kata dia, semestinya tidak hanya bertugas memberikan izin berlayar, tetapi harus melakukan pengawasan yang ketat terkait aktivitas kapal karena berkaitan dengan “keselamatan nyawa manusia.”
Lantaran abai terhadap korban, katanya, ia dan M berencana melaporkan pihak kapal ke pihak berwajib.
“Mungkin saja dengan menempuh jalur hukum pihak kapal tidak bisa lari dari tanggung jawab,” katanya.
R juga berharap pihak KSOP bisa melihat praktik manipulasi jumlah penumpang sebagai persoalan serius sehingga menjadi bahan evaluasi ke depan.
Senada dengan R, Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik berkata, kecelakaan KM Budi Utama merupakan kesalahan KSOP, karena tidak melakukan pengawasan yang ketat.
“Ketika kapal hendak berlayar, manifes penumpangnya harus sudah pasti,” katanya.
Ia menduga kasus seperti ini sering terjadi di Labuan Bajo karena “ada calo” yang terlibat dalam penawaran tiket, kendati kapalnya sudah penuh.
“Nanti mereka bagi hasil dengan pemilik kapal,” kata Agus.
“Hal seperti ini biasa terjadi karena mereka tahu banyak turis dan banyak duit,” tambahnya.
Ia berkata, pada prinsipnya korban kecelakaan kapal berhak menuntut ganti rugi dan mengingatkan KSOP bahwa jika tidak ada perbaikan cara kerja, “perlahan-lahan wisatawan enggan berwisata di Labuan Bajo.”
Kasus yang Berulang
Ini bukanlah kasus kecelakaan kapal pertama di Labuan Bajo yang penanganannya dinilai buruk dan diprotes wisatawan.
Dalam sejumlah insiden kecelakaan, sejumlah kapal juga melanggar aturan.
Pada 22 Juli 2023 misalnya, kapal wisata KM Teman Baik yang tenggelam di perairan kawasan Pink Beach, dekat Pulau Komodo, tidak memiliki Surat Persetujuan Berlayar.
KM King Fisher De Seraya yang mati mesin di sekitar Pulau Kukusan pada 1 Januari 2023 juga tak mengantongi izin berlayar. Kapal wisata ini membawa tujuh orang wisatawan asing, dua orang wisatawan domestik, dan dua kru kapal.
Tahun lalu, Yves de Ryckel, seorang wisatawan asal Belgia pernah mengadukan penanganan kasus kecelakaan yang dia dan keluarganya alami bersama KM Dunia Baru Komodo.
Selain mempersoalkan penanganan insiden kebakaran kapal pada 16 Januari 2023 itu oleh pemilik kapal, ia juga mengkritik cara otoritas, termasuk KSOP Labuan Bajo, menanganinya, yang ia sebut tidak akuntabel.
Ia mempersoalkan klaim KSOP dan polisi bahwa kecelakaan itu berasal dari tabung gas elpiji di dapur kapal, yang menurutnya sebagai kesimpulan prematur karena tanpa melakukan investigasi secara serius.
Pasca kecelakaan itu, ia berupaya memberikan beberapa usulan langkah perbaikan standar keselamatan berwisata di Labuan Bajo kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Usulan-usulan itu, kata dia, disampaikan setelah ada komunikasi dengan Frans Teguh, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur yang kini juga menjadi pelaksana tugas direktur Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores.
Dalam salinan usulan yang dia bagikan kepada Floresa dan telah dikirim kepada Frans, dengan tembusan kepada Menteri Sandiaga Salahudin Uno, Yves memaparkan sejumlah langkah praktis.
Beberapa di antaranya adalah keterlibatan spesialis yang berpengalaman dalam peningkatan keselamatan di bidang transportasi; identifikasi atau pendataan yang rinci terhadap berbagai pihak yang terkait dengan pariwisata – pemilik kapal, sumber daya untuk pemeliharaan kapal, operator tur, dinas terkait, Polisi Air, Otoritas Pelabuhan dan layanan prakiraan cuaca.
Ia juga menekankan pentingnya pelatihan berkala, ketelitian dalam mengecek persyaratan berlayar, termasuk juga soal kemampuan untuk responsif terhadap kebutuhan wisatawan.
Yves juga mengusulkan standar baku tentang laporan kecelakaan kapal, evaluasi serius setelah ada kejadian yang melibatkan semua pemangku kepentingan, juga memperhitungkan dampak peristiwa seperti ini bagi kepentingan bisnis lokal lewat informasi yang disebar di internet.
Yves juga menyertakan usulan dari Anne Mieke de Hoon, warga Belanda yang sering berkunjung ke Flores dan mengelola secara pribadi situs pariwisata Flores Surga Kita.
Usulan Anne antara lain agar situs yang menawarkan perjalanan wisata memberikan informasi rinci tentang perusahaan; harus sering diperbarui dan menunjukkan tanggal pembaruan terakhir; memuat semua ketentuan yang jelas untuk pemesanan; transparan soal harga; harus berisi informasi rinci tentang kapal, termasuk standar keselamatan; informasi tentang kondisi cuaca aman; dan izin dari Syahbandar.
Anne dalam sebuah wawancara dengan Floresa, mengatakan ikut prihatin dengan situasi keamanan pariwisata di Labuan Bajo.
Ia berkata, cukup beruntung bahwa saat ini pers internasional belum terlalu banyak melaporkan peristiwa kecelakaan kapal di Labuan Bajo, sehingga dampaknya mungkin tidak terlalu besar bagi penurunan jumlah wisatawan asing.
Anne mengingatkan, ketika pariwisata tidak aman, “yang jadi korban itu bukan hanya investor dari luar atau para pemilik kapal,” tetapi “semua orang yang kerja di sektor pariwisata, seperti agen, karyawan di kapal, di hotel, sopir, pemandu wisata dan masyarakat di seluruh Flores.”
Saatnya, kata dia, pembangunan pariwisata di Flores, tidak hanya memikirkan apa yang bisa didapat hari ini, tetapi juga di masa depan.
Karena itu, yang perlu dibangun adalah “investasi kejujuran, investasi kepercayaan, investasi keseriusan dan investasi kedisiplinan,” katanya.
Laporan ini dikerjakan oleh Herry Kabut dan Anjany Podangsa
Editor: Ryan Dagur