BerandaREPORTASEMENDALAMTuris Asing Korban Kebakaran...

Turis Asing Korban Kebakaran Kapal di Labuan Bajo: Pertanyakan Kesimpulan Syahbandar dan Polisi, Desak Tingkatkan Jaminan Keselamatan Berwisata

Turis asing yang menjadi korban dalam kasus kebakaran kapal KM Dunia Baru Komodo pada Januari 2023 mempertanyakan klaim terkait pemicu kebakaran, tanpa melalui investigasi serius.

Floresa.co – Sebuah kapal wisata yang mengangkut turis asing terbakar di perairan Taman Nasional [TN] Komodo pada pertengahan Januari lalu.

Para turis itu selamat, namun mereka mempertanyakan penanganan kasus tersebut, yang dituding memperlihatkan parahnya akuntabilitas dari otoritas setempat, termasuk Syahbandar dan polisi.

Kecelakaan kapal KM Dunia Baru Komodo itu terjadi pada 16 Januari di dekat Komodo Resort, Pulau Sebayur.

Kapal yang mulai berlayar sejak 14 Januari itu mengangkut lima orang turis asing bersama empat orang awak kapal dan seorang pemandu wisata.

Yves de Ryckel, turis asal Belgia, mengatakan, selain ia sendiri dan istrinya, kapal itu juga memuat anak laki-lakinya bersama isterinya – seorang warga negara Australia. Cucunya yang berusia delapan bulan juga ada di kapal itu.

Saat kebakaran terjadi, kata dia, “staf Komodo Resort yang mengevakuasi kami dari kapal dan memadamkan api.”

Sementara mereka kemudian aman dan dibawa ke Labuan Bajo dengan perahu cepat atau speed boat, peristiwa itu membuat barang-barang pribadi putra dan menantunya hancur.

“[Putra saya] terpengaruh selama beberapa hari oleh asap yang ia hirup,” katanya.

Kapal KM Dunia Baru Komodo usai terbakar. (Dokumen Yves de Ryckel)

Mempertanyakan Polisi dan Syahbandar

Dalam korespondensi melalui surat elektronik dengan Floresa, Yves mempertanyakan cara penanganan kasus itu, terutama terkait kesimpulan dari otoritas dan polisi tentang pemicu kebakaran.

Ia mengatakan, saat mereka tiba di Labuan Bajo usai kejadian, sama sekali tidak ada pemeriksaan oleh polisi terhadap mereka.

“Meskipun polisi hadir di Labuan Bajo bersama para jurnalis ketika kami tiba dengan speed boat, tidak ada [polisi] yang menanyai kami,” katanya.

Ia kemudian kaget ketika tiba-tiba pihak Syahbandar dan polisi mengklaim dalam pernyataan di media bahwa kecelakaan itu berasal dari tabung gas elpiji di dapur kapal itu, yang menurutnya merupakan kesimpulan prematur karena tanpa melakukan investigasi secara serius.

“Apakah kapal itu sudah kembali ke pelabuhan Labuan Bajo untuk diperiksa? Apakah laporan lengkap telah dibuat dan apakah persepsi Syahbandar ini berdasarkan fakta-fakta yang ditetapkan berdasarkan pemeriksaan atau rumor?” katanya.

“Bagaimana mungkin pers menulis keesokan harinya bahwa api berasal dari dapur, sementara polisi mengatakan bahwa mereka tidak memeriksa reruntuhan kapal?” tambahnya.

Menurut Yves, “tabung elpiji meledak beberapa saat kemudian saat kami sudah dievakuasi,” berbeda dengan yang disampaikan polisi.

Yves mempertanyakan kesimpulan Syahbandar dan polisi karena mengabaikan kemungkinan masalah pada mesin kapal yang mereka alami saat berlayar sebelum kebakaran itu terjadi.

“Saat kapten kapal ingin berangkat ke [Pulau] Kanawa,” katanya menyebut salah satu pulau di perairan TN Komodo “mesin kapal tidak mau hidup, butuh waktu hampir satu jam untuk menghidupkannya.”

Ia juga mengatakan, sejak sehari sebelumnya, “kru tidak dapat lagi menyalakan mesin secara normal.”

Ia juga mencatat, beberapa waktu sebelum kecelakaan, kapten kapal sempat menyerukan “Mayday, Mayday, Mayday” lewat radio kapal sebagai tanda sedang berada dalam kondisi darurat.

“Ini berarti kapten kapal meminta bantuan, karena dia pikir dia tidak bisa lagi menyalakan kapal dan perlu dibantu atau ditarik,” katanya.

Lokasi saat kapten kapal KM Dunia Baru Komodo meminta bantuan setelah mesin kapal mengalami masalah dan lokasi kapal itu kemudian terbakar. Tititk koordinat itu dianalisis dari geolokasi pada foto yang diambil Yves.

Menurut Yves, saat kebakaran terjadi memang mesin kapal itu menyala.

Namun, kata dia, “jangan lupa bahwa mesin diesel yang sudah dinyalakan bisa berjalan tanpa listrik. Jadi, masalah listrik bisa terjadi pada mesin yang sedang menyala.”

Ia juga menyebutkan bahwa ketika kebakaran terjadi, seorang awak kapal “dengan cepat datang dan memotong sekering dan sakelar AC di pintu kabin penumpang.”

“Apakah dia mengira ada korsleting pada sirkuit generator tambahan?  Hal ini memerlukan investigasi untuk melihat apakah ada hubungan antara mesin yang tidak bisa dinyalakan dengan kebakaran,” katanya.

Ia mengatakan, investigasi seperti ini penting untuk mencari tahu pemicu pasti kebakaran.

Ia mencontohkan kasus kebakaran kapal lainnya di perairan TN Komodo, pinisi KM Lexxy pada September 2021, yang disebabkan oleh korsleting listrik dari genset kapal.

Yves juga mempertanyakan profesionalitas awak kapal saat kejadian itu, yang menurutnya “tidak bertanggung jawab.”

“Mereka tidak memiliki sarana yang memadai untuk melawan api dan bereaksi dengan benar untuk menyelamatkan nyawa kami. Mereka tidak memiliki sumber daya yang cukup,” katanya.

Ia menambahkan, dalam kasus ini pemilik kapal seharusnya dimintai pertanggungjawaban, “dengan menjelaskan mengapa tidak ada peralatan yang cukup [di dalam kapal] untuk memadamkan api.”

“Tapi itu tergantung pada persyaratan hukum setempat dan apakah kapal harus melewati pemeriksaan keselamatan sebelum diizinkan untuk mengangkut penumpang. Saya sangat meragukannya,” katanya.

Ia juga menyatakan kekecewaan kepada pemilik kapal yang ia sebut menolak untuk menemui mereka usai kejadian.

Meski demikian, kata Yves, setelah diskusi yang panjang dan alot, operator tur mengembalikan biaya yang mereka keluarkan untuk perjalanan wisata itu, kecuali untuk tiket masuk ke lokasi wisata di TN Komodo.

Izin Kapal yang Kedaluwarsa

Dari dokumen yang diperoleh Floresa, kapal itu tercatat sebagai milik Andi Laugi, warga asal Bari, Kecamatan Macang Pacar. Nahkodanya bernama Ramadan.

Informasi terkait nama pemilik kapal itu juga dikonfirmasi oleh Dinas Perhubungan Kabupaten Manggarai Barat kepada Floresa pada 6 Maret.

Adi Gunawan, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan mengatakan, izin operasi kapal dengan jenis mesin GT 27 ini sudah kedaluwarsa pada 9 November 2022 dan pemiliknya tidak mengajukan perpanjangan izin hingga kemudian kapal itu terbakar.

“Surat izin operasi merupakan variabel bagi pemerintah daerah untuk mengetahui, mengawasi dan mengendalikan kapal-kapal yang beroperasi tetap di daerah ini. Izin operasi ini berlaku satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai permintaan yang bersangkutan,” katanya.

Namun, ia menampik bahwa masih beroperasinya kapal itu sebagai kesalahan pihaknya.

“Surat izin operasi ini bukan merupakan syarat mutlak dalam penerbitan surat izin berlayar. Surat [izin berlayar] itu sendiri merupakan domain pemerintah pusat melalui Syahbandar setempat,” katanya.

Saifull, anak dari pemilik mengatakan kepada Floresa bahwa pihaknya tidak terlalu memperhatikan isi surat izin operasi itu

“Selama ini surat itu disimpan di kapal dan surat itu sekarang masih di Syahbandar,” katanya  kepada Floresa, Selasa, 7 Maret.

Ia mengatakan, biasanya Syahbandar menekankan kepada mereka tentang kewajiban pengurusan izin operasi di Dinas Perhubungan dan Dinas Pariwisata dan tidak memberikan izin berlayar untuk kapal yang belum mendapatkan perpanjangan izin.

“Kami biasa urus surat itu per tahun, sekaligus dengan retribusi sampah,” katanya.

Namun, ia tidak menjelaskan mengapa tetap bisa mendapat izin berlayar kendati izin dari dinas belum diperpanjang.

Kapal itu mendapat surat izin berlayar dari Syahbandar pada Januari 2023, lebih dari dua bulan lebih setelah izin operasinya kadaluarsa.

Dikonfirmasi Floresa di kantornya, Maxianus Moi, Kepala Seksi Keselamatan Berlayar, Penjagaan dan Patroli Syahbandar Labuan Bajo membenarkan izin yang sudah kadaluarsa itu.

Namun, kata dia, mereka memilih tetap memberikan izin berlayar kepada kapal itu karena “semua alat peralatan navigasi mendukung, mesin juga mendukung.”

Apa Kata Polisi dan Syahbandar?

Floresa mengkonfirmasi kembali kesimpulan polisi dan Syahbandar atas kejadian ini, dan mereka tetap meyakini bahwa pemicunya adalah karena api dari dapur, bukan karena masalah pada mesin kapal.

Iptu Wayan Merta, Kepala Satuan Kepolisian Perairan dan Udara Polres Manggarai Barat, yang ditemui Floresa pada 7 Maret di ruang kerjanya mengatakan, saat kejadian, tim SAR Labuan Bajo, yang terdiri terdiri dari Polair, Basarnas, dengan Angkatan Laut sudah siap ke lokasi, setelah mendapat kabar tentang peristiwa itu.

“Tetapi setelah kita ke dermaga Marina Labuan Bajo, tamu di kapal yang terbakar itu sudah dievakuasi oleh kapal dari Pulau Sebayur dan sudah ada di dermaga,” katanya.

Ia mengatakan karena informasi yang mereka dapat bahwa api pada kapal itu sudah padam dan kapal juga sudah evakuasi, “kita tidak turun ke lokasi.”

Ia juga mengklaim, “waktu itu tidak ada keluhan dari semua pihak, dari pemilik kapal dan dari agen [travel].”

“Kalau waktu itu ada keluhan dari mereka, pasti kita arahkan untuk buat laporan ke Polres Manggarai Barat. Dengan dasar laporan itu, baru kita panggil mereka semua,” katanya.

“Kalau tidak ada laporan itu, bagaimana kita panggil [mereka]?” katanya, merespons kritik Yves yang tidak dimintai keterangan oleh polisi.

Ia menjelaskan, penanganan awal terhadap kasus kebakaran itu adalah kewenangan Syahbandar, untuk mencari tahu  kemungkinan teknis pemicu kerusakan.

Sementara itu, pihak Syahbandar juga mempertahankan alasan bahwa pemicu kebakaran kapal itu adalah api dari dapur, bukan dari mesin kapal.

“Kita sebagai penegak hukum lihat itu, apakah ada unsur kesengajaan atau tidak. Hasilnya tidak ada, murni kecelakaan,” kata Maxianus Moi.

“Kalau terjadi seperti itu, sebetulnya kita tidak bisa saling menyalahkan. Itu kondisi yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Kita di rumah sendiri bisa terjadi hal semacam itu,” katanya.

Maxianus Moi, Kepala Seksi Keselamatan Berlayar, Penjagaan dan Patroli Syahbandar Labuan Bajo. (Foto: Jefry Dain/Floresa.co)

John Daniel, pemilik agen travel Florescharm Tours and Travel yang membawa para turis itu juga mengklaim  kebakaran itu adalah keadaan darurat “yang tidak pernah kita pikirkan.”

Ia mengatakan, kejadian itu bermula dari bunyi ledakan yang terjadi saat mereka sedang makan siang dan sedang bercerita dengan para tamunya.

“Kita coba memadamkan api. Saya beritahu kru kapal, tugas kalian mengamankan kapal, tugas saya mengamankan tamu,” katanya kepada Floresa, 7 Maret.

Ia mengatakan, mereka memadamkan api dengan pemadam api ringan dan gas yang ada di atas kapal.

“Saya kemudian evakuasi semua benda dan tamu, sehingga tamu itu tiba dengan selamat di tempat evakuasi,” katanya.

Ia mengatakan, sebagai bagian dari langkah cepat evakuasi, pihaknya membayar kapal dari Komodo Resort di Pulau Sebayur, “daripada kita tunggu kapal dari Labuan Bajo.”

Ia juga menyebut telah bertanggung jawab terhadap para tamunya, termasuk mengembalikan uang mereka, hal yang juga diakui Yves.

John juga mengakui terjadinya perdebatan dengan tamunya, mengingat pihaknya sudah mengeluarkan biaya untuk membawa para turis itu selama berwisata.

Namun, setelah berbicara dengan pemilik kapal lewat telepon, kata dia, “pemilik kapal memahami kondisi itu.”

Ia mengatakan, mereka mengembalikan uang Rp 20.000.000, kecuali Rp. 2.000.000 untuk pembayaran tiket ke taman nasional,

“Pokoknya mereka naik [kapal] di Labuan Bajo ini gratislah dengan kejadian ini. Jadi, uang yang dia keluar itu hanya taman nasional yang tidak bisa kita minta lagi,” katanya.

Ia mengklaim, kejadian itu membuat pihaknya sebagai penyedia jasa dan pemilik kapal mengalami kerugian, “tetapilah itulah bisnis.”

Ia mengatakan tidak mau bahwa Labuan Bajo mendapat citra buruk karena berdampak bagi mereka sebagai penyedia jasa yang berusaha mencari nafkah dari sektor pariwisata.

John juga mengklaim bahwa pihaknya telah sepakat menyelesaikan masalah dengan tamunya, meski ia sempat menawarkan kepada mereka untuk melapor ke polisi jika merasa dirugikan.

“Saya bilang, ‘kalau bos merasa dirugikan di situ, ada ruang, kita ke polisi.’ Dia bilang, jangan. Waktu itu sudah clear urusannya,” katanya.

Sementara itu, Yves mengomentari pengembalian uangnya sebagai “harga yang dibayarkan oleh operator tur untuk ‘melindungi pemilik kapal yang tidak pernah mau muncul dan menjelaskan dirinya sendiri.”

“Ini tidak adil bagi operator tur, tapi begitulah adanya. Tergantung pada operator tur untuk memastikan bahwa pemilik kapal sadar akan bahaya yang ditimbulkannya terhadap para turis,” katanya. 

Perlu Pembenahan

Kecelakaan KM Dunia Baru ini terjadi hanya beberapa hari sebelum sebuah kapal lain – KLM Tiana Liveaboard yang mengangkut 17 penumpang – empat di antaranya wisatawan asing – tenggelam di wilayah Batu Tiga, perairan TN Komodo pada 21 Januari.

Kecelakaan itu mendapat sorotan luas karena kapal tersebut mengalami kecelakaan pada enam bulan sebelumnya dan menewaskan satu orang. 

Saat dimanfaatkan kembali, kapal itu sebetulnya sedang menjadi barang bukti, dan menurut polisi, dipinjam pakai oleh pemiliknya untuk tujuan perawatan, bukan untuk beroperasi kembali.

Para korban kecelakaan kapal itu, termasuk beberapa orang asing, juga menuding agen travel membohongi mereka karena dalam paket wisata selama tiga hari dua malam di perairan TN Komodo yang ditawarkan kepada mereka, diinformasikan bahwa kapal yang digunakan adalah KM Nadia, bukan KLM Tiana Liveaboard.

Sejak 2021, selain Kapal KM Dunia Baru dan KML Tiana Liveboard, sudah ada sejumlah kapal lain yang mengalami kecelakaan di wilayah perairan TN Komodo, yakni Kapal Indo Komodo, Kapal KM Air Dua, Kapal KM Dua By Larea-Rea, Kapal KLM Lexxy, Kapal KLM Sea Savari VII, Kapal Lintas Batas 05, dan Kapal KLM Neomi Cruise.

Dari deretan kecelakaan tersebut, dua kejadian yang menelan korban jiwa.

Selain kecelakaan pada KLM Tiana Liveboard, pada Mei 2022 seorang penumpang kapal KLM Neomi Cruise juga dinyatakan meninggal dunia setelah terjatuh dari atas kapal di wilayah Gili Lawa Darat.

Rangkaian kasus kecelakaan ini menimbulkan tanda tanya besar bagi jaminan keselamatan berwisata di Labuan Bajo, termasuk komitmen otoritas setempat untuk melakukan pembenahan.

John Daniel mengatakan, ia sepakat pentingnya belajar dari kasus-kasus seperti ini, terutama terkait perlunya pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia untuk semua pihak yang bergelut dalam sektor pariwisata di Labuan Bajo.

Untuk penanganan kasus-kasus kecelakan, kata dia, “perlu ada pelatihan-pelatihan dan pemeriksaan kapal, alat pemadam, alat keselamatan dalam periode waktu tertentu.”

“Minimal 6 bulan sekali kita simulasi cara pemadam kebakaran, cara penyelamatan di laut,” katanya.

Sybandar mengklaim, merespons kasus-kasus ini, mereka telah memberikan pendampingan terhadap kru kapal dengan melakukan latihan keamanan dasar, termasuk yang baru-baru ini diadakan yang melibatkan 1.000 orang.

Yves mengatakan, ia telah berupaya mengkomunikasikan masalah ini kepada otoritas yang lebih tinggi, seperti Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno, agar mereka memberi perhatian serius pada jaminan keamanan berwisata. 

Dalam sebuah emailnya ke Bupati Edi, yang diteruskan kepada Floresa, ia antara lain mempertanyakan alasan mengapa polisi “tidak merasa perlu pergi ke tempat kejadian untuk memeriksa reruntuhan kapal dengan teliti.”

Sementara kepada Menteri Sandiaga, kata dia, ia melaporkan kecelakaan tersebut dan meminta dukungan untuk meningkatkan situasi keamanan berwisata di Flores serta memaksa polisi untuk menyelidiki setiap kecelakaan secara teliti.

“Beliau meminta saya untuk mengembangkan ide dan saran saya untuk memperbaiki situasi di Flores. Hal itu telah saya lakukan,” katanya, namun tidak merinci apa saja ide yang ia sampaikan.

Ia menambahkan, langkahnya menuntut pertanggungjawaban terhadap kecelakaan yang dialami keluarganya adalah bagian dari upaya mendorong pembenahan oleh otoritas, termasuk polisi.

“Polisi hadir ketika kami kembali ke Labuan Bajo, namun tidak berbicara kepada kami saat kami berjalan melewati mereka,” katanya.

Ia juga mengkritisi pernyataan dari Kepala Pos SAR Labuan Bajo Edi Suryono bahwa mereka tidak melakukan investigasi peristiwa ini karena tidak ada korban jiwa.

“Kelalaian inilah yang ingin kami ubah. Tidak ada investigasi, tidak ada rekaman kecelakaan. Mengapa itu tidak ada?” katanya.

Padahal, kata Yves, kejadian seperti ini “perlu diselidiki demi menghindari jatuhnya korban lebih banyak lagi.”

“Kami mencintai Flores, tetapi kami terguncang oleh kecelakaan itu.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Juga