Pro Kontra, Pandangan Praktisi Pendidikan di Flores Soal Penghapusan Jurusan Jenjang SMA

Kesiapan sekolah, baik tenaga pengajar maupun fasilitas yang mengakomodasi minat semua peserta didik, jadi tantangan utama implementasi kebijakan ini

Floresa.co – Sejumlah praktisi pendidikan di Flores menyikapi secara beragam langkah terbaru pemerintah menghapus penjurusan pada jenjang Sekolah Menengah Atas atau SMA.

Langkah ini diumumkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi [Kemendikbudristek] baru-baru ini, bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka yang sudah diterapkan lebih dari 90 persen sekolah mulai tahun ajaran 2024/2025.

“Peniadaan jurusan karena sekolah sudah menggunakan Kurikulum Merdeka,” kata Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo.

Dengan kebijakan baru ini, tidak akan ada lagi pembagian jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Bahasa yang selama ini diterapkan di SMA.

Sementara sejumlah pihak menilai hal ini sebagai terobosan, para praktisi dan pengamat pendidikan juga mengingatkan tantangan implementasinya. 

Salah satunya adalah soal kesiapan sekolah mengakomodasi minat peserta didik yang tentu jauh lebih beragam dibandingkan pengelompokkan ke dalam tiga jurusan.

Pro Kontra

Di Flores, sejumlah guru yang berbicara dengan Floresa memiliki pandangan pro dan kontra dengan kebijakan ini.

Robertus Sabon Taka, seorang guru di SMA Katolik Frateran Podor, Kabupaten Flores Timur mendukung kebijakan langkah kementerian.

Ia beralasan, pembagian ke dalam tiga jurusan selama ini “terlalu mempersempit ruang elaborasi potensi peserta didik yang sebenarnya sangat beragam.”

“Apalagi cuma ada tiga,” katanya, sembari mempertanyakan ruang bagi peserta didik yang memiliki minat lain, seperti olahraga dan seni.

Pola lama dalam pendidikan selama ini, kata Robertus, selain mempraktikkan pembelajaran yang terlalu berpusat pada guru dan buku teks, juga “menyamaratakan semua anak.”

Karena itu, katanya, “biarkan anak memilih sendiri pelajaran yang dia minati.”

Viktor Juru, pegiat pendidikan di Kabupaten Manggarai Timur juga memiliki pandangan serupa.

“Sesuai pengalaman, saya tidak bisa memaksakan apa yang saya pikirkan kepada peserta didik,” katanya.

Ia beralasan peserta didik “harus belajar sesuai dengan apa yang diinginkannya”.

“Dalam suasana terpaksa, belajar dan mengajar tidak akan maksimal mencapai tujuannya,” kata guru di SDI Momang Mese, Kecamatan Borong ini.

Peniadaan jurusan, kata Viktor, sebenarnya telah dimulai dalam Kurikulum 2013, di mana terdapat model peminatan mata pelajaran.

Ia menyebutnya sebagai “bentuk dari merdeka belajar agar siswa merencanakan studinya sesuai minat dan fokus belajarnya”.

“Kalaupun saat ini peniadaan jurusan dirasakan agak ekstrim, mungkin yang perlu dilakukan adalah komunikasi untuk menyamakan persepsi antarpihak terkait,” katanya.

Valerianus Madung, guru di SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng, Kabupaten Manggarai juga sepakat dengan penghapusan jurusan.

Peserta didik seharusnya bebas memilih pelajaran sesuai minat, katanya, bukan karena paksaan pihak lain untuk masuk dalam jurusan-jurusan tertentu.

“Yang terjadi selama ini adalah peserta didik memilih jurusan yang sudah ditentukan, tanpa tahu dasar pertimbangannya,” katanya.

Akibatnya, kata Valerianus, seringkali peserta didik mengalami kebingungan ketika memilih jurusan kuliah, karena proses belajar di SMA tidak sesuai dengan minat studi dan jenjang karir yang kemudian dipilihnya.

“Sebenarnya harus ada data bakat dan minat anak. Berdasarkan data itu, maka anak ini cocoknya masuk jurusan A, B atau C,” lanjutnya.

Bagi Karolus Widiyono Deon, guru di Kabupaten Manggarai Barat, penghapusan jurusan positif karena mengakomodasi “pilihan peserta didik yang beragam.”

Namun kata dia, hal ini tidak berarti setiap peserta didik bebas dan tanpa arah memilih semua mata pelajaran.

“Memang di kelas X atau kelas 1 SMA mereka belum menentukan kelompok peminatan, tetapi di kelas 2 mereka akan dikelompokan berdasarkan minat dan bakatnya,” katanya.

Ia mencontohkan praktik di sekolahnya, SMA Katolik St. Ignatius Loyola Labuan Bajo, di mana guru Bimbingan Konseling melakukan analisis minat dan bakat siswa kelas X.

Setelah masuk ke kelas XI, kata Karolus, mereka lalu dikelompokkan berbasis minat.

Hal ini, katanya, disesuaikan dengan sumber daya sekolah, terutama sarana prasarana dan ketersediaan tenaga pengajar.

Tantangan Implementasi

Bagaimanapun, sejumlah praktisi dan pengamat mengingatkan tantangan implementasi kebijakan ini. Dengan terbukanya ruang peminatan, tuntutan pada kemampuan sekolah mengakomodasi beragam minat peserta didik jadi makin tinggi.

Di sisi lain, godaan bagi peserta didik untuk hanya memilih mata pelajaran yang disukai akan makin tinggi pula, hal yang akan melemahkan daya juang. Mata pelajaran yang dianggap susah akan ditinggalkan.

Cecep Darmawan dari Universitas Pendidikan Indonesia menilai kebijakan ini progresif, namun  perlu mempertimbangkan adanya fasilitas yang memadai sehingga bakat dan minat siswa dapat tersalurkan dengan baik seperti di negara-negara lain.

“Masalahnya, apakah Kurikulum Merdeka ditunjang dengan fasilitas yang memadai, misalnya kebutuhan laboratorium bagi murid saat praktik,” katanya.

Sementara Edi Subkhan dari Universitas Negeri Semarang menekankan pentingnya bimbingan guru bagi peserta didik agar penentuan mata pelajaran yang diminati tidak asal pilih.

Dengan memilih mata pelajaran secara bebas, kata dia, peserta didik dapat mengembangkan minat tanpa sekat-sekat ilmu, tetapi juga berpotensi menimbulkan adanya mata pelajaran tertentu yang sepi peminat.

“Bisa saja ada kelas yang siswanya sedikit, ada yang banyak,” katanya.

Kecemasan serupa disampaikan armaningtyas, pengamat pendidikan lainnya.

“Karena sudah tidak ada penjurusan, murid akan memilih paket mata pelajaran yang mudah-mudah saja,” katanya sebagaimana dilansir dari Tempo.co.

Bernardus Tube Beding, pengajar di Universitas Katolik St. Paulus Ruteng menambabkan, penghapusan jurusan membuat peserta didik “bebas di sekolah” sehingga “tidak menanam profil diri.”

Padahal, seorang pelajar “harus punya profil diri” agar memiliki kedalaman pengetahuan dan kompetensi yang berguna.

“Langkah awal untuk menanamkan profil diri itu adalah kebijakan pemberian jurusan di sekolah menengah,” katanya.

Ia juga mengingatkan tantangan implementasi program seperti ini adalah soal kesiapan lembaga.

Pemerintah perlu menyadari bahwa “sampai sekarang masih banyak sekolah yang belum siap,” baik dalam melaksanakan kebijakan seperti ini, maupun menjalankan kebijakan Kurikulum Merdeka secara luas.

Viktor Juru juga mengakui tantangan itu, bahwa kebijakan perlu disesuaikan dengan infrastruktur pendidikan.

“Apakah kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan siap atau tidak dengan model seperti ini?”

Evaluasi Kurikulum Merdeka

Penghapusan jurusan hanyalah salah satu dari gebrakan Kemdikbudristek di bawah era Menteri Nadiem Anwar Makarim.

Di bawah bendera Merdeka Belajar, ia telah meluncurkan 26 episode program, termasuk guru penggerak dan sekolah penggerak.

Kurikulum Merdeka adalah salah satunya, menggantikan Kurikulum 2013 yang berlaku sebelumnya.

Edi Subkhan dari Universitas Negeri Semarang menekankan pentingnya evaluasi secara menyeluruh implementasi Kurikulum Merdeka, sehingga menjadi dasar untuk menilai kebijakan turunannya.

Karena pemerintah belum secara serius melakukan evaluasi, kata dia, “tidak bisa disimpulkan apakah kurikulum ini sudah berhasil atau belum”.

Di sisi lain, Bernardus Tube Beding memberi catatan bahwa bahwa secara umum tendensi Kurikulum Merdeka “kental dengan pendekatan pasar untuk kebutuhan industri, bukan untuk membentuk karakter” peserta didik, juga mahasiswa dalam konteks kampus.

Ia khawatir sekolah dan kampus “hanya akan mempersiapkan dan melahirkan manusia-manusia pekerja, bukan manusia pemikir yang kritis.”

“Buahnya bagus tapi tidak enak dimakan,” katanya.

Robertus Sabon Taka menyebut kebijakan Kurikulum Merdeka positif, tetapi “menimbulkan kesenjangan yang besar pada tataran operasionalnya” dan Menteri Nadiem “terkesan memaksakan keadaan”.

Penghapusan jurusan salah satunya. 

Kendati setuju, namun ia mengakui pelaksanaannya bisa kompleks dan ruwet, karena menuntut ketersediaan dan kesiapan guru, orang tua dan fasilitas.

Ia menyebut kebijakan yang tiba-tiba muncul seperti ini bagian dari tradisi rezim yang berusaha meloloskan idealisme “demi membuat sejarah,” tanpa mempertimbangkan implementasinya.

Pemerintah, kata Robertus, seharusnya “mencari solusi yang lebih relevan dan efektif.”

Editor: Ryan Dagur

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya