Oleh: Rikard Rahmat
Vatikan biasanya memiliki kriteria sendiri dalam memilih seseorang menjadi uskup.
Konon, salah satunya, harus bisa menjaga harmoni dan persatuan, termasuk dengan sesama uskup dan imam-imamnya.
Maka, ia harus bisa diterima oleh semua. Satu saja yang keberatan, dengan alasan tertentu, tamatlah riwayat pencalonannya.
Tipe kritis, vokal, progresif, dan pendobrak dihindari. Seorang uskup harus one thousand friends-zero-enemy, memiliki seribu kawan, tak ada musuh.
Untuk konteks di daerah seperti Nusa Tenggara Timur, provinsi yang masih didera persoalan di berbagai bidang, apakah kriteria uskup yang penting dan relevan?
Saya mengikuti kata-kata Paus Fransiskus kepada kaum klerus; “Saya berharap Anda menjadi gembala dengan ‘bau domba.’
Atau, kata-kata dalam dokumen Gereja konstitusi pastoral Gaudium et Spes, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia-manusia zaman ini, khususnya mereka yang miskin dan menderita, adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus” [art. 1].
Seperti apakah bau domba NTT?
Bau domba NTT adalah bau kemiskinan dan ketidakberdayaan. Hal itu terjadi karena lahan-lahan pertanian tidak cukup membuat warganya sejahtera, karena tanaman di kebun banyak yang tidak berbuah, karena ternak kerap terkena wabah penyakit dan tidak terurus, karena pemerintahnya banyak yang korup.
Sebagai pemimpin, uskup untuk konteks NTT harus ikut serta mengatasi kemiskinan dan ketidakberdayaan melalui program-program ekonomi yang nyata.
Menempatkan altarnya di tengah sawah dan ladang petani, itulah seharusnya misi perutusannya di NTT.
Seorang uskup, demikian juga para imam, tidak bisa berkoar-koar tentang surga yang jauh di sana ketika umat sulit menikmati ‘surga di dunia.’
Dalam buku Gereja Itu Politis (JPIC-OFM: 2012), kami pernah menulis, iman itu bukan cuma soal menjalankan kewajiban ibadah pada akhir pekan, misteri yang dirayakan sekitar altar pada hari Minggu. Iman juga bukan cuma ketaatan menjalankan kewajiban-kewajiban ritual, setiap pagi, siang dan malam.
Iman jauh lebih luas dari itu. Gereja Katolik juga mesti bergumul dengan soal-soal riil umat.
Karena itu, konkritnya, sebagaimana tertulis dalam buku itu, mesti ada imam yang spesialis pertanian, spesialis peternakan, spesialis perkebunan, spesialis dokter.
Jangan semuanya diarahkan ke studi teologi, spiritualitas atau filsafat.
Kalau para imam terlibat dalam tugas-tugas “dunia” tersebut, itu bukan opsi, bukan juga aktivitas sampingan, melainkan bagian yang utuh dari cara beradanya.
Peduli pada urusan-urusan profan umat semacam ini hanya bisa lahir dari seorang uskup progresif dan pendobrak, yang gerah melihat tatanan-tatanan lama yang korup, beku, dan lamban menyikapi perubahan.
Uskup demikian kritis membaca kondisi nyata dan tanda-tanda zaman, seraya kukuh dan berkomitmen membuat perubahan, dengan segala risikonya.
Dalam proses itu, ia tidak selalu disenangi. Dan dia sadar akan hal itu. Sebab, pemimpin yang baik itu tidak berusaha menyenangkan semua orang.
Pemimpin yang baik menggerakkan perubahan dengan konsisten dan tegas, dengan memberdayakan semua orang di sekitarnya [para imam] sesuai dengan bakat dan kemampuan mereka.
Sebab, di relung hatinya yang paling dalam, ia tahu itu semua sesuai kebutuhan nyata umat dan perkembangan zaman.
Itulah kepemimpinan seorang uskup yang sesungguhnya. Itulah juga kriteria uskup untuk NTT.
Kriteria tersebut bisa tidak berlaku di Jawa atau Sulawesi, bahkan di Eropa. Sebab, kondisi umatnya berbeda.
Pertanyaannya, sampai kapan uskup dan para imam terlibat dalam urusan-urusan profan semacam itu?
Jawabannya, sampai umatnya sejahtera. Lugasnya, sampai pemerintah setempat mampu mengambil alih peran untuk meningkatkan kesejahteraan umat/warga.
Realitanya, di NTT, pemerintah seakan mati gaya bagaimana meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selama berpuluh-puluh tahun, saban tahun, pemerintah selalu berkutat di sekitar pembangunan jalan dan jembatan. Tanpa henti.
Karena apa? Karena setelah satu-dua minggu, semua infrastruktur yang dibangun tersebut rusak berantakan. Iya, karena praktik korupsi yang berurat akar. Soal yang lain-lain terlupakan.
Ketika umat sudah sejahtera, Gereja bisa beralih ke hal-hal lain, seperti model-model baru pewartaan melalui media komunikasi dan informasi yang telah berkembang sedemikian pesat saat ini, tantangan kecerdasan buatan, memaksimalkan peran awam – khususnya perempuan – dalam kehidupan menggereja, dan sebagainya.
Maka, sebetulnya, syarat untuk menjadi uskup tidak harus sama untuk tiap daerah.
Tentu ada standar minimal yang sama, tetapi mesti ada satu kriteria khusus yang menjawab kebutuhan riil umat setempat.
Untuk NTT, kriteria itu adalah seorang pemimpin inovatif dan penerobos, pembongkar zona nyaman (comfort zone), yang berani melakukan perubahan-perubahan nyata yang dibutuhkan umat.
Dan itu terealisasi dalam program-program pemberdayaan ekonomi yang dijalankan dengan penuh komitmen, terencana, konsisten dan terukur.
Tidak semua uskup harus berkualifikasi latar belakang teologi, spiritualitas, atau hukum kanonik, yang konon dimaksudkan untuk menjaga kemurnian ajaran Gereja di mana saja berada.
Sebab, dalam iman yang hidup, dalam Gereja yang politis, kemurnian ajaran Gereja akan terpelihara dengan sendirinya.
Dengan kata lain, ajaran Gereja Kristus justru terwujud kemurniannya dalam diri umat Allah yang sejahtera, di dunia ini.
Kiranya itu juga telah menjadi kesadaran Roma dengan mengangkat Romo Maksimus Regus yang berlatar belakang ilmu profan, sosiologi.
Kiranya, dengan menunjuknya, ada kesadaran bahwa perkara duniawi ini tidak kalah bernilai dengan perkara surgawi.
Untuk Keuskupan Labuan Bajo, medan “profan” yang akan digeluti uskup terpilih kiranya juga tidak pertama-tama dan terutama berpusat pada Labuan Bajo, kota wisata super premium.
Betul bahwa kota ini menjadi magnet baru yang menghadirkan banyak tantangan dan peluang baru bagi umat dalam bidang ekonomi.
Interaksi dengan berbagai kebudayaan juga pasti semakin intens akibat posisinya sebagai kota wisata super premium.
Menciptakan trickle down-effect secara ekonomi dari posisinya sebagai kota wisata super premium, sehingga umat Allah tidak hanya menjadi penonton derap pembangunan pariwisata Labuan Bajo, serta mengambil bagian dalam pengelolaan kota sehingga identitas kekatolikan tetap terjaga, bukanlah sesuatu yang mudah.
Namun, jangan lupa, 95% umat keuskupan berada di pinggiran, bukan di Labuan Bajo.
Mereka inilah penonton kemajuan pariwisata dalam arti sesungguhnya jika tidak mendapat perhatian utama.
Itu berarti, mulailah membangun dari pinggiran.
Kiranya, Uskup terpilih Max nantinya menjadi inspirasi dan contoh bagi Gereja yang semakin politis di NTT, mulai dari Keuskupan Labuan Bajo.
Proficiat dan selamat berkarya, Uskup terpilih Max.
Teriring doa, kiranya selalu dikaruniai semangat, kesehatan, dan sukacita.
Rikard Rahmat berasal dari Lembor, Manggarai Barat, yang masuk wilayah Keuskupan Labuan Bajo, kini berdomisili di Jakarta
Editor: Ryan Dagur