Oleh: Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila
Nusa Tenggara Timur [NTT] merupakan salah satu provinsi yang akan meramaikan pentas politik elektoral pada November tahun ini.
Selain memilih gubernur dan wakil gubernur, masyarakat NTT juga akan memilih bupati dan wakil bupati.
Setidaknya, sudah ada beberapa figur yang sudah siap bertarung dalam pilkada.
Penelusuran saya di media sosial Facebook, sudah ada beberapa grup pemenangan untuk pemilihan gubernur dan bupati.
Salah satu misalnya relawan Melki Laka Lena yang baru-baru ini dideklarasikan di Labuan Bajo, Lembata, Nagekeo dan Manggarai Timur. Melki, politisi Partai Golkar yang saat ini berstatus sebagai anggota DPR RI digadang-gadang maju sebagai calon gubernur.
Figur lainnya Yohanis Fransiskus Lema telah menyebarkan sejumlah poster di wilayah NTT. Ia telah dinyatakan dicalonkan partainya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk kursi gubernur.
Selain itu, di tingkat kabupaten juga sudah tampak dukungan politik ke masing-masing figur dan bakal calon.
Di Manggarai Timur misalnya, sudah ada beberapa bakal calon dengan paketnya masing-masing. Sebut saja Paket Harum, Paket Akur, Paket Merdu, dan Paket Elemen.
Tulisan ini akan melihat pilkada di NTT sebagai sebuah kontestasi yang tak lepas dari pengaruh invisible hand atau tangan tak kelihatan, yakni oligarki.
Seperti fenomena politik elektoral di tempat lain, pilkada di NTT juga berkelindan dengan pengaruh para oligark.
Apa yang disebut sebagai ‘hegemoni oligarki’, tentu perlu dipertimbangkan untuk melihat kontestasi pilkada secara lebih luas. Bahwa, pilkada dengan biaya politik yang makin mahal, ditambah rendahnya pendidikan politik kritis, telah turut menarik dukungan oligark untuk menjadi bagian dari jaringan patronase politik elektoral.
Ancaman Oligarki dalam Pilkada
Jeffrey Winters [2011] dalam bukunya ‘Oligarki’, mendefinisikan oligarki sebagai “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya.”
Sementara Vedi Hadiz dan Richard Robison [2014] dalam artikel ‘Ekonomi Politik dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia [Prisma Vol. 33, No. 1] mendefinisikan oligarki sebagai “sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan terkonsentrasinya kekayaan dan otoritas serta perlindungan kolektif terhadap keduanya.”
Meskipun tampak jelas perbedaan teori oligarki Winters dan Hadiz bersama Robison, namun, menurut mereka oligarki atau oligark memiliki pengaruh signifikan dalam dinamika politik demokrasi di Indonesia.
Bahkan, oligark mampu mengontrol jalannya proses dan agenda demokratisasi, termasuk kebijakan publik.
Dalam konteks pilkada, temuan Winters tentu menarik. Sebagaimana ditulis dalam artikel ‘Oligarki dan Demokrasi di Indonesia’ [Prisma Vol. 33, No. 1, 2014], ia menyoroti pemilihan gubernur DKI Jakarta, yang dimenangkan Joko ‘Jokowi’ Widodo dan Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama pada 2012. Kemenangan mereka, katanya, disokong oleh dukungan politik dan finansial oligark.
Hashim Djojohadikusumo dan Prabowo Subianto adalah orang yang sangat berkontribusi pada pencalonan Jokowi dan Ahok kala itu. Mereka berdua, sebagaimana dicatat Winters, bersama Partai Gerindra, mengatur sejumlah langkah untuk pencalonan Jokowi dan Ahok. Sejumlah langkah ditempuh, mulai dari membujuk Megawati Soekarnoputri untuk ikut mendukung pencalonan Jokowi, hingga menyiapkan pendanaan dan kendaraan politik.
Menurut Winters, meskipun Pilkada DKI Jakarta 2012 berhasil mendorong pencalonan Jokowi dari klan politik masyarakat bawah, namun “sekalipun menikmati dukungan akar rumput, Jokowi tidak mengikuti pemilihan gubernur sebagai konsekuensi dari inisiatif atau politik akar rumput.”
Sementara di Kalimantan Selatan misalnya, banyak masyarakat takut bersuara terkait pengurasan sumber daya alam oleh para oligark. Menurut Muhammad Uhaib As’ad, sebagai dilansir Tempo.co media, akademisi, perguruan tinggi, institusi agama dan organisasi sipil, tak berani bersuara karena takut terhadap risiko kekerasan fisik dan teror dari oligark.
Apakah Pilkada di NTT tak dibayangi pengaruh oligarki seperti Pilkada di DKI Jakarta serta ancaman pengurasan sumber daya alam seperti di Kalimantan Selatan? Pilkada bisa menjadi pintu masuk bagi oligark, justru karena NTT tengah menjadi ‘mata dunia’ karena potensi pariwisata dan energi.
NTT dalam Radar Oligarki
Master Plan Percepatan Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia [MP3EI] 2011-2025 menempatkan Provinsi NTT dalam satu kelompok bersama Bali dan Nusa Tenggara Barat. Wilayah ini pun ditetapkan sebagai “pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional.”
Setelah MP3EI, pada 2016, pemerintah menetapkan Labuan Bajo sebagai salah satu sasaran Proyek Strategis Nasional bidang pariwisata, di mana kota yang menjadi pintu masuk kawasan Taman Nasional Komodo itu ditetapkan sebagai salah satu dari 10 Bali Baru.
Selanjutnya, pemerintah juga menetapkan Flores sebagai Pulau Geotermal pada 2017, melalui Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2268 K/30/MEM/2017.
Sejumlah kebijakan itu membuat dalam setidaknya satu dekade terakhir NTT menjadi sasaran beragam bentuk investasi, khsususnya di bidang pariwisata dan energi.
Labuan Bajo di ujung barat Pulau Flores, yang jadi pintu gerbang ke Taman Nasional Komodo menjadi primadona baru. Hotel berbintang dan restoran mewah dibangun di dekat pusat pariwisata. Labuan Bajo disulap menjadi salah satu destinasi pariwisata dengan sebutan super premium dan super prioritas.
Pemerintah juga membangun berbagai bisnis pariwisata di Sumba dan Nagekeo. Sementara untuk mendukung program pangan, sejumlah waduk juga dibangun.
Pariwisata juga butuh energi. Di bawah jargon transisi energi dari energi fosil ke energi hijau, Flores telah menjadi sasaran berbagai macam proyek geotermal. Sejumlah proyek sudah dan sedang dilakukan, seperti di Wae Sano Manggarai Barat, Mataloko Kabupaten Ngada, Sokoria Kabupaten Ende dan Poco Leok Kabupaten Manggarai.
Beragama investasi ini, dalam bahasa pemerintah, dengan sendirinya mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dapat dinikmati oleh masyarakat. Sementara di sisi lain, realisasi proyek-proyek itu menimbulkan gelombang perlawanan warga karena sekaligus disertai dengan praktik pencaplokan ruang hidup, kriminalisasi, peminggiran dan konflik agraria.
Pilkada di NTT, menurut saya, perlu diletakan dalam konteks ekspansi kapitalisme lewat berabagi macam bentuk investasi pembangunan ini.
Berbagai investasi memerlukan aturan hukum, seperti aturan pelepasan lahan, peraturan mendirikan bangunan [hotel dan restoran], dan berbagai kemudahan lain untuk investor, yang semua itu berada di tangan pemerintah. Hal ini membuka kran bagi sebuah hubungan simbiosis mutualisme antara investor dan pemegang kekuasaan.
Pada titik ini, apa yang disebut Hadiz dan Robison sebagai ‘sistem relasi kekuasaan’, yang melibatkan pihak luar [oligark] sangat mungkin terjadi.
Di momen pilkada, kontestan politik memerlukan pendanaan politik dari oligark. Dengan bekingan finansial dari oligark, ketika terpilih berbagai proyek bisa ‘dikondisikan’ seturut kepentingan oligark. Ibarat ‘tak ada makan siang gratis’ berlaku untuk konteks Pilkada.
Oligark tahu bahwa dengan menjalin relasi bersama para kontestan, mulai dari menyiapkan anggaran kampanye, melakukan lobi politik ke partai-partai besar, dan mengontrol media, mereka menjadi kunci kemenangan kontestan politik tertentu. Pada momen ini terjadi ‘barter politik’.
Hak istimewa dan monopoli yang melekat di tangan oligark memosisikan mereka dalam apa yang disebut Hannah Appel sebagai ‘dimensi kapitalisme yang sah’, karena didukung oleh undang-undang, kontrak, dan laporan perusahaan” [dalam Tania Li dan Pujo Semedi, 2022]. Ini memberi legitimasi bagi oligark untuk menguasai areal kawasan wisata, pembangunan hotel dan restoran dekat bibir pantai, hingga memonopoli semua kekayaan alam.
Saya melihat gejala semacam ini sangat mungkin terjadi dalam konteks pilkada di NTT. Karena, selain biaya kampanye yang makin mahal, kurangnya pendidikan politik kritis oleh parpol, birokrasi yang korup dan nepotis, dan tajamnya kompetisi memburu kekuasaan mendorong pihak luar atau oligark menjadi bagian dari aliansi yang melibatkan kontestan politik, parpol dan tim sukses.
Posisi Politik Kaum Muda di NTT
Posisi politik kaum muda sangat penting di tengah momen pilkada seperti saat ini.
Kaum muda NTT harus berani bicara soal masalah hidup warga NTT. Bahwa, NTT memiliki banyak masalah, seperti pengangguran yang memicu masalah migrasi pekerja ke luar negeti, kerusakan alam dan penguasaan kawasan wisata oleh pihak luar. Hal ini membuat provinsi ini tetap miskin.
Di momen pilkada ini, kaum muda bisa menginisiasi berbagai agenda politik. Misalnya pendidikan politik kritis bagi masyarakat melalui media sosial maupun dengan melakukan aksi langsung ke desa-desa.
Selain itu, membangun konsolidasi kaum muda lintas daerah di NTT untuk bersama-sama mendorong politik bersih tanpa uang dan politik tanpa mahar.
Menurut saya, ini dengan sendirinya bisa mengikis biaya politik yang makin mahal. Ini juga bisa melemahkan posisi oligarki di tingkat lokal yang memakai ‘strategi material’.
Dengan sendirinya, hal ini memungkinkan politik pilkada bisa melahirkan pemimpin – gubernur dan bupati – yang serius membangun perubahan.
Tanggung jawab membangun pilkada yang jujur ada di tangan kita semua. NTT tak boleh jatuh ke tangan pemimpin yang lahir dari proses politik yang disokong oligarki.
Tugas kita adalah menjamin agar figur yang memiliki kompetensi, paham masalah, dan memiliki sikap jelas pada kepentingan warga, yang bisa terpilih. Karena dengan itu NTT bisa maju.
Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila adalah alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik. Berasal dari Manggarai Timur, NTT, saat ini berdomisili di Jakarta.
Editor: Ryan Dagur