Flores Hadapi Pencaplokan Sumber Daya Berdalih Investasi Hijau: Bagaimana Prosesnya, Apa yang Perlu Dilakukan Elemen Sipil?

Lewat proyek pariwisata dan energi, Pulau Flores sedang menjadi situs uji coba pembangunan berbalut narasi ekonomi hijau, kata peneliti, selagi terus terjadi peminggiran dan pengabaian suara warga

Floresa.co – Pulau Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur sedang menjadi arena pencaplokan oleh negara dan korporasi, baik atas sumber daya alam maupun kesempatan hidup sejahtera warganya; hal yang menuntut sikap kritis berbagai elemen demi mendorong pembangunan berkeadilan. 

Pernyataan tersebut disampaikan Cypri Jehan Paju Dale, peneliti isu-isu pembangunan di Flores, dalam suatu lokakarya bersama kaum muda di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.

Pencaplokan tersebut, kata Cypri yang juga peneliti di Universitas Wisconsin-Madison Amerika Serikat, tampak dalam bidang pariwisata dan energi yang, oleh pemerintah digadang-gadang sebagai “dua jenis investasi hijau.”

“Semuanya dibungkus narasi ekonomi hijau, tetapi faktanya, keduanya adalah industri,” kata Cypri yang membawa materi bertajuk “Flores Sebagai Front(ier) Ekonomi Baru” dalam lokakarya pada 19 Juni.

Ia berkata, hal itu dimulai dari penetapan Master Plan Percepatan Perluasan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia [MP3EI] 2011-2025, di mana Pulau Flores diputuskan menjadi “pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional.”

Dokumen tersebut, yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011, menempatkan Flores dan Provinsi NTT dalam satu kelompok bersama Bali dan Nusa Tenggara Barat, yakni koridor ekonomi Bali-Nusra.

Setelah MP3EI, pada 2016, pemerintah menetapkan Labuan Bajo sebagai salah satu sasaran Proyek Strategis Nasional bidang pariwisata, di mana kota yang menjadi pintu masuk kawasan Taman Nasional Komodo itu ditetapkan sebagai salah satu dari 10 Bali Baru. 

Sembilan lainnya adalah Danau Toba di Sumatra Utara, Tanjung Kelayang di Bangka Belitung, Morotai di Maluku Utara, Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, Gunung Bromo di Jawa Timur, Candi Borobudur di Jawa Tengah, Kepulauan Seribu di Jakarta, dan Tanjung Lesung di Provinsi Banten.

Selanjutnya, pemerintah juga menetapkan Flores sebagai Pulau Geotermal pada 2017, melalui Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2268 K/30/MEM/2017.

Sejumlah kebijakan itu, kata dia, kemudian menjadi basis bagi ekspansi kapitalisme ke Flores dalam setidaknya satu dekade terakhir lewat sejumlah proyek berskala besar.

Hal itu mendorong transisi dari model ekonomi berbasis komunitas ke ekonomi berbasis elit, di mana sarana produksi dikontrol oleh segelintir orang yang memiliki kekuasaan ekonomi-politik, difasilitasi negara dan melalui mekanisme pasar.

Proyek-proyek pariwisata dan energi seperti geotermal, kata Cypri, memiliki keterkaitan karena investasi besar-besaran di bidang pariwisata membutuhkan listrik sebagai penyokong utama.

“Geotermal dibutuhkan untuk industrialisasi pariwisata. Maka, setiap titik di Flores akan diambil sebagai energi penopang pariwisata industrial yang akan dibangun secara massal, bukan hanya di Labuan Bajo dan Taman Nasional Komodo,” katanya menyinggung hingga puluhan lokasi proyek geotermal di daratan Flores menuju timur hingga Pulau Lembata.

Sejumlah poster berbahan karung berisi pernyataan penolakan proyek geotermal dibentangkan di halaman Kampung Lungar, Poco Leok, Kabupaten Manggarai. Warga menolak proyek ini, bagian dari proyeks strategis nasional bidang energi di Flores. (Dokumentasi Floresa)

Mekanisme Pencaplokan

Gregorius Afioma, peneliti lainnya mengetengahkan sejarah peminggiran warga adat Ata Modo di kawasan Taman Nasional Komodo, yang menurutnya menunjukkan fakta-fakta pencaplokan atas tanah dan ruang hidup komunitas tersebut.

“Sejak awal pembentukan kawasan taman nasional itu pada 1980, tanah-tanah ulayat warga diambil oleh negara atas nama konservasi,” kata alumnus Departemen Antropologi dan Geografi Universitas Negeri Colorado, Amerika Serikat itu.

Greg, sapaan, peneliti yang terlibat dalam advokasi bersama Ata Modo sejak 2016 itu menyebut pembentukan taman nasional turut mendorong peralihan mata pencaharian warga dari petani ke nelayan.

“Beruntung saat itu mereka memiliki kedekatan dengan orang-orang Suku Bajo yang mahir sebagai pelaut, melatih mereka menjadi nelayan,” katanya.

Pada era 1990-an, lanjutnya, pemerintah menerapkan sistem zonasi di wilayah perairan, yang kemudian memaksa warga kembali mengubah penghidupan mereka menjadi pekerja wisata hingga sekarang.

Cypri mengatakan dalam sejumlah agenda ini, termasuk yang disampaikan Greg terkait Ata Modo, negara dan korporasi melakukan “pencaplokan sumber daya” atau resource grabbing dan “pencaplokan kesempatan” atau opportunity grabbing.

Menyitir konsep accumulation by dispossession yang dikemukakan David Harvey, seorang antropolog Inggris-Amerika, Cypri menyatakan penguasa-pengusaha mengakumulasi sumber daya lewat pencaplokan dan privatisasi.

Proses pencaplokan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan “regulasi atau peraturan yang menentukan batas-batas akses atas sumber daya, kekuasaan tangan besi, kekuatan pasar, dan diskursus atau kekuatan narasi yang memberi legitimasi atas perampasan.”

Ia mencontohkan pola pencaplokan ini lewat penguasaan tanah menuju Golo Mori di sebelah selatan Labuan Bajo, yang kini dicanangkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus.

Akses jalan raya 25 kilometer ke kawasan itu dan diresmikan Presiden Joko Widodo tahun lalu, kata dia, melewati lahan-lahan yang sejak satu dekade lalu dibeli oleh para pengusaha yang memahami peta pembangunan di Labuan Bajo ke arah selatan.

Pembangunan jalan itu menguntungkan sekelompok pengusaha besar “karena ikut membuat harga tanah-tanah mereka melonjak drastis,” kata Cypri, “sementara warga setempat sudah kehilangan tanah-tanah yang terpaksa dijual lewat mekanisme pasar.”

Kondisi tersebut membuat proses pembangunan “memang tidak diarahkan untuk warga lokal.”

Pada akhirnya “keindahan alam, aset budaya dan manusia sebagai tenaga kerja adalah sarana dan faktor produksi utama di Flores, yang dikontrol oleh segelintir pengusaha dan difasilitasi negara.”

Selain tanah, air, sumber-sumber energi dan budaya, lanjutnya, penguasaan oleh segelintir orang itu menyebabkan warga “kehilangan kesempatan” untuk mengontrol tanahnya sendiri.

Akibatnya, warga di Flores “hanya bisa menari dengan musik orang lain” atau “pestanya punya orang, kita hanya menjadi undangan.”

Sementara itu, kaum muda terancam menjadi masyarakat tanpa tanah.

“Secara kolektif kita beralih dari pemilik sumber daya menjadi tenaga kerja atau sekadar sumber daya manusia,” katanya.

Proses pembangunan yang mencaplok tersebut menjadi langgeng karena absennya partisipasi elemen sipil untuk mengambil sikap kritis, kendati manipulasi dan represi kian marak dipraktikkan, kata Ryan Dagur, pembicara lainnya.

Ia menyoroti posisi lembaga agama yang dominan di Flores, seperti Gereja Katolik, yang dalam sejumlah kasus meninggalkan peran profetisnya “malah jadi bagian dari gerbong kekuasaan dan kekuatan modal.”

Ia menyebut contoh kasus proyek geotermal di Wae Sano, di mana otoritas Gereja Katolik malah menyatakan dukungan terbuka bagi kelanjutan proyek, meninggalkan umatnya yang sedang berjuang mempertahankan tanah.

“Lemahnya peran lembaga agama dominan itu diperparah oleh simpul masyarakat sipil yang tidak terlalu kuat. Tidak banyak lembaga advokasi di kabupaten-kabupaten di Flores yang menaruh perhatian, sementara akademisi di kampus-kampus juga kebanyakan tidak peduli,” katanya.

Di sisi lain, kata dia, media massa yang diklaim sebagai salah satu pilar demokrasi juga lebih banyak jadi corong suara penguasa dan pemodal, dibanding melayani kepentingan publik, terutama warga yang jadi korban.

“Yang dominan mendapat tempat dalam pemberitaan media-media kita adalah apa kata pejabat, klaim-klaim mereka. Jurnalis lebih nyaman di kantor-kantor, bukan di tengah kehidupan warga,” kata Ryan, yang juga editor Floresa.

Dalam foto pada bulan Mei 2021 ini tampak Uskup Ruteng, Mgr Siprianus Hormat bersama sejumlah imam mengepalkan tangan bersama pejabat pemerintah dan petinggi perusahan yang akan mengerjakan proyek geothermal di Wae Sano. Pertemuan ini digelar di di Hotel La Prima, Labuan Bajo. (Foto: Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral)

Kaum Muda yang Cemas

Yudi Onggal, pemuda dari Poco Leok di Kabupaten Manggarai yang menjadi salah satu lokasi proyek geotermal berkata, ia dan warga lainnya merasa cemas di tengah upaya pemerintah dan perusahaan memaksakan proyek itu.

Poco Leok yang mencakup 14 kampung adat dan terbagi dalam tiga desa terletak sekitar 23 kilometer sebelah selatan kota Ruteng. Warga Poco Leok didera konflik akibat rencana perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulumbu Unit 5-6.

“Ketika kami merasa cemas dan terganggu,” kata Yudi, “perasaan seperti itu seharusnya juga membuat Flores terganggu karena Poco Leok hanyalah salah satu dari titik persoalan di pulau ini.”

Yudi berkata, perjuangan mereka adalah demi mempertahankan kampung, tanah dan ruang hidup, yang memang tidak ada dalam kalkulasi penguasa dan pemodal.

Hal senada disampaikan Geril Ngalong, koordinator Rumah Baca Aksara, sebuah komunitas kaum muda di Ruteng. 

Ia berkata, sebagian besar kaum muda di Flores dihantui kecemasan akan kehilangan tanah dan ruang hidupnya di masa depan.

“Namun, kaum muda juga dininabobokan oleh lingkungan yang seolah nyaman-nyaman saja, tidak peduli pada situasi sosial yang sedang tidak baik-baik saja,” katanya.

“Dalam kaca mata kami, pembangunan di Flores menghasilkan ‘dua kebrutalan’, yaitu tidak memperhatikan ekologi dan tidak berperspektif perempuan,” kata Sr. Herdiana Randut, Ssps, biarawati yang juga koordinator komunitas Puan Floresta Bicara.

Tomy Jedoko dari Rumah Tenun Baku Peduli, menyoroti kaum muda yang keasyikan berbisnis di tengah perkembangan pesat industri saat ini, lalu kehilangan daya kritis terhadap persoalan-persoalan yang muncul.

“Menurut saya penting juga kesadaran untuk peka dengan situasi sosial. Kalau kita tidak peduli dengan situasi hari ini, maka ke depan kita hanya akan menanti kapan kehancuran datang,” katanya.

Tomy yang juga seorang barista mengajak kamu muda memasukkan dimensi sosial dan keterlibatan sosial dalam berbisnis.

“Untuk yang menjual kopi misalnya, tidak hanya murni berbisnis, tetapi juga misalnya memasukkan dimensi pemberdayaan petani kopi,” katanya.

Anak-anak Kampung Turetogo, Desa Wogo, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada berdiri di dekat sebuah lubang yang terus menyemburkan lumpur dan uap panas. Lubang yang berada di lahan warga itu muncul setelah kegagalan pengeboran PLTP Mataloko. Dulunya berupa sawah, lahan ini tidak lagi dimanfaatkan. (Dokumentasi Floresa)

Refleksi Perlawanan

Pertanyaan riset yang diajukan Greg adalah “bagaimana Ata Modo bisa hidup, bahkan mapan, tanpa tanah?”

Dalam dinamika kehidupannya yang terus diintervensi oleh kebijakan negara dan korporasi, kata dia, warga memiliki cara tersendiri untuk melakukan perlawanan.

“Tangan kiri mereka dikepal untuk melawan, sedangkan tangan kanannya beradaptasi demi menjaga keberlangsungan ekonomi,” katanya.

Bagi Greg, kecemasan kaum muda justru menjadi “modal besar,” yang mungkin tampak sepele, tetapi “sangat membantu sebagai pegas bagi perlawanan.”

“Orang yang kritis dan cemas biasanya lebih dahulu mampu melihat peluang-peluang, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk komunitasnya,” katanya.

Kecemasan yang kritikal, lanjutnya, ditandai oleh cara manusia membaca dinamika sosial bukan sebagai sesuatu yang terjadi begitu saja, tetapi “merupakan dampak dari kerja kekuasaan politik.”

Cara pandang terhadap situasi sosial inilah “yang membuat kita tahu dasar-dasar persoalan, yaitu akibat kebijakan politik, dan kemudian tahu apa dan siapa yang menjadi lawan kita.”

Sementara itu Cypri mengingatkan aktivisme warga di Flores sangat bergantung pada peran kaum muda.

“Itu terkait dengan positioning diri kita di tengah masalah-masalah sosial, apakah mau menjadi bagian dari lokomotif solusi?,” katanya.

Cypri Jehan Paju Dale menyoroti ekspansi kapitalisme ke Flores yang memicu transisi dari model ekonomi berbasis komunitas ke ekonomi berbasis elit. (Dokumentasi Rumah Baca Aksara)

Di sisi lain, Cypri menyatakan dukungan pada penguatan gerakan ekonomi, khususnya yang berbasis komunitas, yang di dalamnya terpelihara upaya saling sokong di antara elemen warga.

Menambahkan Cypri, Ryan menyatakan tantangan yang mesti disikapi bersama adalah bagaimana bersolidaritas dengan sesama warga yang sedang jadi korban.

“Kita kadang-kadang menjadi peduli ketika masalah terjadi di kampung atau dapur kita sendiri,” kata Ryan.

Karena itu, kata dia, kolaborasi menjadi penting, “baik antarsesama warga, dengan lembaga advokasi dan komunitas, akademisi, dan media atau jurnalis.”

Terkait peran media, ia mengatakan penting untuk terus memperkuat suara warga di tengah relasi kuasa yang tidak seimbang antara penguasa dan warga yang menjadi korban pembangunan.

“Posisi jurnalis amat penting, mau memilih ada di mana? Menjadi bagian dari kekuasaan yang menindas atau mau berada bersama masyarakat yang paling lemah dan butuh ditemani dalam perjuangan menyuarakan hak mereka?,” katanya.

Ia juga berkata, media dan jurnalis sangat diharapkan untuk tidak hanya dekat dengan warga tetapi juga membuka ruang kolaborasi bagi jurnalisme warga.

“Warga bisa ikut terlibat dalam kerja-kerja jurnalisme, dengan membantu melaporkan peristiwa-peristiwa di wilayah mereka, agar bisa menjadi bahan baku bagi laporan jurnalis,” katanya.

Kegiatan lokakarya sehari ini diinisiasi oleh Floresa, lembaga riset dan advokasi Sunspirit for Justice and Peace dan kolektif Rumah Baca Aksara.

Kegiatan tersebut yang digelar di Rumah Baca Aksara diikuti sejumlah kaum muda lintas komunitas, di antaranya dari Poco Leok, Puan Floresta Bicara, dan mahasiswa Universitas Katolik Indonesia St. Paulus Ruteng.

Editor: Anastasia Ika

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA