Francis Fukuyama dalam bukunya “Identitas, Tuntutan Atas Martabat dan Politik Kebencian” menyatakan bahwa politik abad ke-20 berjalan dalam spektrum kanan-kiri berdasarkan isu-isu ekonomi.
Kelompok kiri, menurutnya menginginkan kesetaraan, sementara kelompok kanan menginginkan kebebasan yang lebih besar.
Pada abad ke-21 spektrum tersebut tampak luluh di banyak wilayah yang sarat akan definisi identitas.
Kelompok kiri berfokus pada ketimpangan ekonomi yang lebih luas dan lebih banyak mempromosikan kepentingan berbagai kelompok marginal seperti kulit hitam, imigran, perempuan, minoritas seksual, pengungsi dan sejenisnya.
Di sisi lain kelompok kanan mendefinisikan diri sebagai patriot yang berupaya melindungi identitas nasional, yang secara eksplisit berhubungan dengan ras, agama atau etnis.
Poin penting dari pandangan Fukuyama bahwa dunia abad ke-21 merupakan era di mana identitas menjadi komoditas politik yang kuat.
Artinya, pertarungan politik cenderung didasarkan pada identitas, dibanding pertarungan kelas seperti yang dipikirkan kaum Marxis.
Perdebatan tentang Politik Identitas
Secara umum, politik identitas bisa didefinisikan sebagai cara kelompok masyarakat tertentu berjuang untuk mendapatkan pengakuan publik atau secara politik atas budaya dan identitasnya.
Contohnya dapat ditemukan dalam gerakan sosial politik di dalam maupun luar negeri.
Misalnya, gerakan kelompok kulit hitam Afro-Amerika di Amerika Serikat yang menuntut persamaan ras.
Ada juga gerakan kelompok adat yang memperjuangkan hak pengelolaan tanah ulayat dan gerakan gender yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam hal akses terhadap pekerjaan.
Perjuangan seperti ini sejalan dengan teori kritik yang dikembangkan oleh Herbert Marcuse bahwa individu-individu harus mampu mengembangkan kemampuan berpikir secara kritis dan mandiri, serta memperjuangkan kebebasan dan kesetaraan dalam masyarakat agar suara mereka dapat didengar dan tidak dipinggirkan.
Namun, dorongan Marcuse untuk memperjuangkan tidak serta merta dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.
Dalam bukunya One Dimensional Man: Studies In The Ideologi Of Advances Industrial Society Is, ia misalnya mengingatkan bahwa masyarakat hari ini yang apatis terhadap masalah kolektif dan kemampuan dalam mempertahankan kesatuan dan solidaritas hanya akan terpecah oleh politisi yang akan mencari keuntungan dari konflik yang terjadi.
Upaya serampangan dalam memperjuangkan hak itu hanya akan membuat kelompok lain merasa terdiskriminasi yang bisa berujung pada konflik.
Dalam konteks kehidupan bernegara, penggunaan politik identitas yang serampangan ini akan menghancurkan stabilitas, berpeluang menciptakan polarisasi, perpecahan dan perbedaan dalam masyarakat.
Indonesia memiliki catatan buruk dalam penyalahgunaan politik identitas.
Salah satu yang paling ramai adalah saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017.
Kala itu, calon gubernur inkumen beragama Kristen dan dari keturunan Tinghoa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjadi sasaran saat bertarung dengan Anies Rasyid Baswedan, pesaingnya, dari agama mayoritas Islam.
Identitas Ahok sebagai minoritas – dari segi agama dan etnis – menjadi sasaran beragam bentuk serangan.
Politik identitas ditunggangi untuk menggalang massa berdasarkan kesamaan etnis dan agama.
Wajah politik identitas tercoreng oleh ulah oknum-oknum yang haus akan kekuasaan dan penghargaan, yang berusaha mengakumulasi kekayaan lewat pesta demokrasi.
Politik Identitas dan Pilkada 2024
Menjelang Pilkada 2024, kekhawatiran akan politik identitas seperti dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta itu kembali muncul.
Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai pelaksana dan pengawas pemilu memformulasikan instrumen peraturan untuk membendung dan mengatasi politik identitas dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dalam pasal 280 poin (c) UU itu politik identitas digambarkan sebagai menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu lainnya dan pon (d) mengatur soal praktik menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.
Kendati sudah ada regulasi yang mengatur hal itu, namun kita semua perlu tetap waspada terhadap penggunaan politik identitas dalam Pilkada.
Salah satu dimensi penting dalam mencegah hal ini adalah menumbuhkan sikap kritis, sehingga tidak mudah terbawa arus penyalahgunaan identitas.
Warga negara perlu mengkritisi setiap bentuk dan strategi kampanye, dan mempertanyakannya; apakah itu bagian dari politik gagasan yang sehat atau bagian dari menggiring pemilih menentukan pilihan hanya berdasarkan identitas semata.
Penting disadari bahwa politik identitas bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, karena perjuangan solidaritas kelompok di sisi lain juga mengandung upaya mempromosikan ketidaksetaraan hak sipil dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.
Padahal dalam kehidupan yang demokratis, partisipasi dari seluruh institusi sosial diperlukan untuk mencapai kepentingan-kepentingan publik yang adil.
Maria Florida Suryani Seran adalah mahasiswi Magister Ilmu Politik, Universitas Diponegoro Semarang
Editor: Ryan Dagur