‘Kami Hanya Ingin Pendidikan Gratis,’ Kritik Guru dan Siswa SMP di Manggarai via Lagu terhadap Wacana Makan Siang Gratis 

Bukan makan gratis, yang dibutuhkan masyarakat di daerah terpencil adalah pendidikan gratis dan fasilitas pendidikan yang memadai, demikian isi lirik lagu itu

Floresa.co – Guru dan siswa sebuah Sekolah Menengah Pertama [SMP] di Kabupaten Manggarai mengkritik wacana makan siang gratis lewat sebuah lagu, menyebut program itu tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.

Lagu “Suara Kami” itu diciptakan Herman Agung, seorang guru di SMP St. Stefanus Ketang di Kecamatan Lelak, sekitar 29 kilometer arah barat Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. 

Rivaldus Sucipto, siswa kelas VIII di sekolah menjadi vokalis lagu itu, yang dinyanyikan dengan iringan gitar.

Sebagian lirik lagu itu secara eksplisit menyinggung soal wacana program makan siang gratis yang digulirkan pemerintah: “Suara kami begitu mahal untuk lembaga pendidikan yang akbar/Kami hanya ingin pendidikan gratis, bukan makan siang gratis/Salam waras dari kami anak bangsa.”

Herman berkata lirik lagu ini muncul dari keresahan terhadap rencana program pemerintah yang justru tidak menyasar masalah substansial pendidikan, terutama di daerah terpencil.

Ia mengatakan, di daerah terpencil, ketersediaan fasilitas masih menjadi kendala utama untuk memperlancar seluruh proses pendidikan, terutama di tengah perkembangan  teknologi digital saat ini.

Atas dasar itu, kata dia, “kami bersuara agar pemerintah menjamin pendidikan gratis sebagai kebijakan strategis yang mendesak,” dan bukan makan siang gratis. 

Hanya dengan pendidikan gratis, kata dia, pemerataan pendidikan dapat terwujud.

Ia berkata, wacana makan siang gratis tidak akan menjamin terbukanya akses kepada anak-anak untuk mengenyam pendidikan.

Program itu, kata dia, malah merepotkan sekolah dan tidak menjamin mutu belajar peserta didik.

Program makan siang gratis diusung oleh Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum sebagai presiden dan wakil presiden terpilih.

Meski belum berkuasa, program ini sudah diuji coba oleh Pemerintahan Joko Widodo – ayah Gibran – di beberapa sekolah.

Sumber dana untuk program ini belum jelas, tetapi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengusulkan menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah [BOS], hal yang kemudian memantik penolakan dari guru dan berbagai organisasi.

Herman mengatakan, kualitas belajar di sekolah bisa semakin menurun apabila pemerintah pusat mengeksekusi program tersebut menggunakan dana BOS.

“Beberapa kegiatan penting di sekolah seperti program peningkatan literasi dan numerasi bergantung pada anggaran dari BOS. Jika alokasi dana BOS ditambah ke program lain, kegiatan seperti itu akan terdampak,” katanya.

Ia mengatakan penggunaan BOS untuk makan siang gratis juga berimbas pada alokasi pembiayaan kepegawaian satuan pendidikan, khususnya guru honor.

Apabila honor rendah, katanya, guru tidak akan bekerja optimal yang berdampak pada penurunan kualitas pembelajaran di sekolah.

Kritikan terhadap program ini juga disuarakan oleh sejumlah guru dan kepala sekolah dari berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur, sebagaimana yang dilaporkan dalam artikel Floresa pada 8 Maret.

Mereka menyebut wacana ini merepotkan sekolah dan berharap dikaji kembali. Kalaupun dipaksakan, kata mereka, mesti terlebih dahulu mengubah petunjuk teknis penggunaan dana BOS dan menambah jumlah anggarannya.

Melatih Siswa Berdemokrasi

Lagu ‘Suara Kami’ sempat diunggah oleh Herman di kanal Youtube. Namun, ia memilih menghapusnya setelah sejumlah pihak menyatakan kekhawatiran terhadap dampak lagu itu bagi sekolah mereka.

Ia pun memutuskan mengikuti anjuran itu.

Kendati demikian, Herman menyatakan, sebetulnya lagu itu hanya ingin mendorong peserta didik di sekolahnya membangun sikap kritis, hal yang amat dibutuhkan dalam upaya memajukan demokrasi.

Ia mengatakan, lagu itu dibuat untuk merefleksikan kegiatan regenerasi kepengurusan Organisasi Siswa Intra Sekolah [OSIS] di SMP St. Stefanus Ketang pada 28 Februari.

Refleksi atas kegiatan itu juga terlukis dalam lirik lain lagu tersebut: “Mari kita sukseskan pemilihan OSIS/Wujudkan demokrasi sejak dini/Kita laskar cilik/Didik dari daerah terpinggir.”

Ia mengatakan kegiatan regenerasi OSIS itu dirancang secara demokratis untuk melatih peserta didik berdemokrasi sejak dini, dengan berpegang pada nilai-nilai Pancasila.

Hal ini, kata dia, tergambar dari liriknya yang menyinggung tentang praktik demokrasi dan ajakan untuk menghidupi semangat Pancasila: “Integritas membangun Pancasila/Bersatu hati kembalikan demokrasi/Dengan memilih tanpa tebang pilih/Untuk lembaga pendidikan yang bersih.”

Herman juga menyebut, lagu itu merupakan salah satu judul lagu dari sekian banyak lagu yang dibuat sekolahnya sebagai implementasi Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila [P5].

P5 merupakan program Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sebagai bagian dari Kurikulum Merdeka untuk mendorong tercapainya Profil Pelajar Pancasila. Program ini diterapkan dengan menggunakan paradigma baru, pembelajaran berbasis proyek.

Berbicara kaitan lagu itu dengan P5, kata Herman, ini “bentuk perhatian dan kepedulian kami terhadap seluruh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara” yang menjamin tegaknya demokrasi. 

Marwah demokrasi, katanya, harus selalu dijaga agar bisa mengayomi seluruh kepentingan rakyat, termasuk dalam dunia pendidikan.

“Dengan lagu ini, kami hanya mau menyampaikan bahwa peran pendidikan bagi kemajuan suatu bangsa menjadi salah satu kebutuhan yang mendesak,” katanya.

Editor: Petrus Dabu

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya