Floresa.co – Sejumlah guru di Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] mengkritisi rencana pemerintah pusat menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah [BOS] untuk program makan siang gratis.
Mereka menyebut wacana ini merepotkan sekolah dan berharap dikaji kembali. Kalaupun dipaksakan, kata mereka, mesti terlebih dahulu mengubah petunjuk teknis [Juknis] dana BOS dan menambah jumlahnya.
Ketua PGRI Kabupaten Timor Tengah Selatan, Yunus Missa mengatakan penggunaan dana BOS untuk makan siang gratis bisa berimbas pada “penurunan kualitas belajar di sekolah.”
Ia menjelaskan, beberapa kegiatan penting di sekolah seperti program peningkatan literasi dan numerasi bergantung pada anggaran dari BOS.
Jika alokasi dana BOS ditambah ke program lain, kata dia, kegiatan seperti itu akan terdampak.
“Termasuk berimbas pada alokasi pembiayaan kepegawaian satuan pendidikan, khususnya guru honor,” ungkapnya kepada Floresa pada 7 Maret.
Apabila honor rendah, kata dia, guru tidak akan bekerja optimal yang berdampak pada penurunan kualitas pembelajaran di sekolah.
Wakil Kepala SMPN Satu Atap Golo Nderu di Kabupaten Manggarai Timur, Erbianus Mance Farau berkata dana BOS selama ini masih belum cukup untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan membiayai kebutuhan bahan belajar-mengajar seperti buku, kertas, alat tulis kantor, perawatan gedung, perjalanan dinas dan kebutuhan sekolah yang lain.
Jika program makan siang gratis dengan dana BOS jadi kebijakan nasional, katanya kepada Floresa pada 5 Maret, maka bisa “berakibat fatal pada nasib guru.”
Wakil Kepala SMPK St. Antonius Boganatar di Kabupaten Sikka, Yohanes Payong Gede menambahkan, dengan anggaran yang terbatas serta ditambah makan siang gratis, itu berarti “nasib anak-anak dan guru-guru seperti kami semakin merana.”
“Mekanisme penggunaan dana BOS itu tentu harus jelas,” katanya kepada Floresa.
Ia menyatakan sekolah mempunyai kebutuhan yang banyak dan program prioritas yang harus direalisasikan, terutama memperhatikan kesejahteraan guru.
Dari Program Capres, Sudah Disimulasi
Makan siang gratis merupakan program yang diusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka [Prabowo-Gibran], pasangan calon presiden dan wakil presiden yang sudah dinyatakan menang versi hitung cepat sejumlah lembaga survei.
Merespons program itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengusulkan agar biaya simulasi program makan siang gratis menggunakan dana BOS.
Usulan itu disampaikan Airlangga sebelum pelaksanaan simulasi makan siang gratis di SMP Negeri 2 Curug, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten pada 29 Februari.
Di NTT, program ini sudah diluncurkan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada 20 Februari di SMA Negeri 1 Amarasi Barat, Kabupaten Kupang.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT, Linus Lusi Making mengatakan hal itu merupakan bentuk perhatian dunia pendidikan terhadap anak-anak di NTT.
Ia juga meyakini program ini akan ditiru oleh sekolah lainnya di NTT.
“Kita melihat situasi dan kondisi masyarakat NTT yang saat ini banyak kemiskinan ekstrem dan ada stunting. Di situlah peran Dinas Pendidikan NTT bekerja sama dengan kepala sekolah, para guru dan orang tua,” katanya.
Perlu Ada Tambahan Dana BOS
Kepala SMA Katolik St. Klaus Kuwu di Kabupaten Manggarai, Romo Valerianus Paulus Jempau mengingatkan pemerintah perlu mengecek Juknis dana BOS sebelum memunculkan wacana.
Jika memang ditambahkan poin untuk program makan siang gratis, “maka pemerintah harus menambahkan dana sesuai dengan program yang ada, tanpa harus menghilangkan poin-poin yang sudah ditetapkan sebelumnya,” katanya.
Ia mengatakan poin-poin Juknis yang telah ditetapkan oleh pemerintah tentu melalui proses yang panjang dan telah dipertimbangkan dengan baik, sesuai kebutuhan operasional dan non-operasional sekolah sehari-hari.
Dalam Juknis, kata dia, pemerintah telah menetapkan bahwa dana BOS dipakai untuk memberikan tunjangan bagi guru honorer, pembelian bahan habis pakai untuk mendukung pembelajaran dan administrasi sekolah, pengadaan bahan praktik pembelajaran, pembiayaan langganan daya dan jasa, pengadaan proyektor dan layarnya, LCD/LED dan lain sebagainya.
“Jika pengeluaran itu digantikan dengan program makan siang, maka berpengaruh pada mutu pendidikan,” katanya.
“Pendapatan guru honorer pasti berpengaruh pada kinerja. Guru honorer butuh makan agar bisa bekerja dengan baik.”
Ia juga sepakat jika memang program ini dipaksakan, maka pemerintah harus menambah jumlah dana BOS per siswa.
“Misalnya, dari Rp1.500.000 per siswa SMA, ditambah jumlahnya sesuai dengan kebutuhan anggaran untuk program makan siang,” ungkapnya.
Wakil kepala SMPN Satu Atap Golo Nderu, Erbianus Mance Farau juga berkata, “jika program tersebut dipaksakan, maka harus ada penambahan dana yang signifikan.”
“Dalam hal ini, kesejahteraan guru harus dipertimbangkan dengan baik,” katanya.
Ia juga mengusulkan perlu ada pembagian yang jelas dan merata antara dana yang digunakan untuk guru, kebutuhan sekolah serta untuk program makan siang gratis.
Sementara Kepala SMKN 2 Soe di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nifron Fallo mengatakan, dengan alokasi dana BOS saat ini Rp1.500.000 per siswa dan ditambah program makan siang gratis maka anggaran bisa membengkak.
“Bila menggunakan hitungan Rp 15.000 untuk sekali makan, maka dalam setahun dibutuhkan Rp4.320.000 per siswa untuk program tersebut. Artinya, dibutuhkan lagi Rp 2.820.000 per siswa [untuk tambahan dana BOS],” ungkapnya.
Seharusnya Tidak Perlu Diurus Sekolah
Romo Valerianus Paulus Jempau mengusulkan jika program ini tetap dijalankan, maka seharusnya tidak perlu dibebankan kepada sekolah.
“Solusi yang tepat, pemberian makan siang gratis itu ditangani khusus oleh Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga [PKK] di setiap daerah, lalu dana itu diberikan ke keluarga-keluarga diikuti dengan pelatihan kepada ibu rumah tangga,” katanya.
“Bisa juga bekerja sama dengan pegawai Program Keluarga Harapan yang sudah ada selama ini,” ungkapnya.
Wakil Kepala SMPK St. Antonius Boganatar di Kabupaten Sikka, Yohanes Payong Gede berkata yang harus diperhatikan bukan hanya soal makan siang gratis, tetapi juga pihak yang mengelola dan mengatur kelancaran program tersebut.
“Apakah kita harus mencari orang untuk masak dan menyiapkan makanan ataukah dari pihak lembaga sendiri yang siapkan. Tentu ini ribet dan perlu pertimbangan yang matang, tidak asal jadi,” ungkapnya.
Sementara Marselinus Martin, seorang guru di SMAN 1 Talibura, Kabupaten Sikka mengatakan, selama kampanye, Prabowo-Gibran memang menyebut program makan gratis, “tetapi bukan dari dana BOS.”
Kalau program makan siang gratis dibiayai dana BOS, kata dia, berarti terjadi “pembohongan terhadap masyarakat.”
Romo Valerianus juga mengatakan jika program tersebut tetap dijalankan lewat sekolah, maka pelaksanaan pendidikan “sangat terganggu.”
Kegiatan belajar-mengajar, kata dia, bisa terbengkalai karena harus ditambah dengan program baru tersebut.
Joe Tkikhau, Maria Margaretha Holo dan Anjany Podangsa berkolaborasi mengerjakan laporan ini, yang dirangkum Herry Kabut
Editor: Ryan Dagur