Pilpres 2024: Kembalinya Pemilu Gaya Orde Baru

Melihat tidak ada "coattail effect" dan stabilnya suara partai di pemilihan legislatif, sangat jelas bahwa kampanye Prabowo-Gibran, dan dalam hal ini sangat dibantu Jokowi, menyasar ke Ganjar-Mahfud.

Oleh: Made Supriatma, Project Multatuli

Saat ini sedang riuh rendah orang mempersoalkan kecurangan penghitungan suara. Sekalipun mungkin ada kecurangan saat pencoblosan, kecil kemungkinannya mengubah hasil penghitungan suara yang riil. 

Orang juga mempersoalkan hitung cepat (quick count). Ada yang menuduh lembaga-lembaga survei melakukan manipulasi untuk memengaruhi opini publik. Saya tidak tahu mengapa tuduhan seperti ini muncul. Sebagai orang yang belajar ilmu politik, saya kira memperkirakan hasil pemilihan umum dengan hitung cepat itu mungkin dilakukan dan akurasinya juga bisa dipertanggungjawabkan. 

Sekalipun demikian, tidak berarti Pemilu 2024 adalah sebuah pemilu yang jujur, adil, serta memenuhi tata krama dan standar demokrasi. Kesimpulan itu saya ambil setelah mengamati proses pencalonan, kampanye, dan pencoblosan. Harus diakui ada kecurangan pada saat pencoblosan dan penghitungan suara. 

Ada orang-orang yang memang memanfaatkan situasi untuk memenangkan satu kandidat entah itu di pemilihan legislatif, presiden, atau DPD. Itu sudah banyak diperbincangkan di tingkat masyarakat. Dan, ia tidak akan banyak berpengaruh pada hasil pemilu secara keseluruhan.

Lalu, apa yang membuat pemilu ini sangat ternoda dan bahkan menjadi pemilu yang paling mendekati pemilu Orde Baru? 

Ketika melihat hasil pemilihan umum, orang terkejut karena pemilu ini berlangsung satu putaran. Tidak hanya pasangan Prabowo-Gibran mendapatkan sedikit di atas 50% tetapi bahkan antara 56-58%, jika hitung cepat dari lembaga-lembaga survei itu bisa dipercaya. Kalau ini benar maka suara Prabowo-Gibran akan lebih besar sedikit dari suara yang diperoleh Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada pilpres 2019 yang 55,50%. Sementara dua pasangan lain, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud, hanya mendapat suara masing-masing berkisar antara 24-25% dan 16-17%. 

Apa yang terjadi? Mengapa Prabowo-Gibran bisa sangat dominan? Mengapa Ganjar-Mahfud dalam proyeksi hasil pemilu sementara tidak memenangkan satu provinsi pun? Semantara Anies Baswedan unggul di Aceh, Sumatera Barat, dan Jakarta. 

Hasil ini sungguh buruk untuk Ganjar-Mahfud. Pasangan ini bahkan kalah di Jawa Tengah, provinsi yang pernah dipimpin Ganjar Pranowo selama dua periode (2013-2023). Di provinsi ini, Ganjar hanya unggul dua kabupaten: Boyolali dan Wonogiri. Ganjar bahkan kalah di kabupaten kelahirannya, Karanganyar. Perolehan suara Ganjar-Mahfud di Jawa Tengah saat ini hanya 33-34%. Sementara di DI Yogyakarta, Ganjar-Mahfud hanya mampu meraih 28%. 

Perolehan suara Ganjar di Jawa Tengah sangat jauh dibanding 2018 ketika terpilih untuk periode jabatan kedua. Saat itu Ganjar meraih 58,78% suara. Namun, prestasi ini masih kalah oleh Jokowi yang pada Pilpres 2019 menyapu bersih Jawa Tengah dengan 77,29% dan Prabowo yang ketika itu menjadi lawannya hanya memperoleh 22,71%. 

Namun, ada sisi lain juga dari hasil sementara ini. Hasil-hasil pemilihan legislatif menunjukkan konfigurasi kekuatan partai-partai politik masih tetap sama seperti Pemilu 2019. Ada juga tanda-tanda (walau ini harus menunggu pengumuman resmi KPU) bahwa caleg-caleg dinasti akan menguasai lembaga-lembaga legislatif di pusat maupun di daerah.

Dari hasil Pemilu 2024 bisa disimpulkan bahwa apa yang namanya coattail atau down ballot effects tidak berlaku. Artinya, pilihan terhadap presiden tidak diikuti pilihan legislatif. Seperti 2019, ada anggapan suara PDI-P meningkat karena ada Jokowi sebagai calon presiden. Pilihan terhadap Jokowi dijadikan satu paket dengan pilihan terhadap PDI-P. 

Dalam Pemilu 2024, setidaknya di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang saya amati secara intensif,  terlihat suara PDI-P relatif stabil. Bisa diharapkan bahwa PDI-P akan kembali menjadi partai terkuat di Jawa Tengah dan perolehan suara tidak akan banyak berubah. 

Pemilu 2024 memperlihatkan wilayah Jawa menjadi medan pertarungan yang sengit. Di Jawa Barat dan Banten agaknya suara Prabowo tidak banyak berubah dari 2019. Kedua provinsi ini adalah wilayah Prabowo. Namun, medan pertarungan ada di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. 

Melihat tidak ada coattail effect dan stabilnya suara partai di pemilihan legislatif, sangat jelas bahwa kampanye Prabowo-Gibran, dan dalam hal ini sangat dibantu Jokowi, menyasar ke Ganjar-Mahfud. Anies-Muhaimin tidak menjadi sasaran mobilisasi kemenangan sekalipun di hadapan publik dan di internet, kedua kubu tampaknya bertarung sangat ketat. Di lapangan, di tingkat akar rumput, beroperasi kekuatan yang menyasar Ganjar-Mahfud. 

Taktik ini sangat masuk akal. Dalam berbagai survei elektabilitas, rentang keterpilihan Anies-Muhaimin tidak pernah melebihi angka antara 22-25%. Anies boleh disebut sebagai “Mr. 25%.” Hasil hitung cepat nasional pun memperlihatkan Anies-Muhaimin akan memperoleh suara sekitar 25%. 

Ceruk suara yang tertinggal untuk Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud adalah 75%. Sehingga masuk akal bila jalan untuk ke Istana Merdeka harus mengambil sebagian besar dari tiga per empat pemilih ini. Dan, Ganjar-Mahfud memang menjadi target operasi Prabowo-Gibran, dan terutama Jokowi. Ganjar-Mahfud harus total dikalahkan di daerah-daerah di mana dia potensial menjadi kuat. 

Dari data kelihatan bahwa Ganjar-Mahfud sangat underperformed di Sumatera Utara (perolehan Ganjar-Mahfud sekitar 12-13%; sementara Jokowi pada 2019 menang dengan 52,3%), seluruh Jawa, Bali dan NTT. Ini adalah wilayah-wilayah kantong operasi untuk mobilisasi pemilih untuk Prabowo-Gibran. 

Jokowi sangat berperan dalam menggerus suara Ganjar-Mahfud. Sebagai presiden yang tidak malu-malu menunjukkan dukungan dan keberpihakannya kepada Prabowo-Gibran, Jokowi memberikan “the power of incumbency” atau kekuatan sebagai petahana untuk Prabowo dan Gibran, yang juga anak sulungnya. 

Salah satu sasaran Jokowi adalah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Dalam catatan saya, Jokowi ada di dua provinsi ini selama sembilan hari selama bulan Januari 2024. Ia sibuk membagikan bansos dan meresmikan apa saja yang bisa ia resmikan. Ia menyisir wilayah Jawa bagian tengah dari utara ke selatan, timur ke barat. 

The power of incumbency ini juga dibarengi keterlibatan aparat, baik di birokrasi sipil, kepolisian, dan militer. Dari berbagai wawancara, praktik-praktik yang menggiring pegawai negeri untuk memilih 02 sangat lazim dilakukan. Pihak kepolisian dan militer lokal mengawasi para bupati, khususnya yang berasal dari PDI-P. 

Di kantong-kantong PDI-P, kampanye dilakukan diam-diam dengan slogan, “Kita PDI-P, Kita Jokowi, Kita Prabowo.” Kenyataan ini dikonfirmasi oleh pendukung 02 yang mengklaim ini adalah ‘silent operation’ untuk memenangkan Prabowo-Gibran. Masuk akal bahwa ini harus dilakukan diam-diam karena didampingi oleh aparat-aparat keamanan dan intelijen. Padahal demokrasi selalu mengutamakan transparansi dan perbincangan terbuka. 

Efek dari kekuatan petahana (power of incumbency) yang dijalankan oleh Jokowi dengan pemberian bansos serta berbagai kebijakan (merapel kenaikan gaji tunjangan pensiunan selama 3 bulan; menaikkan gaji ASN, polisi, dan militer sebanyak 12%) telah menimbulkan dampak yang sangat besar. 

Selain itu, mobilisasi aparat juga sangat efektif untuk membangun dukungan bagi Prabowo-Gibran. Mobilisasi aparat ini terjadi hingga ke tingkat pemerintahan desa. Kebijakan untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa juga sangat berpengaruh. 

Yang juga terlihat sangat jelas adalah menjadikan kasus-kasus korupsi sebagai senjata politik. Para kepala daerah dan kepala desa yang terlihat netral atau tidak mau mendukung pasangan 02 akan segera diproses. Pada November 2023, seluruh kepala desa di Kabupaten Karanganyar, tempat kelahiran Ganjar Pranowo, dipanggil ke Polda untuk diperiksa dalam penyalahgunaan dana APBD. Bupati Sidoarjo, Harta Muhdlor, langsung berkampanye untuk 02 sehari setelah hendak diperiksa KPK. Demikian pula dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.   

Hasil dari seluruh operasi ini sangat efektif. Ia bahkan dirasakan oleh para caleg PDI-P di berbagai daerah. Mereka tidak berani berkampanye untuk Ganjar-Mahfud karena tahu kalau mereka melakukan itu maka kampanye mereka sendiri akan hancur. 

Banyak alat peraga kampanye Ganjar-Mahfud menumpuk di rumah-rumah para caleg. Seorang caleg PDI-P mengaku kepada saya, “Mau gimana lagi? Kalau saya ikut kampanye 03, terus kampanye saya sendiri akan ambyar!” Di tempat lain saya mendapati caleg PDI-P diam-diam berkampanye untuk 02. “Yang penting selamet,” katanya. 

Dengan mobilisasi semacam itu, tidak heran bila suara PDI-P relatif tidak terganggu. Dengan demikian, perang antara Jokowi dan PDI-P seperti yang diperkirakan banyak pengamat politik tidak terjadi. 

Seperti kita ketahui, selain mendukung Prabowo-Gibran, Jokowi juga menaruh anaknya untuk mengakuisisi sebuah partai kecil, Partai Solidaritas Indonesia. Target PSI adalah lolos threshold ke Senayan (mendapatkan paling rendah 4% suara nasional). Namun, agaknya rencana ini dibatalkan karena risikonya terlalu tinggi untuk berhadap-hadapan dengan PDI-P. 

Pada 2019, Prabowo memilih strategi berkonfrontasi langsung dengan PDI-P dan Jokowi di Jawa Tengah. Ini dilakukan antara lain dengan memindahkan markas operasi pemenangan nasionalnya ke Solo. Hasilnya sangat menyedihkan. Ini seperti membangunkan ‘banteng tidur’, kata seorang teman saya yang menulis artikel tentang itu.  

Apa langkah strategis Jokowi dengan tidak mengusik ‘banteng tidur’ ini? Saya kira, Jokowi ingin berdamai dengan PDI-P dan Megawati. Ia bisa berargumen bahwa ia tidak hendak menghancurkan PDI-P. Ia malah menyelamatkan PDI-P sebagai kekuatan partai. Ia hanya ingin Prabowo-Gibran menang, tanpa mengusik PDI-P. 

Strategi ini sangat penting karena setelah pemilu selesai, Jokowi pasti akan berunding untuk pembagian kekuasaan dengan PDI-P dan Megawati. Terserah Megawati dan PDI-P apakah akan menerima argumen bahwa apa yang dilakukan oleh Jokowi ini bukan pengkhianatan; bahwa ia justru menyelamatkan PDI-P. 

Setelah pemilu, dinamika politik akan berbeda. Para elite akan melakukan dagang sapi dan menentukan siapa memperoleh apa. Dengan pemilu satu putaran, jelas posisi Jokowi sangat kuat. Ia menang dua kali melawan Prabowo dan ia bisa mengatakan bahwa Prabowo tidak akan mungkin menang jika bukan tanpa bantuan dirinya. Hanya saja kemudian masalahnya: Maukah Prabowo berada di bawah bayang-bayang Jokowi? Kita belum tahu jawabannya. 

Ada satu hal sangat jelas yang saya lihat pada Pemilu 2024. Ini adalah pemilu yang paling dekat dengan pemilu-pemilu yang dilaksanakan pada zaman Orde Baru. Penggunaan kekuasaan dan kekuatan petahana di luar batas norma kenegaraan sangat jelas terlihat. Demokrasi kita memang sedang sekarat. Pembunuhnya, ironisnya, adalah mereka yang dipilih dan dimuliakan lewat proses demokratik. 


Made Supriatma adalah anggota Majelis Pengetahuan dan Peneliti Senior YLBHI.

Artikel ini pertama terbit di Project Multatuli dan direpublikasi di sini menggunakan lisensi Creative Commons.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di bawah ini.

Baca Artikel Lainnya