Benarkah Polusi Udara Tidak Berbahaya bagi Kesehatan dan Perubahan Iklim adalah Hoaks untuk Kepentingan Bisnis?

Seorang pemilik akun Facebook mengklaim alam bekerja dengan caranya sendiri untuk menjaga keseimbangan alam, termasuk membersihkan udara yang kotor

Floresa.co – Sebuah unggahan beredar di Facebook  yang mengklaim bahwa polusi udara dan pemanasan global merupakan ‘hoaks internasional’ yang disebarkan oleh kalangan tertentu untuk kepentingan bisnis.

Unggahan oleh akun Ahmad Julianto tersebut di grup Flat Earth Society Indonesia FE101 memuat narasi yang menyatakan udara kotor tidak berbahaya karena secara alami dibersihkan pada malam hari sehingga akan terasa sejuk pada pagi hari.

Sisa kotoran dari proses itu, klaimnya, kemudian tersimpan pada embun.

Menurutnya, alam memiliki kemampuan untuk menetralisasi dirinya sesuai ketetapan Tuhan [sunnatullah].

“Dia membuat situasi pagi dan menjadikan waktu malam untuk beristirahat, dan mengatur pergerakan matahari dan bulan untuk perhitungan keseimbangan alam. Itulah ukuran yang akurat dari Allah Yang Maha Perkasa, Maha Pengatur Alam [QS. Al-An’am 6: Ayat 96],” tulisnya menyinggung salah satu ayat dalam Al-Qur’an. 

Ia juga berkata bahwa karbondioksida atau CO2 merupakan zat berat yang tidak akan bisa diangkat udara ke atas, apalagi sampai ke lapisan ozon dan menyebabkan pemanasan global.

Benarkah klaim demikian?

Di dalam udara terdapat aerosol, partikel  yang berbentuk percikan cairan, bersifat padat seperti debu, dan berupa gas seperti asap, demikian disitir dari Tempo.co.

Antara aerosol dan iklim  memiliki keterkaitan yang sangat kompleks, seperti dilansir situs resmi Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat [NASA].  

Ledakan gunung merapi, misalnya, memicu sebagian aerosol terlontar setinggi lebih dari 10 ribu meter ke atmosfer bumi.

Kondisi itu, dalam beberapa bulan atau tahun, membuat aerosol akan beredar di atmosfer dan menyebabkan sinar matahari yang datang ke bumi berkurang dan tertutup.

Letusan Gunung Pinatubo, Filipina pada 1991 merupakan contoh terbaru peristiwa seperti itu. Dampaknya, pada dua tahun berikutnya,  di mana suhu atmosfer bumi turun antara 0,4 sampai 0,5 derajat celcius.

Pembakaran bahan bakar dari fosil penghasil aerosol yang termasuk polusi udara juga berdampak sedikit mendinginkan bumi. 

Bahayanya bagi kesehatan manusia juga telah terbuktikan. Meskipun hanya  bertahan beberapa hari, jenis aerosol ini selalu diproduksi sehingga terus terkandung di udara.

Sementara itu,  meningkatnya pemanasan global dipicu oleh aerosol jenis jelaga atau partikel arang bekas pembakaran, dan karbondioksida.

Aerosol jenis ini umumnya berwarna pekat menyerap sinar matahari sehingga mempertahankan hawa hangatnya lebih lama. Sementara karbondioksida menyebabkan terjadinya efek rumah kaca.

Seperti ditulis Nationalgeographic.com, aktivitas manusia menambah lebih banyak pelepasan aerosol. Sejak revolusi industri [1760-1850], kandungan partikel yang ukurannya kurang dari 2,5 mikron di udara meningkat 60 persen.

Partikel yang bercampur udara dan menjadi polusi itu memicu gangguan kesehatan manusia seperti  penyakit  jantung, stroke, paru-paru, asma, dan lainnya. Penyakit ini merupakan bahaya langsung dari dampak aerosol yang mengancam manusia.

Majalah Tempo edisi 27 Agustus 2023 menjelaskan bahwa penyakit pernapasan menyebabkan kematian terbanyak di dunia, diikuti tuberkulosis atau TBC. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, misalnya, mencatat jumlah kasus infeksi pernapasan pada tahun itu mengalami peningkatan. 

Selain itu, warga Marunda, Jakarta Utara, mengalami batuk, sesak napas, sakit mata, hingga gatal-gatal akibat bongkar muat batu bara di dekat pemukiman mereka, sebagaimana diberitakan Narasi TV.  

Polusi di Jakarta didominasi asap kendaraan dan industri yang menggunakan bahan bakar batu bara.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin juga pernah berkata polusi udara menyebabkan timbulnya beberapa  penyakit, seperti pneumonia [infeksi paru], infeksi saluran pernapasan atas [ISPA], asma, tuberkulosis, kanker paru, dan penyakit paru obstruksi kronis [PPOK].

Sementara itu, dalil agama yang terdapat dalam narasi tersebut tidak secara eksplisit membahas polusi udara dan pemanasan global. Narasi itu juga tidak menyertakan tafsir dari ayat Alquran yang dicantumkan.

Padahal, menurut M. Quraish Shihab dalam “Kaidah Tafsir,” ilmu tafsir diperlukan untuk menjelaskan ayat Alquran dengan sebaik-baiknya, sebagaimana dijelaskan artikel di Republika.co.id

Tafsiran Alquran, kata dia,  adalah penjelasan tentang maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.

Hal serupa juga disampaikan Guru Besar Universitas Melbourne, Australia, Abdullah Saeed, ketika mengisi kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Malang pada 2012. Tafsir ayat Alquran, katanya, sangat penting untuk mengetahui konteks ayat tersebut.

Kajian Ilmiah tentang Pemanasan Global

Pemanasan global, menurut  NASA,  tak hanya menjadi teori para ilmuwan, tetapi sudah  terbuktikan dan merupakan fakta. 

Begitu juga halnya dengan karbondioksida, yang terus meningkat sejak tahun 1911 di level 300 parts per million, hingga kini di level 400.

Para ilmuwan dari berbagai negara dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim [IPCC] mengakui terjadinya perubahan iklim. Hal itu dibuktikan dengan suhu rata-rata global meningkat, suhu lautan juga semakin menghangat, dan frekuensi kejadian ekstrim bertambah.

Selain itu,  terjadi penyusutan lapisan es di kutub dan tutupan salju di gunung alias gletser. Es itu telah mencair, menyebabkan peningkatan air laut menjadi lebih tinggi serta keasamannya ikut meningkat.

Dosen Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Surabaya, Eko Prasetyo Kuncoro, menjelaskan, pada 2021 Badan Meteorologi Dunia menerbitkan laporan yang menyatakan kemungkinan 40 persen suhu bumi akan naik 1,5 derajat celcius pada tahun 2025. 

Ia mengatakan, kondisi itu  akan berdampak pada pemanasan global, seperti percepatan pencairan es kutub, naiknya permukaan air laut, dan perubahan iklim. Perubahan iklim akan berdampak pada semakin sulitnya memprediksi kondisi alam.

Pengalaman riil warga di Flores bisa ditambahkan di sini, tentang kisah peningkatan permukaan laut, yang memicu bencana banjir rob dalam beberapa tahun terakhir, sebuah situasi yang berbeda dengan bertahun-tahun silam.

Laporan Floresa baru-baru ini menyoroti kenaikan permukaan laut di pesisir utara Maumere, Kabupaten Sikka, yang mengancam rumah-rumah warga di pesisir, serta membuat jalan penghubung kabupaten itu dengan Flores Timur amblas dihantam gelombang. Hal ini menjadi salah satu contoh dampak konkret fenomena perubahan iklim.

Kesimpulan 

Dari sejumlah penjelasan ini, narasi di akun Facebook itu bahwa polusi udara tidak berbahaya dan tidak ada pemanasan global adalah pernyataan yang keliru. 

Polusi udara menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia. Selain itu, karbondioksida menyebabkan efek rumah kaca yang mempercepat pemanasan global. 

Diolah dari kontek cek fakta Tempo.co di situs Cekfakta.com

Editor: Ryan Dagur

CEK FAKTA LAINNYA

Baca Artikel Lainnya