Proyek Tanggul Cegah Abrasi di Sikka ‘Hanya Sepotong,’ Warga Pesisir Cari Jalan Sendiri Hadapi Banjir Rob yang Kian Parah

Sambil menunggu tindakan nyata pemerintah menangani abrasi, warga membangun tanggul seadanya secara swadaya 

Floresa.co – Hantaman ombak di dinding rumah membuat Anita terbangun pada pukul dua dini hari.

Perempuan berusia 42 tahun warga Dusun Jedawair, Desa Geliting, Kecamatan Kewapante, Kabupaten Sikka itu lalu membangunkan suaminya Anwar dan dua anak mereka yang sedang terlelap. 

Sembari menggendong anak laki-lakinya yang berusia empat tahun, ia mengintip dari balik jendela.

Anita terkejut melihat air laut sudah mengitari rumahnya.

“Yang muncul di benak saya saat itu kami harus keluar dari rumah. Saya takut rumah roboh karena terus-terusan diterjang gelombang,” katanya mengisahkan banjir rob yang terjadi pada awal Maret.

“Kali ini gelombang tidak seperti biasanya,” kisahnya kepada Floresa pada 24 April.

Anwar, suaminya, menenangkannya kendati tetap dalam keadaan was-was.

“Kita berjaga saja sampai pagi. Di luar hujan deras dan pemukiman kita sudah tergenang air. Kita tidak bisa keluar,” kata Anita, menirukan ucapan Anwar.

Saat hari sudah terang dan hujan serta deru laut mereda, Anita memberanikan diri membuka pintu dapur. 

Ia melihat rabat sepanjang 100 meter di depan rumah mereka telah hancur, sementara puluhan pohon kelapa tumbang dan terseret ombak ke halaman rumah warga. Satu kapal nelayan juga ikut terseret.

Keluarga Anita menempati rumah itu lima bulan lalu. Berukuran tujuh kali lima meter, rumah itu tak lagi berjarak dari laut. Hanya tumpukan batu dan karung berisi pasir di sekitar rumahnya yang jadi penahan gelombang.

“Penahan itu tidak cukup, gelombang saat musim barat masih sering menabrak dinding rumah saya,” katanya. 

Ia menunjukkan lantai halaman rumah yang dulu dipakai untuk santai bersama keluarga, kini hancur karena gelombang.

Gara-gara Tanggul Sepotong

Abrasi kian parah di pesisir utara Sikka pada beberapa tahun terakhir, kata sejumlah warga, hal yang membuat mereka berulang kali mendesak pemerintah mengambil tindakan.

Hal itu sempat mendapat titik terang ketika pada Desember 2022 Bupati Robertus Diego Idong bersama Dinas Sosial Kabupaten Sikka dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] mengunjungi wilayah itu.

Bupati lalu menjanjikan alokasi dana Rp3 miliar untuk pembangunan tanggul, di mana satu miliar untuk Desa Geliting, satu miliar untuk Desa Nanghale Gete dan satu miliar untuk daerah-daerah lain yang juga terdampak.

Albertus Wodon, pemuda Desa Geliting berkata, “dua minggu pertama setelah instruksi bupati, salah satu kontraktor di Kabupaten Sikka sudah membawa material berupa batu di Jedawair.”

“Akan tetapi, setelahnya proyek tersebut terhenti. Entahlah anggaran satu miliar itu terealisasi semua atau tidak,” katanya kepada Floresa.

Kepala Desa Geliting, Makarius Oskar membenarkan adanya proyek tanggul itu.

“Urusan seperti pembebasan lahan agar material bisa masuk ke lokasi secepatnya pun sesegera mungkin saya urus saat itu,” katanya.

Ia mengakui, setelah kontraktor menurunkan alat berat untuk mengerjakan tanggul, dua minggu kemudian pengerjaannya terhenti saat material sudah dikumpulkan di garis pantai sepanjang lima meter.

Makarius mengklaim tak tahu alasan penghentian pengerjaan, padahal rencana awal tanggul dibangun sepanjang 200 meter.

“Alat berat kemudian ditarik pulang. Kita berpikir bahwa pembangunan tanggul pemecah gelombang ini kan karena terjadi abrasi, maka upaya pemerintah harus jalan terus,” katanya. 

Makarius berkata, pemerintah seharusnya melihat dampak abrasi yang terjadi hampir setiap tahun. 

Ombak yang terus mengikis pantai dan mengancam pemukiman warga, kata dia, juga merupakan imbas dari tanggul pemecah gelombang yang sepotong itu.

Ia mengakui selama ini pegawai dari BPBD dan Dinas Sosial biasa terjun ke lokasi “tetapi upaya untuk membangun atau melanjutkan pengerjaan ini belum ada jawaban.”

Saat Musyawarah Rencana Pembanguan Kecamatan atau Musrembangcam, kata dia, “saya angkat soal pengerjaan yang terhenti ini.”

“Jawaban dari pemerintah bahwa mereka sudah bawa proposal ke pusat dan ada upaya selanjutnya di 2024. Tetapi jawaban-jawaban seperti itu biasanya kami sebagai masyarakat menunggu bukti,” katanya.

Muhidin, warga lainnya berkata  “kalau kami tahu bahwa pengerjaan tanggul ini sifatnya hanya sementara, mungkin kami minta tidak usah turunkan batu-batu itu karena imbas yang kami terima ini fatal.” 

“Sampai kapan kami dibiarkan dalam kondisi seperti ini. Tunggu sampai badai rob datang lagi kah?,” katanya.

Mimin, 30 tahun, nelayan di Jedawir berkata “gara-gara tanggul sepotong yang mereka  kerjakan tidak sampai habis itu pemukiman kami rusak.”

Ia menjelaskan, sebelum terjadi abrasi, masyarakat Dusun Jedawair biasa menggelar pertandingan futsal bagi anak-anak di pantai tersebut. 

Namun, setelah rob pada awal Maret gelombang mengeruk pasir pantai. 

Upaya Pemerintah Desa Geliting

Kepala Desa Geliting, Makarius Oskar berkata rob pada awal Maret itu menjadi yang terparah dalam beberapa tahun terakhir.

Ia menyebut lebih dari 70 keluarga di tiga RT yang terdampak langsung.

Di tengah nasib pembangunan tanggul yang kini belum jelas, kata dia, baru-baru ini mereka melakukan aksi swadaya menimbun batu-batu berukuran kecil ke dalam karung, yang lalu ditempatkan di pinggir pantai.

Muhiddin yang ikut dalam bakti sosial itu berkata, dalam aksi itu selain gotong royong mengerjakannya, warga juga swadaya mengumpulkan uang membeli batu.

“Kami beli batu sekitar 30an reit untuk timbun sekitar rumah warga,” katanya.

“Kalau tidak ditimbun berarti rumah-rumah di pesisir ini perlahan-lahan akan rusak,” katanya.

Ia berkata, “kami di pesisir pantai ini selalu dianaktirikan oleh pemerintah.”

“Jadi, kita saat ini tidak lagi mau mengadu kepada siapa-siapa. Kalau ke pemerintah percuma,” katanya.

Aksi swadaya warga juga dilakukan menghadapi abrasi di sekitar ruas Jalan Pantai Utara penghubung Kabupaten Sikka dan Kabupaten Flores Timur yang nyaris putus diterjang gelombang. 

Kepala Desa Lewomada, Dominikus Pondeng yang berbicara kepada Floresa melalui sambungan telepon berkata, di sepanjang jalur tersebut terdapat tiga titik yang hampir tidak bisa dilalui kendaraan. 

Hal itu menghambat aktivitas warga yang berada di sekitar jalur tersebut.

“Ada warga empat desa di wilayah Sikka yang menggunakan akses jalan ini yakni Desa Lewomada, Baokremot, Henga dan Wailamung,” katanya.

“Ada juga satu desa dari Flores Timur yakni Desa Adabang yang setiap hari melalui jalur ini kalau ada keperluan ke Maumere,” tambah Dominikus.

Atas inisiatif masyarakat, para sopir dan pemerintah desa dari lima desa di wilayah itu, kata dia, mereka secara swadaya menyumbang uang untuk membeli semen, karung dan mengumpulkan batu-batu untuk menutupi badan jalan yang tergerus ombak.

“Setiap tahun terjadi abrasi di wilayah kami. Hingga saat ini kami masih menunggu bantuan pemerintah untuk menangani masalah ini,” katanya.

Warga Dusun Jedawair bergotong royong membuat tanggul penahan abrasi menggunakan pasir yang telah diisi dalam karung. (Dokumentasi warga)

BPBD Sikka: Abrasi Bencana Tahunan

Pelaksana Tugas Ketua BPBD Kabupaten Sikka, Kensius Didimus berkata, abrasi merupakan bencana tahunan yang berdampak terhadap  14 kecamatan,  mencakup 26 desa/kelurahan.

“Meskipun itu sifatnya bencana tahunan, ini tetap menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten dalam kaitan dengan rencana untuk kajian dan memahami permasalahan itu,” kata Kensius kepada Floresa.

Ia tidak menjelaskan rinci tindakan yang bakal diambil untuk warga di Desa Geliting dan Nangahale yang kini berharap bantuan segera.

Ia hanya berkata, “ada yang langsung kita tindaklanjuti dengan dukungan melalui pendekatan penggunaan dana Belanja Tidak Terduga maupun dukungan anggaran dari Dana Alokasi Umum di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah.”

Sementara dari rumah mereka, Anita dan Anwar berharap pemerintah bisa mengambil langkah jelas, terutama menuntaskan pembangunan tanggul yang hanya sepotong itu.

“Kalau bisa bantu kita dulu. Kita tidak bisa hidup dengan ancaman gelombang laut seperti in,” kata Anita.

“Kami khawatir jika badai itu datang lagi dan tidak ada penahan ombak. Rumah kami tidak akan selamat.”

Editor: Ryan Dagur

spot_imgspot_img

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

Baca Juga Artikel Lainnya

Proyek ‘Parapuar’ BPO-LBF di Hutan Bowosie Berbasis Prinsip Ramah Lingkungan, Apa Benar?

Selain menggusur kawasan hutan, proyek Parapuar juga masih menyisakan persoalan dengan kelompok warga yang memprotes penguasaan lahan oleh BPO-LBF

Pemerintah Pusat Atasi Kelangkaan Dokter Spesialis dengan Program Pendidikan Gratis, Dinas Kesehatan di NTT Sambut Antusias

Saat ini Indonesia masih kekurangan 29.000 dokter spesialis. Penyebaran dokter spesialis masih terpusat di Jawa dan kota-kota besar

Memajukan Perempuan dalam Perkembangan Teknologi yang Tak Lagi ‘Dunianya Laki-Laki’

Memperluas akses bagi perempuan dalam teknologi menghadirkan model peran yang inklusif bagi generasi mendatang

Tidak Benar, Prabowo Bakal Nikahi Mertua Kaesang Pangarep pada 20 Mei 

Selain menarasikan rencana pernikahan tersebut, warganet juga mengunggah foto keduanya yang terlihat sedang berdampingan