Floresa.co – Setiap tahun ketika musim hujan tiba, gelombang tinggi memecah pesisir Desa Nangahale di pantai utara Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Hantamannya membuat rumah-rumah dan fasilitas publik yang berada di pinggir pantai di Kabupaten Sikka itu tergenang air.
Gelombang tinggi yang memicu abrasi – pengikisan wilayah pesisir – itu juga merusak pondok produksi garam milik warga yang langsung terhubung dengan pantai.
Salah satu yang rutin jadi sasaran adalah Madrasah Tsanawiyah [MTs] Muhammadiyah Al-Fatah, jenjang pendidikan formal setara Sekolah Menengah Pertama.
Raden Senja Igriansyah, seorang murid kelas delapan di madrasah itu masih terus mengingat suatu malam pada Desember 2022 ketika gelombang tinggi memasuki desanya.
“Air laut menggenangi jalan dan masuk hingga halaman rumah,” katanya kepada Floresa.
Esoknya, beberapa teman Senja memutuskan untuk tak berangkat ke sekolah.
Senja sebaliknya memilih “tetap berangkat karena khawatir kenapa-kenapa dengan bangunan sekolah kami.”
Setiba di madrasah, ia melihat pagar bata yang roboh, terbanting dorongan gelombang.
Farida, juga murid kelas delapan madrasah itu teringat “atap seng sekolah beterbangan akibat angin kencang” yang terjadi bersamaan dengan gelombang itu.
“Tanaman berbunga rusak dan pagar roboh dihantam gelombang,” katanya.
Jumiati, kepala madrasah mengatakan setiap kali musim hujan dan gelombang tinggi datang, “kami mulai khawatir karena air laut dapat mencapai ruang kelas tujuh dan delapan.”
Dibanding ruang-ruang lainnya, kedua ruang kelas itu memang berada paling dekat dengan pantai. Fondasinya pun lebih rendah ketimbang kelas-kelas lain.
Genangan memaksa kegiatan belajar-mengajar di dua kelas itu mesti berpindah ke sebuah musala dalam kompleks madrasah.
Penggunaan satu ruang musala untuk dua kelas mau tak mau membuat para guru bersiasat. Ketika guru kelas tujuh hendak menerangkan materi pelajaran, rekannya yang mengajar kelas delapan harus sudah memulai memberikan soal-soal yang mesti dikerjakan para murid, saat itu juga.
Cara tersebut dilakukan supaya murid kelas tujuh dapat mendengarkan guru mereka dengan jelas, tanpa gangguan dari kelas delapan. Begitu pun sebaliknya.
Selain memaksa guru dan murid berpindah ke musala, imbasan gelombang tinggi juga melapukkan sejumlah meja dan kursi.
Gelombang tinggi “yang kerap datang malam hari membuat kami tak mampu menyelamatkan beberapa barang,” kata Jumiati.
Peralatan drum band, beberapa tumpuk dokumen dan satu unit komputer, kata dia, rusak akibat hantaman gelombang Desember 2022.
Abdul Fatah, pendiri MTs itu mengaku turut memitigasi hantaman gelombang, dengan membangun pagar penahan dari bata setinggi kira-kira dua meter di antara deretan ruang kelas dan bibir pantai.
Pagar dibangun di belakang tanggul—juga dibangun secara mandiri oleh sekolah—setinggi sekitar 50 sentimeter.
Tetap saja ketika hantaman gelombang sangat kuat, “pagar roboh dan air akan masuk juga ke kelas-kelas.”
Perempuan Pembuat Garam Rugi
Dampak abrasi di Nangahale juga dialami oleh para perempuan pembuat garam yang setiap hari bekerja dalam pondok-pondok yang berjarak hanya puluhan meter dari bibir pantai. Struktur pondok didominasi kayu dengan beberapa tungku di dalamnya.
“Setiap angin [monsun] barat tiba, air laut selalu masuk ke dalam pondok, becek di mana-mana,” kata Mama Rasmida, salah satu pembuat garam. Angin monsun barat umumnya berlangsung Oktober hingga April.
Akibatnya, “kami harus berhenti bekerja hingga dua pekan lamanya.” Ditambah lagi, kata dia yang ditemui Floresa di pondoknya, “memang tak ada garam yang bisa dijual karena terburu rusak oleh genangan air.”
Dalam sepekan, pondok produksi garamnya bisa menghasilkan 10-35 karung. Satu karung seberat 50 kilogram dijual Rp500.000 ke beberapa pasar di Boru dan Larantuka di Flores Timur, Pulau Solor dan Pulau Lembata. Ketika dua pekan sama sekali tak bekerja, artinya ia kehilangan potensi penghasilan kotor minimal Rp10.000.000.
Setidaknya sampai dua tahun silam Mama Rasmida dan pembuat garam lainnya menaruh garam siap jual di lantai pondok.
Berkaca dari genangan air tahunan, para lelaki lalu membuat rak-rak kayu di dalam pondok produksi itu. Mereka juga memancang deretan potongan kayu lamtoro yang disusun serupa pagar mengelilingi pondok.
Tetapi cara itu juga tak ampuh menahan laju gelombang serta pengikisan pantai.
Perubahan Bentuk Pantai
Nangahale bukan hanya setahun, dua tahun belakangan terancam abrasi, kendati data historisnya tak bisa secara sahih terlacak.
Emmanuel Yosef Muda, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] Sikka menyatakan institusinya tak memiliki data terkait fluktuasi ketinggian air laut, serta pola-pola cuaca lainnya yang relevan mengukur abrasi Nangahale.
Walaupun pemerintah tak mengukur pengikisan tanah secara tahunan, tetapi warga dapat secara sederhana mengalkulasi perubahannya.
Habibah, lansia 71 tahun yang masih aktif membuat garam bercerita, “sekitar 13 tahun silam, jarak pondok [produksi garam] kami dan pantai terasa jauh.”
Jauh yang disebutkannya itu sekitar 50-60 meter.
Ketika permukaan laut surut, “rasanya jauh kalau mau ambil air laut” untuk pembuatan garam.
Lantaran jauh pula, “dulu kami masih bisa lihat orang berdagang ikan, jajan, jual sayur-sayuran di dekat pantai.”
Sekitar tiga atau empat tahun belakangan, ia mulai merasakan perbedaannya. Acapkali saat pasang, air laut bisa mencapai tungku untuk memasak garam.
“Saya bersama beberapa kelompok mama-mama pembuat garam [pernah] inisiatif pindahkan pondok ini sekitar tiga meter dari lokasi sebelumnya. Tetapi air laut seperti ikut terus. Selalu dekat,” kata Habibah.
Tiga hingga empat tahun belakangan, ia mengambil air laut sebagai bahan mentah membuat garam yang kini cuma berjarak 5-10 meter dari pondok.
Pembangunan Tak Terjaga di Pesisir
Yuvensius Stefanus Nonga, Deputi Walhi NTT mengatakan, abrasi merupakan gejala umum yang terjadi di garis pantai hampir semua pulau di NTT.
Pemicunya, kata dia, adalah gelombang pasang yang terus naik, seiring naiknya permukaan laut akibat perubahan iklim.
Pembangunan berbagai infrastruktur, seperti hotel di wilayah pesisir yang merusak daerah konservasi seperti mangrove, kata, juga jadi faktor pemicu lainnya.
Ia menjelaskan, wilayah sempadan pantai, daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal seratus meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat, juga jadi wilayah pembangunan infrastruktur.
Pernyataan Yuvensius sejalan dengan data yang pernah disampaikan Hari Suprayogi, Direktur Sungai dan Perairan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Ia mengatakan bahwa 272 kilometer dari total 5.782 kilometer garis pantai di NTT dinyatakan kritis akibat abrasi. Jumlah itu tersebar di Pulau Timor, Flores, Sumba, Alor, Rote, Sabu dan sejumlah pulau-pulau kecil lainnya. Abrasi di NTT, kata dia, telah bertambah dalam 10 tahun terakhir, meski tidak merinci angka peningkatannya per tahun.
Yuvensius menjelaskan, kebijakan pemerintah dalam melindungi wilayah pesisir juga masih sangat minim.
“Kita biasa sebut kebijakan yang masih memunggungi laut, yang tidak memandang pesisir laut sebagai objek atau sebagai salah satu wilayah yang perlu dikonservasi,” katanya kepada Floresa.
Eko Teguh Paripurno, ahli geologi sekaligus pakar kebencanaan Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta mengatakan telah puluhan kali terbang ke pelbagai wilayah di NTT untuk meneliti gerakan tanah dan sedimen vulkanis.
Dari puluhan kedatangan itu, katanya, ia mendapati “banyak wilayah pesisir NTT yang manajemen tata ruangnya tidak bagus sehingga mengalami penyimpangan abrasi.”
Ia menekankan kata “penyimpangan” lantaran “abrasi sebetulnya suatu proses alamiah, yang pasti terjadi di pesisir yang setiap hari dihantam pecahan gelombang.”
Penyimpangan abrasi, termasuk perubahan arah pantai, terjadi ketika “pembangunan tak terjaga di pesisir.” Penyimpangan, kata Eko kepada Floresa, “dapat memperburuk dampak abrasi.”
Kebanyakan kasus penyimpangan abrasi, jelasnya, dipicu aktivitas yang “ menyerobot sempadan dan ketiadaan ruang untuk melakukan mitigasi vegetatif atas pantai.”
Mitigasi vegetatif itu misalnya penanaman dan pelestarian mangrove.
Tanggul yang Mangkrak
Sementara warga terus menghadapi dampak abrasi, upaya pemerintah sejauh ini melakukan penanganan masih mandek.
Pada 2021, Pemerintah Kabupaten Sikka mulai membangun tanggul sepanjang kira-kira 25 meter di pinggir Pantai Nangahale.
Namun, dari pantauan Floresa yang beberapa kali menyambangi pantai itu pada Juli dan awal Agustus, terlihat bentuk tanggul yang jauh dari kata “selesai” karena hanya mengakomodasi sepersekian dari garis pantai itu.
Sejumlah warga setempat mengaku hanya melihat pekerja sebentar melanjutkan proyek tanggul itu.
Sahanudin, Kepala Desa Nangahale membenarkan “dua tahun lalu mulai ada aktivitas pengerjaan tanggul.”
Tetapi “tak sampai dua pekan, pengerjaannya berhenti,” katanya pada 27 Juli.
Sahanudin mengklaim “tak mengetahui alasan penghentian pengerjaan tanggul,” namun ia memberi informasi soal dugaan pemicunya karena “kondisi keuangan yang tak memungkinkan.”
Ia mengatakan, pengerjaan tanggul itu sempat dilanjutkan lagi dengan sumber dana dari Bantuan Tak Terduga [BTT] senilai Rp1 miliar.
“Sempat ada pengiriman material berupa batu, tetapi sepekan kemudian tak terlihat aktivitas lanjutan,” katanya.
Ia menyatakan telah membangun komunikasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sikka “agar dapat mengalokasikan dana” lagi.
Dianggap Bukan Masalah Darurat
Yohanes Baptista Laba Kepala Pelaksana BPBD Sikka mengklaim pembangunan tanggul itu tidak dilanjutkan karena “masa tanggap darurat di Nangahale berlangsung pada 26 Desember 2022 hingga 8 Januari 2023.”
Masa tanggap darurat itu berdasarkan keputusan Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo terhadap empat kecamatan, masing-masing Talibura, Alok Barat, Alok Timur dan Palue. Nangahale tercakup dalam wilayah Talibura.
Pengerjaan tanggul di Nangahale, kata Yohanes, memang tidak selesai karena habisnya masa tanggap darurat itu.
“Jika [pengerjaan tanggul] tak bisa selesai dalam 14 hari, ya harus kami hentikan sembari menunggu penetapan status tanggap darurat berikutnya,” katanya.
Yohanes mengatakan bila mau pakai jalur lain, pemerintah bisa mengusulkan proposal kelanjutan pengerjaan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] melalui skema Dana Siap Pakai [DSP].
Dalam keterangan terpisah, Emmanuel dari BPBD Sikka mengatakan institusinya “masih berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan BNPB” terkait proposal DSP tanggul Nangahale.
“Saya baru setahun di tempat ini [BPBD Sikka],” katanya Emanuel yang sebelumnya menjadi sekretaris di kantor Kecamatan Paga, “jadi saya masih harus mempelajari hal-hal terkait bencana alam.”
“Ketika datang, saya tahu tempat ini [BPBD Sikka] bermasalah,” katanya.
Ia tak lebih lanjut merinci soal “bermasalah” dan hanya berkata singkat, “Anda pasti tahu masalah-masalah yang lalu.”
Pada Februari 2023, penyidik Kejaksaan Negeri Sikka memang menahan dua tersangka dugaan korupsi dana BTT tahun anggaran 2021. Keduanya masing-masing mantan Kepala Pelaksana BPBD Sikka, Mohamad Daeng Bakir dan mantan Bendahara BPBD Sikka, Maria Reyneldis Lebi.
Dugaan korupsi BTT itu termasuk pengadaan kebutuhan dasar, petugas pendukung dan pengamanan di tempat karantina Covid-19.
Sebelumnya pada 2016, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang juga memvonis Silvanus Marianus Tibo, mantan Kepala BPBD Kabupaten Sikka selama dua tahun penjara. Ia terbukti bersalah dalam kasus korupsi proyek Mandi Cuci Kakus di Alok Barat, Sikka untuk tahun anggaran 2013.
Yohanes menyatakan “untuk mendapatkan DSP, kami harus memenuhi persyaratan akan tanggul yang tercatat sebagai aset pemerintah daerah.” Syarat dibuktikan lewat “dokumen perjanjian kerja atau kontrak.”
Sejauh ini “tanggul [Nangahale] yang mau dibangun itu belum tercatat sebagai aset pemerintah daerah. Jadi kita tunggu saja.”
Catatan untuk Klaim BPBD
Eko Teguh Paripurno dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta memberi catatan terhadap klaim BPBD bahwa pengerjaan tanggul itu sudah lewat masa tanggap darurat.
Seharusnya, kata dia, “pengerjaan tanggul bukan [bagian dari] keadaan tanggap darurat.”
“Tanggap darurat itu penyelamatan nyawa dan harta benda,” katanya.
Pembuatan tanggul merupakan “kegiatan mitigasi struktural. Harus dibuat rencana mitigasinya.”
Ia juga mengatakan, alih-alih “menyalahkan arus dan gelombang,” diikuti pembangunan tanggul penahan abrasi, “lebih baik memulihkan fungsi sempadan pantai.”
Yuvensius dari Walhi NTT juga mengatakan, “kita tahu bahwa ancaman perubahan iklim dan situasi iklim yang tidak menentu akan terus terjadi di NTT. “
“Sudah semestinya pemerintah kita harus sadar atau paling tidak punya desain khusus soal pembangunan yang memperhatikan mekanisme perlindungan wilayah pesisir laut,” katanya.
Sampai Kapan?
Di tengah persoalan pembangunan tanggul yang belum menemukan titik terang, warga sekolah di MTs Muhammadiyah Al-Fatah dan perempuan pembuatan garam masih diliputi kecemasan.
Tidak lama lagi musim hujan tiba di Nangahale, sementara pagar penahan gelombang milik MTs mulai rusak di sana-sini.
“Jika pemerintah tidak segera bangun tanggul, dua atau tiga tahun lagi pagar sekolah bisa ambruk karena terus-terusan dihantam gelombang,” kata Abdul, pendiri MTs.
Habibah “tak bisa banyak berharap dari pagar kayu lamtoro,” untuk melindungi pondok garamnya.
Karena itu, ia berharap “pemerintah harus cepat dan benar-benar bangun tanggul supaya kami tak kesusahan.”
Sementara bagi Senja, jika bencana itu terjadi lagi, pilihannya dua, belajar di musala dan berbagi ruangan dengan kelas lain atau dipulangkan.
“Mau sampai kapan kami terus terganggu?” kata Jumiati, mengeluhkan kegiatan belajar-mengajar yang tidak akan bisa berjalan optimal.