Hutan Mangrove Warisan Keluarga Baba Akong di Pantai Ndete, Penangkal Jitu Abrasi yang Terus Ancam Sikka

Selagi pemerintah fokus pada pembangunan tanggul untuk cegah abrasi, keluarga Baba Akong meyakini memelihara hutan mangrove adalah solusi yang lebih tepat.

Floresa.co – Jarum jam baru menunjukkan pukul 7.30 Wita. Namun, cuaca terasa seolah-olah sudah tengah hari. Terik dan menyengat.

Meski demikian, suguhan pemandangan saat menyusuri Jalan Trans Utara, jalur yang menghubungkan Maumere, ibukota Kabupaten Sikka ke arah utara menuju Kecamatan Magepanda pada 3 Oktober membuat saya tetap semangat melajukan sepeda motor.

Birunya lautan kontras dengan sabana di deretan perbukitan kecil, membentang mulai dari Desa Kolisia hingga wilayah Kecamatan Magepanda, tempat yang saya tuju.

Setelah menempuh perjalanan 30 kilometer dengan waktu kurang lebih 45 menit, saya berhenti di depan sebuah rumah sederhana berdinding bambu di Dusun Magelo’o, Desa Reroroja.

Rumah itu milik keluarga mendiang Viktor Emanuel Rayon atau Baba Akong, yang dikenal sebagai pegiat lingkungan hidup di Sikka.

Setelah memarkirkan motor di samping rumah itu, saya melihat Anselina Nona, isteri Baba Akong sedang duduk di bale-bale samping rumah. Keriput jelas menggurat di wajahnya.

“Sudah jam begini, anak-anak belum datang,” kata perempuan berusia 73 tahun itu.

Ia memberi tahu sedang menunggu para mahasiswa dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI] Kabupaten Sikka.

Mereka hendak menggelar kegiatan penghijauan di hutan mangrove, berjarak 100 meter di belakang rumahnya di Pantai Ndete.

Hutan seluas 40 hektare yang terus dijaga oleh keluarga Baba Akong itu kini menjadi tujuan kegiatan penghijauan oleh berbagai kalangan.

Jembatan bambu yang membelah hutan mangrove dibangun mendiang Baba Akong untuk memudahkan dirinya memantau perkembangan mangrove yang telah ditanam.

Bermula dari Tsunami 1992

Sembari menanti mahasiswa PMKRI pagi itu, Anselina berkisah tentang awal mula keluarganya merawat hutan mangrove itu.

Semuanya, kata dia, berawal saat gempa bumi disusul tsunami pada 12 Desember 1992. Dibanding tiga kabupaten tetangga – Ngada, Ende dan Flores Timur -, Sikka terkena dampak terparah dalam bencana itu.

Gempa berkekuatan 7,8 pada Skala Richter yang menghantam pesisir utara Pulau Flores itu menyebabkan tsunami setinggi 36 meter yang menewaskan setidaknya 2.100 jiwa. Selain itu, 500 orang dinyatakan hilang, 447 orang luka-luka, dan 5.000 orang mengungsi.

Anselina bercerita keluarganya turut terdampak bencana itu. Selain merusak rumah mereka, gempa bumi disusul tsunami juga menumbangkan usaha mereka di kebun kelapa dan kolam ikan bandeng.

Peristiwa itu kemudian menggerakkan Baba Akong mencari cara guna meminimalisasi dampak bencana alam di kemudian hari.

Kepada Anselina pada 25 Januari 1993, lebih dari sebulan sesudah bencana tersebut, Baba Akong mengutarakan niat untuk mulai menanam bakau di Pantai Ndete.

Sejak hari itu, Baba Akong menghabiskan banyak waktunya di pantai. Ia mencari bibit bakau, menanam dan merawatnya. Ia bahkan mencari bibit sampai ke Kabupaten Ende, di sebelah barat Sikka.

Anselina mengenang suatu hari setelah mendapatkan banyak bibit, mereka tak lagi punya uang untuk membeli polybag, sedangkan bencana itu mengeruk hampir semua harta mereka.

“Akhirnya kami jual babi, satu-satunya harta yang kami punya saat itu,” katanya.

Baba Akong meyakinkannya untuk menjual babi itu karena “kelak hutan mangrove yang jaga keluarga kita, bahkan bisa jaga kampung ini.”

Mereka belajar otodidak soal cara menanam bakau. Anselina mengingat teknik sulam yang dipraktikkan Baba Akong, yakni mengganti bibit bakau yang mati dengan bibit baru berusia sama. 

“Saya tidak tahu dia dapat ilmu dari mana, bagaimana cara tanam, rawat dan ganti tanaman yang rusak,” katanya.

Anakan mangrove yang siap ditanam. (Foto: Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

“Kadang ada beberapa cara yang dia pakai. Kalau tidak berhasil, dia ubah caranya sampai berhasil.”

Ia mengatakan, pada tahun-tahun awal, cukup banyak orang yang mencibir mereka.

“Ada yang mengatakan Baba Akong itu gila dan stres karena usahanya hancur diterjang gelombang,” katanya.

Namun ia mengingat bagaimana suaminya itu meyakinkannya bahwa “kalau kerja dengan cinta, alam pun akan memberikan yang kita mau dengan cinta pula.”

Keuletan keluarga Baba Akong kemudian terbayar dengan terbentuknya hutan mangrove yang masih terjaga hingga kini.

Belasan tahun sejak merintis usahanya itu, ia mendapat pengakuan dari pemerintah lewat dua Kalpataru Perintis Lingkungan, masing-masing pada 2008 dan 2009. 

Penghargaan itu diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat non-pegawai negeri yang giat melestarikan lingkungan hidup. 

Diteruskan Keluarga

Pelestarian hutan mangrove terus dilanjutkan oleh keluarga Baba Akong, selepas ia meninggal pada 6 Maret 2019 dalam usia 71 tahun.

Salah satunya adalah Amelia, 43 tahun, menantu Baba Akong. 

Pagi itu, ketika saya temui, ia tengah memilah beberapa bibit bakau di belakang rumahnya.

Beberapa pilahannya lalu dipindahkan ke tempat lain, sebelum ia menghitung ulang jumlahnya.

“Pas 50 [bibit],” kata istri Antonius Guido Rayon, 45 tahun, putra pertama Baba Akong itu sambil tersenyum.

Antonius Guido Rayon, putra Baba Akong sedang memberikan pendampingan kepada siswa-siswi SMK Fransiskus Xaverius Maumere mengenai pembibitan mangrove. (Foto: Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Bibit-bibit itu telah dibeli dan hari itu akan ditanam oleh mahasiswa PMKRI.

Bersama anggota keluarga lainnya, perempuan asal Jember, Jawa Timur itu terlibat mencari bibit dan menanam kembali di lahan yang masih kosong di Pantai Ndede.

“Satu hari biasanya ada 100 bibit yang kami semai dan kami rawat. Kami juga kontrol mana tanaman yang hidup, mana yang harus dirawat atau diganti,” katanya.

Kendati “melelahkan, namun menanam bakau sama halnya merawat hidup kami.”

“Keluarga kami sudah menyatu dengan hutan mangrove ini,” katanya.

Keluarga Baba Akong juga bermitra dengan sebuah kelompok tani perempuan bernama Lestari, yang secara khusus memberi perhatian pada mangrove.

Seiring ramainya Pantai Ndete, memang banyak pihak, termasuk dari dinas-dinas pemerintah yang membeli anakan bakau dan menanamnya.

Kelompok ini yang kemudian secara sukarela menyisihkan waktu merawat tanaman-tanaman itu.

“Setiap hari kami bagi tugas, siapa yang pergi kontrol tanaman yang baru ditanam,” kata Fransiska Xaverina, 38 tahun, salah satu anggota kelompok Lestari.

Kadang, kata dia, ada juga dari dinas atau lembaga tertentu yang hanya membeli anakan bakau dan mereka yang menanamnya.

Fransiska menjelaskan, karena luas hutan mangrove ini besar, “satu hari tidak cukup pergi kontrol sendirian, harus ada dua atau tiga orang.”

Fransiska Xaveria, salah satu anggota kelompok Lestari, sedang merawat bibit mangrove.

Abrasi di Sikka

Sementara di Pantai Ndete mangrovenya terjaga dengan baik, di wilayah lain di Kabupaten Sikka kondisinya memprihatinkan.

Hutan mangrove teridentifikasi tersebar di delapan kecamatan, mencakup 21 desa. Hutan mangrove terbesar terletak di Teluk Maumere, mencapai 574,96 hektare.

Meski tidak tersedia data yang pasti, terjadi penurunan jumlah hutan mangrove akibat kerusakan dan perubahan status penggunaan lahan di Sikka. Hal ini memicu masalah seperti abrasi pada beberapa tahun terakhir.

Beberapa wilayah di Sikka dengan dampak abrasi tertinggi, menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD] adalah di Pantai Magepanda, Kolisia, Roja, Kewapante, Doreng, Bola, dan Nangahale.

Pemerintah berusaha mengatasinya dengan membuat turap atau tanggul di pinggir pantai, namun anggaran amat terbatas, kata Yohanes Baptista Laba, Kepala BPBD Sikka.

Ia mengatakan, BPBD sudah berusaha mencari dana dengan membuat proposal ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

“Kami juga langsung ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana dengan mengajukan  Dana Siap Pakai [DSP],” katanya.

Namun, jelasnya, prosedurnya cukup berbelit-belit.

Menjaga Mangrove Ketimbang Bangun Turap

Amelia memberi catatan pada langkah pemerintah menghadapi masalah abrani.

“Ketimbang fokus pada pembangunan turap,” katanya, “pemerintah sebaiknya menggalakkan perluasan hutan mangrove.”

“Lembaga, komunitas, pemerintah bisa survei lokasi-lokasi yang pas ditanami mangrove.”

Ia berharap, kegiatan-kegiatan yang bertema lingkungan hidup bisa digalakkan di lokasi-lokasi yang kosong itu.

Pemerintah, kata dia, juga perlu mendorong peningkatan kesadaran warga terhadap pentingnya hutan mangrove.

“Kami ingin kesadaran menanam pohon bakau terjadi di seluruh wilayah pesisir Sikka, sehingga bisa kurangi abrasi,” katanya.

Ia mencontohkan di sepanjang jalan dari Maumere ke Magepanda, ada titik-titik tertentu yang mengalami abrasi dan terlihat pohon bakau rusak karena dipotong dan dimakan ternak.

“Mungkin biaya untuk pembangunan turap penahan abrasi itu besar. Coba kita tanam bakau. Meski prosesnya lama, tapi pasti hasilnya lebih baik,” kata Amelia.

Mahasiwa PMKRI Kabupaten Sikka melakukan penanaman mangrove di Pantai Ndete pada 3 Oktober 2023. (Foto: Maria Margaretha Holo/Floresa.co)

Kata-kata Amelia setidaknya terbukti dengan yang mereka alami kini di Pantai Ndete. Meski di tempat lain terjadi abrasi dan banjir rob mereka tetap aman.

Menurut Anselina, yang mereka alami kini merupakan penggenapan kata-kata Baba Akong saat tiga dekade lalu mulai merintis hutan mangrove di Pantai Ndete.

“Hutan mangrove turut jaga keselamatan kami sesuai dengan kata-kata suami saya semasa hidupnya.”

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini.

TERKINI

BANYAK DIBACA

BACA JUGA