Setiap tahun selalu tercatat kasus bunuh diri di Manggarai Raya–sebutan bagi kesatuan wilayah Kabupaten Manggarai Barat, Manggarai dan Manggarai Timur.
Badan Pusat Statistik [BPS] mencatat pada 2021, atau tahun terakhir publikasinya, terdapat kasus bunuh diri di 11 desa di Kabupaten Manggarai Timur, lima desa di Manggarai dan tiga desa di Manggarai Barat.
BPS hanya merilis banyaknya desa per kabupaten menurut keberadaan korban, bukan jumlah kejadiannya.
Di Kabupaten Manggarai, dari data yang dihimpun Floresa, tercatat 11 kasus pada 2018, naik menjadi 26 kasus pada 2019.
Sementara Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kabupaten Manggarai Timur mencatat 31 kasus pada 2020-2022, dengan tren meningkat per tahun.
Memang data pasti soal jumlah kasus masih minim. Namun, kejadian bunuh diri di Manggarai Raya setidaknya dapat kita telusuri dari media lokal dan nasional, yang pemberitaan kasusnya selalu ada setiap tahun.
Ini memang bukan fenomena lokal, tapi juga nasional dan global.
Di Indonesia, meski dibandingkan dengan negara Asia lain, prevalensi kasusnya terbilang rendah, yaitu 3,7 per 100.000 penduduk, namun dengan jumlah total penduduk 270 juta, berarti ada lebih dari10 ribu orang yang bunuh diri setiap tahun.
Sementara Organisasi Kesehatan Dunia (World Heath Organization, WHO) mencatat hampir 800.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun atau satu orang setiap 40 detik. Ada indikasi bahwa untuk setiap orang yang meninggal karena bunuh diri, kemungkinan ada lebih dari 20 orang lain yang melakukan upaya percobaan.
WHO juga mencatat bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar keempat di antara orang-orang berusia 15-29 tahun di seluruh dunia pada 2019.
Pemicu
Sejumlah penelitian mengidentifikasi bahwa tindakan bunuh diri umumnya terjadi setelah melewati tiga tahap yaitu ide, ancaman dan percobaan.
Ide merujuk pada munculnya keinginan dalam diri seseorang untuk bunuh diri. Pada tahap ini seseorang cenderung tidak mengungkapkan keinginannya secara terang-terangan.
Ketika ide ini terus ada, maka mulai melakukan ancaman bunuh diri. Bentuknya bermacam-macam, seperti membuat postingan di media sosial yang memberi pesan bahwa dia bosan hidup dan ingin mengakhiri penderitaan dan sebagainya.
Sementara percobaan merupakan kondisi ketika seseorang sudah melakukan upaya bunuh diri, namun bisa dicegah.
Orang yang memiliki ide bunuh diri dapat berkembang menjadi tindakan dan menyebabkan kematian.
Pemicu hal ini bisa bermacam-macam. Umumnya berkaitan dengan masalah kesehatan mental, keluarga, konsep diri, masalah ekonomi dan kurangnya dukungan sosial.
Tahun lalu, saya dan anggota tim peneliti dari Unika St. Paulus Ruteng meriset faktor-faktor yang memengaruhi kejadian bunuh diri di Kabupaten Manggarai.
Kami membagi kuesioner secara daring kepada 150 responden.
Dari hasil penelitian, kami menemukan dua orang atau 2.1% dari total responden memiliki dorongan untuk bunuh diri, sedangkan faktor yang paling memengaruhinya adalah depresi.
Penelitian kami juga menemukan seseorang yang mengalami depresi kemungkinan 4,1 kali lebih kuat terdorong untuk bunuh diri.
Secara ilmiah, depresi diartikan sebagai gangguan jiwa yang dipicu ketidakseimbangan neurotransmiter di otak, terutama dopamin.
Otak kita terdiri dari saraf bernama neuron yang berfungsi mengendalikan semua kerja tubuh. Neuron membuat jantung berdetak, paru-paru bernapas, lapar, berpikir, dan regulasi emosi [bahagia, sedih dan marah].
Neurotransmiter adalah sinyal yang membantu neuron menjalankan kerja tersebut. Ketidakseimbangan neurotransmiter dapat menimbulkan masalah.
Salah satu neurotransmiter adalah dopamin, yang fungsinya antara lain merangsang otak untuk meningkatkan suasana hati.
Dopamin bekerja meningkatkan perasaan bahagia seseorang. Ketika seseorang merasa jatuh cinta, dipuji dan disayang, produksi dopamin akan meningkat yang membuatnya bahagia.
Sebaliknya, pengalaman tidak menyenangkan seperti dihina, dirundung, kehilangan orang dekat atau dipecat dari pekerjaan berpotensi menurunkan kadar dopamin.
Saya analogikan dopamin seperti air keran. Semakin banyak pengalaman baik, kian deras air yang keluar dari keran.
Sebaliknya, seseorang yang terus-menerus mengalami pengalaman buruk, tidak didukung keluarga dan lingkungan dan merasa harga dirinya rendah membuat keran macet, tak mampu mengalirkan air.
Pada manusia, macetnya keran akan membuatnya tidak bermotivasi, lebih banyak tidur dan berpikir serba buruk tentang banyak hal.
Bila dibiarkan, dopamin akan menurun hingga kadar yang sangat rendah dan berpotensi menimbulkan depresi.
Bentuknya seperti merasa malas melakukan aktivitas, merasa sesuatu yang sebelumnya disukai tidak lagi menarik, mengisolasi diri, tidak mau bertemu teman, merasa sedih sepanjang waktu, hingga merasa semua masalah di dunia ini akan berakhir jika memilih mengakhiri hidup.
Dalam kondisi seperti ini kabar baik misalnya tidak akan membuat orang itu bahagia, sebab perangsang kebahagian dalam otak sudah tidak ada.
Tidak Menghakimi
Tak setiap orang dapat secara gamblang membicarakan perasaan ketika depresi, entah karena takut ditolak atau merasa akan menjadi beban bagi teman dan keluarga.
Lantas, apa yang bisa kita lakukan berhadapan dengan orang yang mengalami hal ini?
Beberapa psikolog yang kajiannya dapat ditemukan secara daring menyatakan, pada intinya “sangat penting untuk tidak menyalahkan atau menghakimi.”
Bila “tidak mengetahui rasa sakit dan sakit hati yang dialami seseorang, kita tidak berhak menilai apa yang sedang terjadi pada dirinya,” tulis Karyl McBride, doktor psikologi dalam jurnalnya yang bertajuk “Why We Can’t Judge Suicide?”
Hal pertama yang terbersit dalam pikiran Karyl setiap kali mendengar kejadian bunuh diri adalah “tingkat rasa sakit yang seseorang itu alami, yang bagi kita mungkin sulit untuk memahaminya.”
“Kita semua pasti pernah mengalami hari-hari yang buruk,” tulisnya, “tetapi mengalami rasa sakit yang membuat seseorang hingga ingin mati sungguh memilukan.”
Alih-alih bertanya “bagaimana bisa mereka melakukan itu?,” kata Karyl, akan lebih baik bila kita bertanya ke diri sendiri: Apa yang dapat kita bantu?
Tetapi cara itu juga tak selalu mudah; baik bagi orang yang peduli pada kesakitan orang lain maupun seseorang yang tengah depresi.
Ia menganjurkan agar kita perlu membangun relasi dengan sesama, “tak hanya untuk bersenang-senang, tetapi juga membicarakan pemikiran dan perasaan yang lebih dalam.”
Mengetahui ada orang yang bisa diajak bicara, mendengarkan dan peduli dengan dunia kita adalah anugerah. Begitu pula mengakui bahwa diri kita memiliki harkat [self-esteem] dan berharga [self-respect].
Keduanyaakan mendorong seseorang merasa setara dengan orang lain – pemikiran yang menurut temuan sejumlah periset dapat mencegah dorongan untuk bunuh diri.
Karyl juga memberi contoh yang menarik.
Suatu waktu ia berbincang dengan seseorang yang baru kehilangan seorang teman lantaran bunuh diri. Seseorang itu mendampingi temannya pada hari-hari terakhir hidupnya.
Karyl sempat bertanya soal hal-hal apa saja yang sekiranya dapat membantu seseorang terlepas dari rasa frustasi.
Seseorang itu menjawab, “saya lebih ingin menemani seorang teman yang sedang frustasi untuk berjalan kaki atau duduk minum kopi dan mendengarkan mereka ketimbang memberi nasehat.”
Merawat Perasaan, Pikiran dan Perilaku
Isu tentang bunuh diri erat kaitannya dengan kesehatan jiwa, yang ditopang oleh tiga pilar utama yaitu perasaan, pikiran, dan perilaku. Ketiganya terhubung satu sama lain.
Lantas, upaya paling utama yang dapat kita usahakan untuk mencegah depresi adalah merawat perasaan, pikiran dan perilaku.
Kita dapat menjaga perasaan dengan membangun pola hidup yang sehat seperti menghargai diri, menetapkan batasan, membangun kehidupan spiritualitas yang baik, manajemen keuangan dengan baik serta menjaga kesehatan fisik.
Soal menghargai diri, kadang kita kurang memperhatikan diri sendiri dan hanya fokus pada orang lain.
Misalnya kita selalu dengan mudah menyalahkan diri dengan mengatakan “saya memang bodoh’ atau “saya tidak becus,” untuk suatu kesalahan yang sebenarnya tidak kita lakukan.
Hal ini terjadi karena tidak ada penghargaan terhadap diri, self respect. Membangun self respect bisa dilakukan dengan mengetahui kelemahan dan kelebihan kita, lebih banyak bersyukur, alih-alih terlalu memberi fokus pada kesalahan dan berhenti pada penyesalan.
Penting untuk mengelola kesalahan atau pengalaman kegagalan sebagai bahan pembelajaran dalam hidup.
Selanjutnya menetapkan batasan adalah hal penting untuk terus merawat kesehatan jiwa. Batasan itu termasuk tak memaksa diri membantu orang lain ketika kita memang sedang tak mampu.
Untuk tahu batasan, kita mesti mengenal diri sendiri termasuk hal-hal yang membuat kita terganggu, termasuk kadang-kadang menolak ajakan orang lain jika itu memang merugikan kita atau tidak bisa kita penuhi.
Ada sebuah istilah untuk menggambarkan orang yang tidak bisa menolak ajakan orang lain karena merasa tidak enak dan takut berkonflik yaitu pushover. Orang yang pushover cenderung menyengsarakan diri sendiri demi menuruti kemauan orang lain.
Membangun kehidupan spiritualitas yang baik atau dikenal dengan koping religius yang baik adalah cara lain untuk merawat kesehatan jiwa.
Namun, hal ini tidak hanya terkait dengan rajin berdoa, tetapi mengamalkan nilai-nilai religiusitas dalam agama atau kepercayaan yang dianut.
Selain itu, manajemen keuangan yang baik adalah cara penting lain meningkatkan kesehatan jiwa.
Masalah keuangan bisa membuat seseorang cemas, stres, hingga berujung pada depresi. Misalnya, karena utang dan gaya hidup yang tidak sesuai pendapatan.
Beberapa cara yang dilakukan dalam manajemen keuangan adalah menyediakan dana darurat yang siap dipakai jika ada kebutuhan mendesak, menabung, mencatat pengeluaran dan – jika bisa – berinvestasi.
Sementara itu membangun kesehatan fisik adalah hal yang sangat fundamental bagi jiwa yang sehat. Hal ini bisa dilakukan dengan mengkonsumsi makanan bergizi, mengurangi konsumsi alkohol dan rokok serta berolahraga dengan teratur.
Penting disadari bahwa semua orang bisa mengalami masalah kesehatan jiwa. Bila sinyal-sinyal depresi mulai muncul, akan lebih baik bila kita mencari pertolongan.
Angelina Roida Eka merupakan perawat spesialis jiwa dan dosen keperawatan jiwa pada Program Studi Keperawatan di Fakultas Ilmu Kesehatan Unika St. Paulus Ruteng. Ia tengah bersiap melanjutkan studi doktoral bidang keperawatan jiwa di Australia.
Editor: Anastasia Ika