Tingkat Literasi Siswa di Lembata pada Level ‘Sedang,’ Para Guru Gali Pemicu dan Rumuskan Langkah untuk Pembenahan

Berdasarkan Rapor Pendidikan tahun 2024, rata-rata tingkat literasi siswa SD hingga SMA/SMK di pulau sebelah timur Flores itu di bawah 70%

Floresa.co – Para guru di Kabupaten Lembata baru-baru ini mendiskusikan masalah tingkat literasi para siswa yang masih masuk kategori sedang, serta bersama-bersama merumuskan langkah solutif untuk perbaikan.

Mereka membahas isu ini dalam seminar sehari bertema “Menyiapkan Masa Depan Generasi Muda Lembata Melalui Penguatan Kegemaran Membaca & Literasi.” 

Seminar digelar di Aula Perpustakaan Gorys Keraf pada 22 November, dengan menghadirkan para guru dari berbagai wilayah dan pejabat dinas pendidikan.

Berdasarkan Rapor Pendidikan tahun 2024, tingkat literasi di Lembata masih masuk kategori sedang, dimana untuk SD 65,42%, SMP 68, 81%, SMA 70% dan SMK 69%.

Hal ini berpengaruh pada Indeks Pembangunan Manusia [IPM] Lembata yang berada pada angka 66,62%, sedikit lebih rendah dari IPM NTT 66,68%. Capaian ini jauh bawah IPM Nasional 74,39%.

Pembicara utama dalam seminar itu, Emanuel Krova, berkata, kebiasaan berliterasi khususnya membaca memang “belum menjadi perilaku paradigmatik dan masih dianggap tidak penting oleh pemangku pendidikan di Lembata.”

Direktur Nimo Tafa Institut yang berfokus pada isu pembangunan ekonomi, sosial-politik dan budaya-sastra itu menjelaskan, banyak pemangku pendidikan tidak mendorong siswa “untuk menggandrungi buku sebagai dasar pembentukan kemampuan analitik dan sintetik.”

“Pola yang tidak dibiasakan itu mengakar kuat karena fungsi literasi tidak berjalan,” kata Eman.

Hal ini, kata dia, kemudian berpengaruh terhadap ketidakmampuan siswa membaca angka atau teks bacaan yang menuntut analisis, logika, dan pemahaman mendalam.

“Karena membaca tidak dibiasakan, maka sulit bagi kita temukan anak-anak yang kritis atau menyampaikan critical thinking tentang apa yang mereka lihat atau alami,” kata Eman. 

Krisis berpikir kritis, katanya, ikut berpengaruh terhadap indeks kemampuan literasi dan numerasi siswa.

Berdasarkan Rapor Pendidikan NTT tahun 2023, kemampuan literasi dan numerasi siswa di sekolah tergolong rendah, yaitu 50% persen sehingga masuk kategori kurang. Data itu berdasarkan asesmen terhadap 33.433 siswa, 733 kepala sekolah, dan 20.214 guru dari total 869 SMA di seluruh kabupaten.

Untuk mengentaskan persoalan pendidikan ini, menurut Eman, kebiasaan membaca mesti mula-mula sebagai pola atau perilaku tumbuh dalam pikiran dan dibiasakan sejak dini pada level domestik, seperti di rumah.

“Kebiasan membaca tidak boleh dipandang sebagai hobi. Jika dijadikan kebiasaan dapat berkontribusi pada pembentukan nalar, mempertajam kemampuan analitis dan kritis, memperdalam cara pandang dan memperluas pemahaman,” katanya.

“Saya bisa katakan membaca adalah nyawa,” tambah Eman. 

Apa Pemicunya?

Albertus Muda, guru dari SMAN 2 Nubatukan, menyebut pemicu hal ini karena “sistem pendidikan belum bersinergi dengan baik.”

Ia berkata, pemangku pendidikan, terutama kepala sekolah dan guru masih memilih “balik badan” dan enggan bertanggung jawab membiasakan literasi membaca kepada siswa karena “berbenturan konsep.” 

“Ada kepala sekolah yang mau mendorong kegiatan literasi, tetapi tidak direspons baik oleh guru. Pun sebaliknya. Ini menjadi soal utama di sekolah-sekolah di Lembata,” kata Albertus. 

Padahal, kata dia, pembiasaan dari dua elemen pendidikan ini menjadi hal utama yang dapat memengaruhi sikap positif siswa di sekolah. 

“Untuk memutus persoalan itu perlu pendekatan yang partisipatif dan inklusif dari kedua pihak ini,” katanya kepada Floresa

Reneldis Lengari, guru di SMA Frater Don Bosco Lewoleba, menambahkan, “sistem pendidikan yang belum sinergis” berpengaruh terhadap instruksi, tindak lanjut dan kontrol dari sekolah. 

Menurutnya, kata kunci perbaikan diwujudkan melalui kegiatan yang kolaboratif antara pemangku pendidikan, sebagai “daya cipta yang bertujuan mendorong minat literasi membaca warga sekolah.” 

Namun, dalam konteks yang luas, kata Reneldis, literasi tidak hanya melulu tentang membaca, tetapi mendorong siswa supaya berkembang.

Misalnya, dengan “mengadakan kegiatan lomba-lomba seperti pidato, debat, drama,” katanya.

Sementara itu, Kepala Sekolah Dasar Negeri Bakalerek, Kecamatan Nubatukan, Maria Siba mengkhawatirkan akar persoalannya karena “para siswa tidak serius menekuni kebiasaan membaca,” termasuk  memanfaatkan buku-buku di perpustakaan.”

“Minat membaca siswa semakin menurun, tidak hanya di rumah, tetapi juga di sekolah,” kata Maria.

Mengurai ini, kata dia, perlu kerja sama berbagai pemangku pendidikan yang mencakup kepala sekolah, guru, orang tua, serta masyarakat yang memang punya niat untuk menggerakkan literasi.

Ia mencontohkan praktik di sekolahnya, dengan menciptakan pojok baca di setiap kelas.

Sementara, Kepala Bidang Pendidikan SMP Dinas Pendidikan Lembata, Ignasius Dewantoro mengatakan upaya mengembangkan literasi membaca di Lembata memang terkendala, di mana lebih banyak siswa yang lebih suka menonton hingga berjam-jam.”

Hal ini, kata dia, berpengaruh pada minat belajar, diskusi, dan semangat untuk mencari pengetahuan lewat membaca buku.”

Upaya Bersama Guru

Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Lembata, Anselmus Asan Ola berkata, membiasakan siswa membaca pada tingkat SD hingga SMA/SMK adalah tanggung jawab semua pihak, baik sekolah maupun keluarga.

Ia menjelaskan, dinasnya telah mengadakan kegiatan yang bertujuan menumbuhkembangkan semangat berliterasi bagi siswa di Lembata.

“Gerakan Perpustakaan Gorys Keraf Goes To School adalah salah satu program yang sasarannya mengentas persoalan literasi membaca di sekolah-sekolah se-Kabupaten Lembata,” kata Ansel.

Berdasarkan data Perpustakaan Daerah Gorys Keraf, total peminjam buku dari bulan Januari-November tahun 2024 sebanyak 1.727 orang. Dari total 300.000 judul buku, 2.498 buku bacaan yang dipinjam. Anggota tetap perpustakaan mencapai 701 orang dan total pengunjung 4.161 orang. 

Namun, Ansel tidak menampik bahwa upaya lembaganya itu masih jauh dari kata tuntas.

Karena itu, ia mengharapkan agar pihak lainnya turut berpartisipasi memberi edukasi mengenai pentingnya literasi.

Ansel mendorong para tenaga pendidik untuk berpartisipasi mengeliminasi kebiasaan tidak membaca buku dengan mula-mula memperbaikinya dari rumah dan berlanjut di sekolah.

“Kami sudah mendorong sekolah-sekolah untuk membiasakan membaca 15 menit sebelum memulai pembelajaran,” kata Ansel.

“Sekarang kita sama-sama mengupayakan perbaikan, meski usaha yang dilalui akan mendapat tantangan.”

Para peserta seminar bersepakat untuk membentuk sebuah forum yang fokusnya memperbaiki budaya literasi di Kabupaten Lembata.

“Saya tidak bisa berjalan sendiri dan membutuhkan bimbingan, masukan, dan perbaikan dari para tenaga pendidik,” kata Ansel.

Sementara itu, Koordinator Pengawas SMA-SMK Kabupaten Lembata, Yohanes Mamun berkata, guna meningkatkan literasi membaca siswa, guru harus merangsang melalui pembelajaran yang menantang.

Ia juga mengharapkan mereka memberi tugas-tugas yang mensyaratkan “referensi-referensi yang hanya bisa didapat melalui aktivitas membaca di perpustakaan.”

Editor: Petrus Dabu

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya