Sejarah merupakan salah satu mata pelajaran terpenting di sekolah-sekolah.
Sejarah turut melekatkan identitas pada murid, yang diharapkan dapat memperkuat penghormatan akan asal-usul dan, kelak, mendorong mereka berkontribusi demi kemajuan komunitasnya.
Acapkali berdaya cipta memberikan tujuan akan masa depan seorang murid, pemberian materi sejarah seringkali menuai tantangan bagi guru.
Bila guru tak secara maksimal mengelola tantangan itu, mungkin sekali berdampak pada respons murid dalam mempelajari sejarah.
Sebagai pengajar, saya mengidentifikasi dua tantangan utama selama membagikan materi sejarah dalam kelas-kelas.
Pertama, materi sejarah belum mengoptimakan materi yang bersifat kontekstual dan dekat dengan peserta didik.
Kedua, adanya anggapan sejarah sebagai pelajaran yang kurang memberikan nilai praktis kepada peserta didik karena hanya berisikan kisah-kisah masa lalu.
Selama ini implementasi Kurikulum Merdeka digadang-gadang sebagai solusi terhadap permasalahan pembelajaran sejarah.
Kurikulum Merdeka dinilai turut memberikan keleluasaan bagi para guru guna menghadirkan cerita sejarah yang lebih kontekstual, juga pemberian materi yang memiliki kegunaan praktis.
Kontekstualisasi itu mewujud lewat penceritaan kembali fakta-fakta historis setempat. Cara ini diharapkan dapat memudahkan peserta didik memahami makna di balik setiap peristiwa sejarah, termasuk terkait isu sosial yang relevan dengan masa kini.
Realitanya, setiap daerah memiliki kisah masa lalu yang beragam, kendati terdapat irisan-irisan dalam satu pembabakan menurut zaman, atau yang dalam konteks sejarah dikenal sebagai periodisasi.
Nusa Tenggara Timur [NTT] merupakan salah satu provinsi yang kaya akan sejarah. Kisah masa lalu NTT terkandung dalam setiap periodisasi sejarah nasional.
Sayangnya, penulis merasa kekayaan sejarah NTT belum secara optimal tereksplorasi dalam kegiatan belajar-mengajar.
Guna memperluas khazanah sejarah NTT dalam kelas-kelas, penulis mengusulkan beberapa alternatif materi berdasarkan periodisasi yang dapat dimanfaatkan sesama guru sejarah.
Praaksara
Dalam zaman praaksara atau nirleka, manusia belum mengenal tulisan. Mereka hanya mengandalkan sisa-sisa fosil guna mempelajari kehidupan.
NTT merupakan laboratorium hidup masa nirleka di Indonesia. Mengacu pada persebaran hasil kebudayaan, zaman nirleka di NTT diprediksi bermula pada zaman batu baru [neolitikum].
Neolitikum ditandai manusia yang mulai menanggalkan cara hidup berpindah-pindah [nomad]. Mereka mulai menetap di suatu tempat dan menenuhi kebutuhan sehari-hari lewat bercocok tanam.
Periode praaksara di NTT berlanjut pada zaman batu besar [megalitikum] dan zaman logam [perundagian].
Peninggalan zaman logam ditandai dengan temuan moko–suatu alat yang terbuat dari perunggu–di Pulau Alor.
Menurut sejumlah penelitian arkeologi, moko dahulu digunakan sebagai belis serta alat tukar.
Kerajaan Hindu-Buddha
Warga di pelbagai pulau di NTT mengenal beberapa legenda tentang pembentukan hunian serta komune mereka.
Legenda itu diwariskan secara lisan ke keturunan mereka, yang salah satunya berkisah tentang perluasan kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Berangkat dari Luwuk-Belu, Sulawesi Tengah, armada Majapahit melaut hingga Halmahera, Maluku Utara.
Dari Halmahera, armada yang dipimpin Patih Gajah Mada itu lalu memutar haluan ke NTT, singgah ke beberapa pulau kecil di sana.
Leluhur di beberapa pulau di NTT mewariskan cerita persinggahan armada Majapahit melalui syair asal-usul, yang dinyanyikan dalam upacara-upacara adat setempat.
Kerajaan Islam
Peristiwa dalam periodisasi kerajaan Islam dapat digunakan sebagai ujung tombak pembelajaran sejarah NTT.
Keberadaan situs Menanga, Pulau Solor, menjadi salah satu jejak sejarah yang dapat dieksplorasi untuk menggambarkan penyebaran agama Islam.
Penyebarannya disusul pembentukan kerajaan Islam di Lohayong [Solor], Lamahala [Adonara], Lamakera dan Labala [Lembata].
Kedatangan Bangsa Barat
Pada 1511, Laksamana Portugis, Afonso—yang kerap dieja Alfonso—de Albuquerque berangkat ke Malaka. Dari sana, ia mengirim armada laut di bawah pimpinan Antonio de Abreu menuju timur Indonesia.
Berlayar menyusuri pantai utara Laut Jawa, de Abreu berharap menemukan kebun rempah-rempah; sebanyak-banyak dan semurah-murahnya.
De Abreu bersama awak tiga kapalnya mula-mula tiba di Pulau Solor, NTT. Solor dipilih sebagai markas pertama di NTT lantaran terlindungi selat di semua sisinya.
Bagi Portugis, selat-selat pengitar Solor akan mempersulit siapapun yang mereka anggap musuh untuk mendekat.
Di Lohayong, ujung timur Solor, Portugis mendirikan benteng yang kemudian dinamai Port Henricus XVII. Pertahanannya turut diperkuat Kesatria Perang Salib.
Kekuasaan Portugis tak bertahan lama di Solor. Pedagang setempat serta anggota misionaris Katolik dari Portugis berkali-kali bentrok.
Belanda kemudian datang, merebut semua sumber daya Solor.
Port Henricus XVII ditinggalkan. Portugis minggat ke Larantuka, Flores Timur, sebelum sempat berlayar lebih ke timur.
Perlawanan Rakyat terhadap Kolonialisme
Periodisasi ini dapat diklasifikasi ke dalam tiga ruang peristiwa. Masing-masing perlawanan terhadap Belanda di Pulau Timor yang meliputi perang Bapolo, perang Kalbano dan perang Niki-Niki; di Pulau Flores yang meliputi perlawanan di Desa Lewokluok, Desa Lewotala dan Desa Leworok; di Sabu [perlawanan Mahera] dan Rote [perlawanan Termanu].
Pergerakan Nasional
Sejarah mencatat, NTT memiliki banyak kelompok pergerakan, seperti Timorsch Verbond, Perserikatan Timor, Kerapatan Timor Evolutie, Timorsche Jongeren, dan Perserikatan Kebangsaan Timor yang mewarnai periodisasi pergerakan nasional.
Kependudukan Jepang
Penguasaan Jepang di Pulau Timor selama masa Perang Dunia II tidak hanya mengasah pengetahuan murid tentang sejarah nasional, melainkan juga sejarah dunia.
Selain itu, penceritaan atau kunjungan ke peninggalan gua-gua pertahanan Jepang di Pulau Timor dapat membantu murid memahami peristiwa secara lebih holistik.
Kemerdekaan Indonesia
Materi tentang dinamika NTT pascakemerdekaan Indonesia, seperti kembalinya NTT menjadi wilayah Karesidenan Timor, terbentuknya Negara Indonesia Timor yang kemudian menginginkan peleburan dengan Republik Indonesia Serikat, hingga terbentuknya Daerah Tingkat I NTT dapat menjadi alternatif materi.
Pascakemerdekaan
Pada periodisasi ini materi yang dapat digunakan adalah integrasi Timor Timur ke Indonesia, diikuti jajak pendapat dan kemerdekaan Timor Leste.
Mengacu pada sejumlah alternatif materi itu, penulis berharap rekan-rekan guru sejarah dapat berperan sebagai agen pemersatu, menyadarkan generasi muda akan perjalanan sejarah NTT yang melibatkan pelbagai komunitas dari pelbagai latar belakang.
Karakteristik sejarah yang melibatkan tiga dimensi waktu–masa lalu, masa kini dan masa depan–diharapkan dapat menjadi simpul yang mengasah kepekaan murid akan isu-isu sosial yang menyertai setiap periodenya.
Sebagai guru, penulis berharap pendalaman kepekaan murid akan sejarah NTT akan pula memperkuat kebanggaan terhadap budaya yang meluas jadi kebanggaan akan Indonesia.
Dhila Joned merupakan guru mata pelajaran sejarah di SMA Negeri 1 Rote Timur, Rote Ndao, Pulau Rote.
Editor: Anastasia Ika