Dampak Gastro-kolonialisme terhadap Kehidupan Warga Adat Papua: Apa yang Mesti Diperjuangkan?

Masyarakat mulai kehilangan akses terhadap tanah dan berpotensi menghadapi gerusan budaya

Gastro-kolonialisme dicetuskan Craig Santos Perez, seorang peneliti dari komunitas adat Chamoru di Guam, suatu pulau di barat Samudra Pasifik.

Craig Santos Perez menggunakan istilah itu untuk menggambarkan dampak impor pangan oleh konglomerasi multinasional terhadap pangan dan kesehatan masyarakat adat di Guam.

Impor didominasi produk pangan dalam kemasan, yang pada akhirnya menggantikan peran makanan tradisional yang lebih bergizi.

Tak selesai di situ, gastro-kolonialisme akhirnya berdampak pada akses kepemilikan tanah.

Akses masyarakat terhadap tanah lamat-lamat menghilang, seiring alih fungsinya menjadi lahan tanam pangan non-tradisional. Misalnya padi.

Lantaran kehilangan tanah, warga adat jadi tak bisa membudidayakan tanaman pangan tradisional.

Fenomena sosial itu turut berlangsung di Pulau Papua. 

Ahmad Arif dan Saiful Rijal Yunus, dua jurnalis Kompas penerima hibah peliputan dari Rainforest Journalism Fund–organisasi pendukung jurnalisme lingkungan yang berpayung Pulitzer Center–menemukan makanan pabrikan telah menyebar hingga pelosok Papua.

Makanan pabrikan, demikian temuan mereka “memberikan kemudahan bagi warga untuk mengelola dan mengonsumsinya.”

Stunting, Kurang Gizi

Sejumlah riset menemukan peralihan dari pangan tradisional ke makanan dalam kemasan memicu sejumlah gangguan fisik dalam komunitas adat. Termasuk obesitas dan diabetes.

Pada perempuan mengandung, bayi dan anak-anak, ancaman gangguan pertumbuhan [stunting] membayang-bayangi. 

Data Survei Status Gizi Indonesia yang diterbitkan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia pada 2022, atau tahun terakhir publikasinya, menyebutkan prevalensi stunting sebesar 34,6% di Provinsi Papua. 

Prevalensinya meningkat dari 29,5% pada setahun sebelumnya. Pertambahan tersebut juga menandai prevalensi tertinggi ketiga stunting berdasarkan provinsi.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat prevalensi balita kurang gizi berusia 0-59 bulan di Papua sebesar 12,8% pada 2017, naik dari 11,9% pada setahun sebelumnya.

Meski lebih rendah ketimbang beberapa provinsi lain–seperti Aceh, Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Timur–prevalensi balita kurang gizi di Papua mesti menjadi perhatian. 

Apalagi, belasan tahun mendatang balita-balita itu akan beranjak remaja, menjadi generasi penerus yang diharapkan turut sehat secara fisik.

Para calon generasi penerus itu pula yang diharapkan dapat melestarikan kebudayaan lokal. 

Namun, apa jadinya bila kebudayaan setempat terus-menerus tergerus karena kemudahan yang ditawarkan pangan pabrikan, yang tak berkesesuaian dengan nilai-nilai hidup warisan leluhur?

Inklusif dan Menyeluruh

Semakin kemari, kian sedikit anak muda yang meminati pengelolaan kebun secara tradisional yang turut ditanami tanaman-tanaman tradisional.

Salah satu pemicunya terkait dengan peralihan ke makanan pabrikan. 

Tingkat konsumsi masyarakat lokal terhadap bahan pangan setempat menurun, membuat anak muda enggan merawat lahan tanam tradisional. 

Kurangnya ketertarikan terhadap pangan mungkin sekali menimbulkan degradasi budaya.

Tata kelola lahan dengan pola kolektif kolegial yang menyusut membuat antarwarga tak lagi bertegur sapa, berdiskusi dan merancang suatu kegiatan bersama.

Bila dibiarkan, penulis menilai fenomena itu akan berpotensi meghilangkan identitas budaya sekaligus melemahkan kohesi sosial. 

Hari ini kita patut bertanya soal sejauh mana kebijakan pemerintah daerah mengelola dan mengatasi dampak negatif gastro-kolonialisme. 

Hak warga untuk hidup sejahtera mesti dipertegas dan diupayakan dengan adil tanpa mementingkan kelompok tertentu.

Provinsi Papua, yang dianugerahi dana otonomi khusus, semestinya dapat menyejahterakan warga.

Namun, bahkan hingga saat ini penulis beranggapan penyelenggaraan pemerintahan yang inklusif dan menyeluruh belum terjadi di Papua. 

Sumber daya alam dan kearifan lokal selayaknya diperjuangkan demi perbaikan kesehatan, pemulihan budaya dan kesejahteraan ekonomi warga Papua.

Joserizal A.H. Titit adalah Sekretaris Dewan Pimpinan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya