Kunci Keberhasilan Implementasi Kurikulum yang Benar-Benar Memerdekakan

Apa yang mesti dilakukan agar Kurikulum Merdeka yang fleksibel, ringkas dan sederhana bisa jadi kenyataan?

Pemberlakukan Kurikulum Merdeka merupakan kebijakan nasional di bidang pendidikan yang akhir-akhir ini menjadi perbincangan serius, tidak hanya di kalangan pelaku pendidikan tetapi juga bagi publik secara luas.

Ada berbagai macam pandangan terkait kurikulum ini, yang menurut saya sebagian besarnya mengarah pada kritikan karena tak lantas membawa kemerdekaan, terutama bagi pendidik dalam aktivitas pembelajaran di sekolah.

Padahal, sejak dipersiapkan pada 2020, Kurikulum Merdeka dijanjikan akan ‘berpihak pada guru atau pendidik’, dalam arti membantu guru keluar dari ‘perbudakan’ administratif yang terlampau banyak dan merepotkan.

Dari sisi siswa atau peserta didik, kebijakan baru ini paling besar berdampak dalam proses evaluasi hasil belajar, di mana Ujian Nasional ditiadakan. Penggantinya adalah asesmen yang lebih terukur dan tidak membuat siswa harus melalui rasa takut berlebihan ketika hendak lulus dari satuan pendidikan.

Saat ini, kritikan yang muncul terhadap kebijakan ini terutama terkait dengan implementasinya yang belum menyentuh tujuan pokok memerdekakan proses pendidikan, baik dari sisi guru maupun siswa.

Melalui artikel ini, penulis hendak mengetengahkan pandangan pribadi terkait bagaimana seharusnya sebuah kurikulum menjamin kemerdekaan, baik pelajar dalam belajar maupun pendidik dalam mengajar.

Ganti Menteri Ganti Kurikulum

Jika memperhatikan pengalaman kebijakan kurikulum nasional, kita akan menyaksikan perubahan yang terjadi setiap kali ada pergantian pemangku kekuasaan politik.

‘Ganti Menteri, Ganti Kurikulum’ adalah ungkapan yang sering muncul di lorong-lorong sekolah dan ruang publik lainnya.

Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi, sebab setiap orang yang menjadi pemangku kebijakan memiliki visi, misi dan tujuannya masing-masing, asal tetap berjalan dalam rel pendidikan untuk kemajuan bangsa.

Kurikulum 2004, misalnya, dengan nama yang terkenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi memadukan pengetahuan dan keterampilan, nilai serta kebiasaan berpikir dan bertindak, sebagai daya jualnya kala itu. 

Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Guru didorong untuk menggunakan metode, pendekatan, strategi, serta teknik yang bervariasi.  

Setelah itu, ada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006, yang masih siam dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi, tetapi dengan beberapa perubahan teknis berkaitan dengan standar isi, proses pencapaian dan teknik evaluasi pembelajaran. 

Kemudian, meluncur Kurikulum 2013 dengan teknik penilaian yang sangat banyak, menyita banyak waktu dan tenaga.

Meski demikian, dari sekian pergantian menteri dengan perubahan nama kurikulum, Indonesia tetap tercatat sebagai salah satu negara dengan tingkat literasi dan numerasi terendah di dunia dan kualitas pendidikan yang belum mapan.

Benarkah Fleksibel, Ringkas dan Sederhana?

Lantas, apakah Kurikulum Merdeka bisa menjadi ‘kurikulum keselamatan’ yang memerdekakan guru dan peserta didik? Atau, jangan-jangan kurikulum ini hanya menjadi ‘gagah-gagahan’ pejabat agar nantinya dikenang sebagai ‘penemu kurikulum merdeka’?

Jika dilihat dari konsepnya, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi menyatakan kurikulum ini memiliki ciri-ciri fleksibel, ringkas dan sederhana.

Tujuan dibuat fleksibel, ringkas dan sederhana adalah agar bangsa Indonesia bisa secepatnya mengatasi learning loss atau kondisi hilangnya pengetahuan dan keterampilan peserta didik, terutama karena Covid-19 beberapa tahun sebelumnya.

Konsep tersebut tentu saja merupakan hasil dari kajian ilmiah para pakar pendidikan. 

Namun, apakah implementasinya benar-benar fleksibel, ringkas dan sederhana? Mari kita diskusikan bersama.

Implementasi Kurikulum Merdeka yang mengutamakan kemerdekaan belajar dan mengajar pada dasarnya tetap bermuara pada peningkatan kualitas pembelajaran; Penguatan Profil Pelajar Pancasila, serta penyediaan ruang keleluasaan untuk guru dalam memilih perangkat ajar yang sesuai sampai pada penghapusan Ujian Nasional yang dianggap renta, diganti dengan Asesmen Nasional.

Atmosfer pembelajaran di sekolah dengan implementasi kurikulum ini sudah diterjemahkan berbeda-beda oleh satuan pendidikan baik tingkat dasar, menengah, maupun tingkat lanjut. 

Pertama, ada yang membuat dirinya merdeka dengan menelantarkan peserta didik untuk melakukan proyek tanpa pantauan langsung dan mengabaikan penilaian proses; ada juga yang meleluasakan peserta didik untuk menjadikan dirinya sebagai sumber belajar tanpa tindak lanjut dan evaluasi yang terukur dan akuntabel.

Kedua, Platform Merdeka Mengajar [PMM] yang wajib dikunjungi telah menyediakan ruang bagi guru untuk berbohong, yakni dengan mengunggah sesuatu yang telah diedit sedemikian rupa hingga tampil ‘glowing’ pada platform. PMM tetap membutuhkan mentor secara fisik selain kunjungan via internet yang seringkali lemot. 

Ketiga, selain PMM, Program Guru Penggerak juga merupakan loncatan yang [mungkin] terlalu tinggi tanpa melalui kajian analisis yang sempurna. 

Guru Penggerak telah menelantarkan peserta didik di rumahnya sendiri karena dituntut laporan kegiatan bergerak yang membuang banyak waktu, tenaga, uang, demi perolehan kredit program.

Hasilnya adalah siswa sulapan dengan nilai yang sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua, masyarakat, bangsa dan negara. Malah sebaliknya, semua lapisan dikibuli.  

Di sisi lain, Kurikulum Merdeka ini telah mempercepat laju digitalisasi pembelajaran walaupun belum merata, termasuk di NTT. Padahal, pendidik dituntut harus update, dinamis, dan selalu stand by untuk sinkron dengan laju perkembangan yang semakin pesat. 

Lalu menjadi pertanyaan, apakah hal-hal tersebut dapat membuktikan adanya kurikulum yang fleksibel, ringkas dan sederhana di tengah kondisi perbedaan dalam banyak hal di masing-masing daerah di Indonesia? 

Harapan Guru; Manajemen Jadi Kunci

Dikutip dari laman resmi Kemendikbud Ristek, kurikulum satuan pendidikan memuat seluruh rencana proses belajar yang diselenggarakan di satuan pendidikan dan sebagai acuan seluruh penyelenggaraan pembelajaran. 

Untuk menjadikannya bermakna, kurikulum  satuan pendidikan  dikembangkan dan dikelola dengan mengacu kepada struktur kurikulum dan standar yang ditetapkan oleh pemerintah  dan menyelaraskannya dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik, satuan pendidikan, dan daerah.

Hal senada telah digaungkan melalui Manajemen Berbasis Sekolah, yang menekankan otonomi dan dan fleksibilitas kepada sekolah dalam hal peningkatan mutu.

Keluwesan merujuk pada upaya mengelola dan memberdayakan sumber daya sekolah dengan optimal dan selalu bersifat dinamis, responsif, inovatif, kreatif, dan efektif sesuai dengan standar yang diharapkan.

Menurut saya, konsep-konsep ini tidak mustahil diimplementasikan di sekolah, tetapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan kondisi daerah.

Pertama, kunci keberhasilan implementasi kurikulum yang fleksibel, ringkas dan sederhana adalah manajemen yang bermutu, yang dipersiapkan dengan baik oleh lembaga pendidikan atau sekolah di bawah pimpinan seorang kepala sekolah.

Dengan manajemen yang baik, transparan dan akuntabel, implementasi yang berbeda-beda di setiap lembaga pendidikan bukanlah suatu keburukan, melainkan justeru menjadi hal yang direkomendasikan dalam Kurikulum Merdeka. Tujuannya adalah agar kurikulum tersebut benar-benar dapat menyentuh kebutuhan pembelajaran di kelas.

Kedua, dengan manajemen yang teratur itu, lembaga pendidikan dapat memberikan keleluasaan bagi pendidik dan peserta didik dalam pembelajaran.

Bagi pendidik, program-program pelatihan seperti Platform Merdeka Mengajar dan Program Guru Penggerak seharusnya diatur dengan manajemen yang baik agar menjadi ruang belajar yang nyaman dan tidak memberi beban berlebihan.

Dasarnya adalah, meskipun pendidik telah belajar dalam waktu yang lama, bahkan hingga S2 misalnya, dia tetap harus selalu belajar demi meningkatkan pengetahuan dan keterampilan atau skill.

Bagi peserta didik, kemerdekaan belajar tidak berarti “bebas merdeka tanpa kendali”.

Hemat saya, pengendalian pendidik terhadap peserta didik tidak dalam arti mengawasi setiap detik pergerakan siswa seperti aparat keamanan yang sedang menjaga pos perbatasan antarnegara. 

Jadi, paradigma pendidik sangat menentukan apakah program-program peningkatan kapasitas merupakan beban atau justeru menjadi berkah demi kemajuan proses pembelajaran di sekolah.

Harapan guru tentu bertumpu pada kerja sama semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, lembaga sekolah, pimpinan sekolah, termasuk siswa dan orang tua yang mendukung proses pendidikan yang bermutu.

Agar implementasi Kurikulum Merdeka benar-benar memerdekakan, pemerintah perlu menyediakan akses dan fasilitas yang memadai, sementara lembaga sekolah, pimpinan dan guru perlu memiliki paradigma yang terbuka dan orang tua siswa memberi dukungan yang positif.

Semuanya itu hanya mungkin terjadi jika manajemen kelembagaan sekolah berjalan secara teratur, terukur, transparan dan akuntabel.

Elisabeth Bamus adalah guru SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT

Editor: Anno Susabun

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya