Kampus di Indonesia Diterpa Skandal Gelar Guru Besar, Apa Kata Rektor IFTK Ledalero?

Integritas moral dan akademik lembaga pendidikan tinggi jadi rusak karena praktik jual beli gelar profesor

Floresa.co – Praktik manipulasi untuk meraih gelar guru besar di kampus di Indonesia yang baru-baru ini diungkap dalam liputan investigasi Majalah Tempo melahirkan keprihatinan dari kalangan akademisi.

Dalam sebuah pernyataan, lebih dari seribu akademisi Aliansi Akademisi Indonesia Peduli Integritas Akademik menyatakan, praktik curang ini “adalah suatu pelanggaran akademik yang serius yang bisa menjurus perbuatan melanggar hukum dan merugikan bangsa.”

Pernyataan itu yang ditandatangani oleh 1.180 akademisi dari 245 perguruan tinggi dan institusi akademis lainnya merespons investigasi Tempo baru-baru ini perihal sejumlah dosen yang menyuap penerbit jurnal akademik untuk mendapat poin sebagai syarat pengajuan gelar guru besar.

Majalah itu melaporkan bahwa 11 dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat di Provinsi Kalimantan Selatan diduga mengirimkan artikel ilmiah ke jurnal predator – merujuk ke jurnal yang kualitasnya diragukan karena tidak melalui proses peninjauan ilmiah.

Mereka disebut tidak bisa menunjukkan korespondensi dengan penerbit jurnal untuk membuktikan bahwa artikel ilmiah mereka sudah ditinjau.

Para dosen itu, berdasarkan laporan Tempo, diduga membayar antara  Rp70 juta – Rp135 juta kepada jurnal tersebut.

Kasus ini terjadi di tengah ambisi Universitas Lambung Mangkurat mencapai target 100 guru besar untuk menaikkan peringkat kampus dan mempercepat proses menjadi perguruan tinggi negeri.

Pastor Otto Gusti Madung, SVD, rektor Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero di Pulau Flores adalah salah satu dosen yang ikut meneken pernyataan bersama aliansi itu.

Ia berkata, “bangsa kita sedang menghadapi persoalan krisis moralitas dalam segala aspek” dan karena itu “pendidikan seharusnya menjadi panduan moral dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.”

“Urusan jual beli gelar profesor ini telah merusak integritas moral dan akademik lembaga pendidikan tinggi,” katanya kepada Floresa.

Karena itulah, kata Otto, “saya bersama rekan-rekan akademisi lainnya menentang dengan keras praktik tidak terpuji tersebut.”

Aliansi itu juga mengkritisi gejala semakin banyak pejabat dan politisi yang berminat dan dengan segala cara berjuang memperoleh gelar profesor.

“Hal ini dilakukan tanpa tujuan akademik yang jelas dan tanpa memahami dampak kerusakannya bagi dunia ilmu pengetahuan Indonesia,” kata mereka.

Otto berkata, “profesor adalah sebuah gelar akademik yang berpijak pada objektivitas dan kebenaran.”

“Obral profesor untuk para penguasa telah mencederai nilai-nilai objektivitas dan kebenaran yang dijunjung tinggi dalam ilmu pengetahuan,” tambahnya.

Aliansi itu mendesak pemerintah segera mencabut gelar profesor mereka yang terlibat praktik ini “berdasarkan investigasi yang dapat dipertanggungjawabkan.”

Aliansi juga mendesak agar “menghukum kelompok atau individu yang memiliki kepentingan dan mendapat keuntungan finansial maupun kekuasaan dari tindakan curang ini, termasuk agen jaringan penerbit jurnal predator internasional.”

“Kami menantikan langkah nyata dari pemerintah dalam merespon masalah amat serius ini dalam dunia pendidikan tinggi, yang sekaligus mencederai bangsa Indonesia,” kata mereka.

Selain itu, mereka mendesak agar civitas akademika perguruan tinggi tetap memegang teguh integritas dan etika akademik dalam mengupayakan capaian jenjang kepangkatan yang lebih tinggi, terutama guru besar.

Pemerintah juga diminta segera mencabut regulasi yang memudahkan seseorang yang tidak berprofesi sebagai pengajar di perguruan tinggi untuk mendapat gelar guru besar.

“Pemerintah [juga] segera melakukan reformasi manajemen dan proses pengelolaan kenaikan jenjang dosen, berdasarkan koreksi total atas segala kelemahan sistem yang selama ini dibiarkan,” kata aliansi.

Sementara itu, Rektor Universitas Lambung Mangkurat, Ahmad Alim Bahri, memastikan telah membentuk tim internal untuk menyelidiki kasus di kampusnya.

Sebagaimana dilansir BBC Indonesia, ia mengaku telah mendapat surat dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi [Kemdikbudristek] berisi “langkah-langkah yang harus kami ambil, termasuk membentuk tim ini.”

Direktur Sumber Daya Manusia Kemendikbudristek, Lukman berkata, status guru besar ke-11 dosen di Universitas Lambung Mangkurat sudah dicabut.

Namun, keputusan pencopotan mereka tidak dibuka ke publik “demi menjaga nama baik keluarga dan lingkungannya.”

Ia berkata, kementerian juga membentuk tim untuk menyelidiki pelanggaran etika oleh 11 dosen tersebut dan akan diberi sanksi.

Ini bukan kali pertama skandal akademik terjadi di lingkungan kampus di Indonesia.

Pada Mei, Kumba Digdowiseiso, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional, kampus berbasis di Jakarta, dipecat usai mencatut nama asisten profesor keuangan di Universitas Trengganu Malaysia, Safwan Mohd Nor dalam sejumlah artikel jurnalnya.

Padahal, Safwan mengaku sama sekali tidak mengenal Kumba.

Berdasarkan profil di Google Cendekia, Kumba telah mempublikasi 160 karya ilmiah selama 2024, hal yang memicu tanya tanya terkait benar tidaknya semua artikel itu sebagai karyanya sendiri.

 Editor: Herry Kabut

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya