Mengantisipasi Doping Politik dalam Pilkada 2024

Sikap kritis, skeptis dan selektif menjadi penting agar tidak menjadi korban doping politik

Baru-baru ini saya membaca buku Bukan Doping Politik: Sebuah Catatan tentang Pemilu. 

Buku ini merupakan kumpulan esai karya Paul Budi Kleden, yang kini menjadi Uskup Agung Ende.

Buku yang terbit pada 2013 itu menyajikan perspektif beliau tentang pemilu dengan argumentasi yang kritis dan komprehensif. 

Menurut saya, membaca buku ini relevan menjelang Pilkada di NTT. 

Ada satu esai menarik berjudul Doping Politik. Terminologi doping berasal dari dunia olahraga yang merujuk pada obat untuk meningkatkan prestasi atlet. 

Atlet yang menggunakan doping biasanya memiliki ambisi kemenangan tinggi, yang hanya dengan bantuan istimewa itu, atlet bersangkutan sanggup meraih prestasi sebagaimana para atlet lain yang hanya menggunakan kekuatan alamiah (hal.37). 

Salah satu cabang olahraga yang rentan terhadap doping adalah atletik. 

Kisah kemenangan Thomas Hick, atlet maraton Amerika Serikat pada 1904 bisa jadi satu contoh dari praktik penggunaan doping. 

Saat itu Thomas terlihat sempoyongan sepanjang berlari dan berpotensi untuk tidak menyelesaikan perlombaan. 

Asistennya lalu  mendoping Thomas lewat suntikan campuran Strikina dan alkohol jenis Brandi agar ia bisa melanjutkan perlombaan. Alhasi, Thomas memenangkan perlombaan. 

Atlet yang menggunakan doping kerap menjadi korban dari ambisi manajer, karena hanya dengan cara itu reputasi semakin tinggi dan mengantongi uang banyak. 

Dalam dunia olahraga, penggunaan doping tidak dibenarkan karena tidak menunjukan sportivitas atau tak ubahnya berlaku curang. Para atlet seharusnya menggunakan kemampuan alamiahnya. 

Doping Politik 

Doping tampak menjadi analogi yang bagus untuk menggambarkan realitas politik kontemporer di Indonesia, baik pada level nasional maupun lokal [hal. 38], terkhusus menjelang pilkada serentak pada 27 November 2024.

Dalam dunia politik, doping politik merujuk pada aneka akrobatik irasional elite politik, yang hanya dengan cara itu, dapat memenangkan pilkada.

Saat ini, suasana pilkada di NTT kian terasa karena sebentar lagi masyarakat akan kembali memilih gubernur dan wakil gubernur bersama bupati dan wakil bupati.

Safari politik mulai dilakukan. Spanduk bergambar wajah para kandidat mulai terpampang di tepi jalan guna mempromosikan citra diri kepada masyarakat. 

Selain itu, doping politik pun mulai digalakkan. Masyarakat didoping dengan uang, isu, dan kegiatan.

Uang diberikan kepada pribadi atau kelompok yang dikemas dalam berbagai judul. Ada bansos kepada keluarga-keluarga. Tidak sedikit pula dana disumbangkan bagi pembangunan rumah ibadat, sekolah dan lain sebagainya. 

Bahkan, peristiwa kecil seperti kematian dan pernikahan dijadikan momen untuk mendekati masyarakat. 

Pada titik ektrem, ada kandidat tertentu yang tidak lagi mengharamkan bahasa perang dan hasutan yang berpotensi membunuh karakter rival politik. Ujaran kebencian dan janji-janji manis mengudara. Itulah doping politik. 

Awasan 

Secara konseptual, demokrasi memungkinkan mekanisme transisi kekuasaan secara damai. 

Tuntutan etisnya adalah setiap kandidat mesti membawa bendera politik yang elegan, jujur, dan bijak agar tidak menghancurkan martabat demokrasi serta terciptanya anomali dan polarisasi. 

Doping politik mensinyalir lemahnya komitmen para kandidat pada martabat demokrasi. 

Karena itu, masyarakat NTT mesti menunjukan sikap pembelaan kukuh terhadap martabat demokrasi, termasuk menegasi doping politik agar pelaksanaan pilkada tidak menjadi norak, kotor dan memuakkan.

Tentu, masyarakat yang mati nalar kritis, sikap skeptis, dan selektif akan mudah terbuai oleh doping politik. 

Berhadapan dengan fakta patologis demikian, kita semua perlu membentengi diri agar tidak mudah terbuai oleh doping politik.

Caranya adalah dengan mengedepankan sikap kritis, skeptis dan selektif. Dengan demikian, kita tidak menjadi masyarakat yang mudah didoping, tapi dewasa dalam berdemokrasi [hal. 99].

Sikap kritis menolong masyarakat agar tidak mudah didoping. Kita perlu bertanya-tanya tentang slogan-slogan perubahan yang dijanjikan kandidat tertentu; apakah itu sungguh dilandaskan pada basis yang kuat?

Jangan sampai, uang, bansos, atau beragam sumbangan lainya sekadar mendoping kita agar menjatuhkan pilihan kepada mereka.

Sikap skeptis juga memungkinkan kita memfilter aneka informasi dari kandidat yang minim argumentasi. Kita mesti berani menggugat kebenaran dari klaim-klaim yang disampaikan oleh kandidat. 

Sikap selektif masyarakat memungkinkan kandidat busuk tidak sampai pada singgasana kekuasaan.

Kandidat yang kemudian terpilih adalah mereka yang mereka yang berintegritas, jujur, dapat dipercayai, tidak egois dan berwawasan luas.

Wilfridus Fon adalah mahasiswa Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero, Maumere

Editor: Ryan Dagur

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya