Floresa.co – Suatu siang di sela-sela perkuliahan, Abdulrahman Ramadhan, salah satu mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, di Jawa Timur terlihat cemas.
Pada 4 November, mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi itu mendapat kabar Gunung Lewotobi Laki-Laki yang terletak di tanah kelahirannya di Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT] mengalami erupsi.
“Bencana alam itu tidak hanya merusak berbagai fasilitas, tetapi juga menelan dan mengancam keselamatan warga Larantuka,” kata Abdulrahman.
Erupsi itu menewaskan sembilan orang yang umumnya akibat tertimpa batu berukuran besar dari semburan Lewotobi Laki-Laki.
Salah satu di antara korban adalah Suster Nikolin Padjo, SSpS, 59 tahun, yang meninggal ditimpa reruntuhan bangunan biara.
Saat mendengar kabar tentang peristiwa itu, Abdulrahman menjadi gelisah karena “tidak sedang berada di dekat keluarganya.”
Tak membutuhkan waktu lama bagi Abdulrahman untuk menghubungi keluarganya guna “memastikan keadaan mereka baik-baik.”
Dari seberang telepon, “saya mendengar suara mereka dan orang-orang yang ada di sana. Beruntung keluarga saya selamat,” katanya pada 13 November.
Abdulrahman berkata erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki mengganggu rutinitas warga di Larantuka, termasuk keluarganya.
Sehari-hari, kata dia, “keluarga saya mengolah lahan,” namun kini “terancam kehilangan mata pencaharian.”
“Saya begitu terpukul dengan musibah yang menimpa tanah kelahiran saya. Pekerjaan orang tua yang biasanya bergantung pada aktivitas di luar rumah menjadi terganggu,” kata lelaki 23 tahun itu.
Saat Abdulrahman mendengar kabar tentang bencana itu, bantuan dari luar belum sepenuhnya sampai di daerahnya.
Itulah mengapa, serupa halnya warga lain, keluarganya memutuskan evakuasi mandiri ke Kanada, Kecamatan Titehena, sekitar 50 kilometer dari Larantuka.
Sementara itu, ratusan warga lain di Flores Timur mengungsi ke beberapa posko di Kabupaten Sikka, terutama di Desa Hikong dan Kringa.
“Tenaga dari luar belum cukup untuk membantu evakuasi warga besar-besaran. Untungnya, mereka masih aman. Namun, saya tetap merasa khawatir dengan kondisi di sana,” katanya.
Merespons bencana itu, Abdulrahman bersama mahasiswa lain dari NTT yang berkuliah di Malang menggelar aksi “galang dana” pada 6-11 November di jalan Veteran, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
Mereka “turun ke jalan dan pergi ke tiap-tiap kos” untuk mengumpulkan sembako dan pakaian layak pakai, bentuk solidaritas bagi para korban erupsi.
Selain itu, para mahasiswa juga berinisiatif membeli beberapa barang kebutuhan di tenda-tenda pengungsian, di antaranya peralatan mandi, perlengkapan bagi bayi, perempuan dan lansia, serta kasur busa dan tikar.
Mereka juga membuka posko di sebuah rumah kontrakan di Kecamatan Lowokwaru untuk menampung berbagai donasi yang disumbang sejumlah organisasi mahasiswa.
Bantuan dari berbagai pihak memang mulai mengalir, kata Abdulrahman, “tetapi kondisi di sana masih memprihatinkan.”
Dari keluarganya, ia mendengar “banyak warga terpaksa tinggal di tenda-tenda pengungsian sementara yang tidak cukup memadai.”
Bahkan, kata keluarganya, “sebagian warga belum mendapat tempat dan layanan pengungsian yang layak.”
Kekurangan layanan itu termasuk makanan bernutrisi, terutama sumber protein, serta penanganan medis dan penyediaan logistik lain.
Turut merasakan kesulitan mendalam yang dihadapi warga terdampak erupsi Lewotobi Laki-Laki, Abdulrahman berharap “pemerintah dan lembaga peduli kemanusiaan dapat bekerja sama,” cara yang menurutnya “dapat mempercepat pemenuhan kebutuhan dasar para pengungsi.”
Sejak 10 November, ratusan warga korban erupsi yang sebelumnya mengungsi ke beberapa posko di Kabupaten Sikka dievakuasi kembali ke Flores Timur.
Mereka ditempatkan di Desa Kobasoma dan Ile Gerong, Kecamatan Titehena. Kobasoma terletak di pantai utara kabupaten tersebut, berjarak sekitar 27 kilometer dari Lewotobi Laki-Laki, sedangkan Ile Gerong terpaut kira-kira 16 kilometer sebelah timur gunung api itu.
Mengikuti perkembangan erupsi Lewotobi Laki-Laki dari hari ke hari, Abdulrahman meyakini dampaknya “meninggalkan luka yang mendalam bagi warga, baik secara fisik maupun nonfisik.”
Pemulihan pascabencana, kata dia, “bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan karena membutuhkan waktu, tenaga, dan dukungan dari berbagai pihak.”
“Proses pemulihan memang tidak mudah, tetapi saya yakin dengan dukungan dari masyarakat dan pemerintah, Larantuka bisa bangkit lagi,” katanya.
Meskipun jauh dari tanah kelahiran, “kami tetap akan berusaha membantu dengan cara yang kami bisa.”
Sisanya, “saya menyerahkan semuanya kepada yang Maha Kuasa.” “Kami berdoa agar keluarga dan orang-orang di kampung selamat. Semoga Tuhan memberikan kekuatan dan kesabaran bagi mereka,” tambahnya.
Gunung Lain Naik Status
Lewotobi Laki-Laki erupsi besar pada Januari, yang mendorong pihak berwenang menaikkan statusnya ke “Waspada” dan mengevakuasi sedikitnya 2.000 penduduk.
Di tengah erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki, Badan Geologi mengumumkan peningkatan status dua gunung api lainnya di Flores, masing-masing Gunung Iya di Kabupaten Ende dan Gunung Rokatenda di Kabupaten Sikka.
Gunung Iya menunjukkan “peningkatan aktivitas serta adanya potensi ancaman bahaya” sehingga statusnya dinaikkan ke level ‘siaga,’ menurut badan tersebut.
Masyarakat pun diminta untuk tidak melakukan aktivitas di sekitar gunung api itu, baik di darat maupun di laut.
Sementara itu, Gunung Rokatenda mengalami peningkatan status dari level ‘normal’ ke level ‘waspada’ setelah dalam kurun waktu lebih dari sebulan terjadi beberapa kali gempa.
Karena itu, warga dan wisatawan diimbau tidak berkegiatan dalam radius dua kilometer dari puncak atau pusat aktivitas erupsi gunung itu.
Selain itu, warga diimbau untuk tidak berkegiatan di lembah-lembah atau sungai yang berhulu dari sekitar puncak atau kubah lava baru guna menghindari ancaman banjir lahar akibat hujan.
Laporan ditulis oleh Elista Fantura Jelita, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang
Editor: Herry Kabut