Floresa.co – Sudah lima hari Mona Aran sulit menelan makanan. Tenggorokannya sakit, hidungnya tersumbat, sementara demam sebentar-sebentar datang.
Ia sulit tidur malam sejak sepekan lalu tiba di tenda pengungsian di Desa Konga, Kecamatan Titehena, Flores Timur.
Selagi suhu menyusut dan angin menderu-deru di luar tenda, “kami harus berbaring di atas bentangan tikar tipis,” katanya.
Perempuan 42 tahun itu hanya membawa dua sarung dari pos pengungsian sebelumnya di Desa Riang Rita, Kecamatan Ilebura, Flores Timur.
Bersama sejumlah tetangga di Desa Nurabelen, Ile Bura, ia mengungsi ke Riang Rita pada 1 Januari, sebelum 14 hari kemudian berpindah ke Konga.
Kepindahannya ke Konga lantaran lahar dingin dari rekahan kawah Gunung Lewotobi Laki-laki ikut mengarah ke jalanan utama Riang Rita.
Berbekal hanya dua sarung, Mona harus bersiasat supaya tetap tidur pulas di pos pengungsian.
Sementara seringkali satu sarung bekalnya digunakan sebagai penyangga kepala saat berbaring, satu lagi sebagai selimut. Lantaran sarung itu tipis, acapkali membuatnya kedinginan hingga menggigil.
Kombinasi kurang tidur, beralaskan tikar dan berselimut sarung tipis itu “agaknya membuat badan saya jadi tidak sehat,” katanya pada 23 Januari.
Lima hari sebelum bertemu Floresa, ia sempat meminta obat ke posko kesehatan di dekat tendanya. Obat lalu diberikan sesudah ia lebih dulu diperiksa dokter.
Namun “hingga hari ini tak ada perubahan,” katanya, “flu saya tak juga sembuh.”
Di tenda pengungsiannya bertumpuk matras merah yang “diutamakan bagi balita dan lansia,” kata Mona.
Tetapi bahkan tidur beralas matras pun, “beberapa pengungsi anak mengidap batuk dan pilek,” tak terkecuali anaknya.
Tak Kunjung Sembuh
Gejala sakit yang sama juga dialami Maria Dona Tobi, pengungsi lansia asal Dusun Bawalatan, Desa Nawokote, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur.
Bertahan di pos pengungsian di halaman Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Wulanggitang, ia mengaku kerap “pilek, sakit tenggorokan dan sesak napas.”
Perempuan 67 tahun itu telah dua kali berobat ke pos kesehatan dalam area pengungsian, namun belum pulih juga.
Ditemani Simon Tobi, anak laki-lakinya yang berusia 26 tahun, ia kembali berobat pada 21 Januari.
“Saya sering kesulitan bernapas lantaran menghirup bau belerang yang tajam,” katanya kepada Floresa seusai diperiksa dokter.
Ditambah lagi, ia sempat tidur tanpa beralaskan apapun di atas lantai yang dingin pada awal tahun, ketika erupsi Lewotobi Laki-laki kian intens.
Saat itu ia sebetulnya sudah berada di pengungsian, “tetapi Simon tak sempat bawa tikar dari rumah.” Sementara pada masa awal erupsi Lewotobi Laki-laki yang bermula 1 Januari, “masih sangat minim fasilitas” di pos-pos pengungsian.
Simon bercerita ibunya juga sering terlambat makan yang tak jarang membuatnya mual.
Selain itu, “nasi yang kami makan agaknya belum begitu matang. Kalaupun mama memaksa makan, tak bisa banyak-banyak.”
Banyaknya keluhan fisik “membuat mama rindu pulang ke kampung,” kata Simon, “tapi belum bisa karena pemerintah masih larang.”
Tenda Padat, Mudah Tertular Penyakit
Robi Liwu, seorang tenaga kesehatan di pos pengungsian Wulanggitang mengatakan rata-rata pasien pengungsi “mengalami batuk, pilek dan radang tenggorokan”.
Mendata jenis keluhan fisik para pengungsi sejak awal tahun, “jumlahnya meningkat setiap hari.”
Selain karena terdampak abu vulkanis, kata dia, cuaca yang tidak stabil serta padatnya satu tenda pengungsian membuat “pengungsi gampang tertular.”
Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] per 24 Januari mencatat pengungsi dominan terserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut [ISPA], sebanyak 2.285 orang, disusul dermatitis 441 orang, nyeri otot 275 orang dan peradangan lambung 244 orang.
Hingga 24 Januari, jumlah pengungsi tercatat 6.303, yang berasal dari delapan desa terdampak. Dari jumlah itu, 2.565 menetap di posko pengungsian, 3.677 di rumah warga dan 60 di fasilitas umum.
Aktivitas Lewotobi Laki-laki meningkat sejak pertengahan bulan lalu, dengan erupsi pertama terjadi pada 1 Januari dini hari.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menaikkan status peringatan menjadi “Awas” [Level IV, tertinggi] pada 9 Januari, menyusul erupsi lanjutan.
Berturut-turut sesudahnya, lembaga itu melarang warga beraktivitas dalam radius tiga kilometer, lalu diperluas menjadi lima kilometer.