Floresa.co – Jerami menjejali permukaan lantai sebuah pos pengungsian di Desa Konga, Kecamatan Titehena, Flores Timur.
Sejumlah terpal membentang di atasnya, peraduan bagi 68 pengungsi terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki.
Sehari-hari sejak 1 Januari, pengungsi di sana lebih banyak duduk-duduk atau berbaring, sembari saling tukar cerita di posko bekas bangunan Balai Pertanian itu.
Angin bertiup dari segala arah, lantaran bangunan itu sama sekali tak bertembok.
Dikelilingi persawahan, pos pengungsian itu tampak “hidup” menjelang siang. Itulah saat mama-mama mulai memasak.
Sementara pengungsi anak, yang hingga 11 Januari belum kembali bersekolah, bermain bingo dan tebak-tebakan.
Namun, keceriaan yang tergambar menjelang siang di sana tak selamanya berlaku untuk semua pengungsi.
Di salah satu sudut pos itu, Sisilia Bunga Kedang tengah merawat cucunya yang sakit sejak erupsi pada malam pergantian tahun. Mereka berasal dari Desa Nobo, sekitar sembilan kilometer dari Konga.
“Saya ingat tengah malam itu Nota sedang demam tinggi karena terkena cacar air,” kata Sisilia menceritakan cucunya, Sisilia Nota Bita yang berusia hampir tiga tahun.
Selagi warga di kampung mulai mengungsi, ia masih menimbang-nimbang: “Sebaiknya pergi sekarang atau esok?”
Kalaupun menunggu truk-truk melewati jalanan kampung untuk kemudian mengangkut serta warga, “saya khawatir demam Nota bertambah parah.”
Apalagi, kata dia, tengah malam itu suhu “sedang begitu dingin.”
Sisilia dan suaminya baru membawa Nota mengungsi pada 1 Januari siang.
“Hanya kami yang ia [Nota] miliki,” kata nenek 53 tahun itu, “ayah dan ibunya merantau bekerja ke Pulau Kalimantan.”
Sehari bertahan di pos pengungsian “anak-anak dari Relawan Indonesia Bangkit dan pemerintah mendatangkan dokter dan petugas kesehatan lain.”
Nota kini mulai pulih. Demamnya tak lagi tinggi. Ia lelap dalam gendongan sang nenek.
Saling Bantu
Anggota komunitas Relawan Indonesia Bangkit datang ke pos pengungsian Desa Konga pada 2 Januari. Mula-mula mereka mendata setiap pengungsi, sebelum menyalurkan bantuan pada sehari berikutnya.
Mereka juga membangun dapur umum yang melibatkan pengungsi turut memasak serta mengirim makanan ke pos-pos pengungsian terdekat.
Theresia Nogo Kebelen, seorang pengungsi di sana, mengaku “senang dapat membantu memasak.”
Tatkala mama-mama mempersiapkan bahan-bahan masakan, “anak-anak bantu cari kayu bakar.”
Paskal Boleng, seorang koordinator Relawan Indonesia Bangkit mengatakan upaya pendirian dapur umum “merupakan cara kami menjawab keluhan para pengungsi.”
Keluhan yang kerap disampaikan pengungsi, kata laki-laki 28 tahun itu “terkait lambatnya pengiriman makanan.”
Ia menduga kelambanan distribusi makanan terjadi karena “pengungsi yang terus bertambah.”
Gerakan komunitasnya didengar sejumlah perkumpulan orang muda di sekitar pos pengungsian, seperti Orang Muda Katolik St. Yosef Kanada, juga pelajar SMAN 1 Titehena.
“Setiap hari pasti selalu ada orang baru yang dengan sukarela membantu,” katanya, “kami merasa terbantu.”
Jumlah pengungsi kini terus bertambah. Per 11 Januari sudah mencapai 5.529 jiwa.
Anselmus Bobyson Lamanepa, petugas Pos Pengamatan Gunung Lewotobi Laki-laki mengimbau masyarakat di sekitar agar tidak beraktivitas dalam radius empat kilometer dari rekahan kawah.
Ia meminta warga “mewapadai potensi banjir lahar dingin dari sungai-sungai yang berhulu di puncak gunung itu.” Peringatan kian intens bersamaan hujan yang kian kerap mengguyur Flores Timur.
Aktivitas vulkanis gunung Lewotobi Laki-laki menguat sejak pemerintah menetapkan status peringatan “Waspada” pada 12 Desember 2023.
Usai erupsi pada 1 Januari, pemerintah menaikkan statusnya menjadi “Siaga.” Pemerintah kembali menaikkannya ke level tertinggi, “Awas” pada 9 Januari.