Tanggal 18 Oktober diperingati sebagai Hari Perpustakaan Sekolah Internasional. Perayaan ini menyiratkan peran penting perpustakaan dalam membangun budaya membaca, terutama bagi warga sekolah.
Agar tidak hanya menjadi ritual tahunan semata, momen ini menjadi penting untuk melihat seperti apa kondisi dan meneropong sejauh mana peran perpustakaan sekolah dalam membangun budaya membaca sehingga tercipta kecakapan membaca.
Membaca adalah adalah kegiatan atau proses untuk menemukan informasi-informasi dalam sebuah tulisan sebagai pengetahuan. Kecakapan membaca berkaitan dengan kemampuan memahami bacaan, memaknai informasi secara kritis dan menggunakan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan kualitas hidup.
Kecakapan membaca dan literasi membaca merupakan dua hal yang berkaitan. Namun, literasi membaca memiliki cakupan yang lebih luas. Literasi tidak hanya sekadar membaca, tetapi juga menulis dan berbagai keterampilan lain yang diperlukan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan informasi.
Literasi membaca adalah kecakapan hidup. Sebagai kecakapan hidup, literasi membaca merupakan tuntutan penting pada abad ini yang ditandai dengan disrupsi, efek dari perkembangan pesat dunia digital.
Artikel ini akan secara berturut-turut mengulas tentang rendahnya literasi membaca, termasuk di NTT, pentingnya perpustakaan sekolah dalam mendukung peningkatan literasi membaca dan langkah-langkah praktis yang bisa dilakukan untuk transformasi perpustakaan.
Rendahnya Literasi Membaca
Dalam banyak survei, ditemukan gairah membaca kita yang masih rendah, yang berdampak pada krisis literasi membaca.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO melaporkan bahwa minat membaca di Indonesia adalah 0,001%. Artinya dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang memiliki minat membaca.
Pada 15 Oktober 2024, Kompas.id mengutip Provincial Manager Inovasi NTT Hironimus Sugi yang menjelaskan rendahnya kemampuan membaca di tingkat dasar dan terbawa hingga ke pendidikan tinggi. Ada mahasiswa yang belum lancar membaca sehinga pihak kampus memberikan perlakuan khusus.
Laporan tersebut mengafirmasi fakta yang saya temukan di sekolah. Di tingkat SMP pun, masih ada siswa yang belum lancar membaca. Belum lagi bicara soal pemahaman atas bacaan, seperti ide pokok dan atau pesan dari bacaan yang dibaca.
Jeanne S. Chall, dalam bukunya Stage of Reading Development [1983], menyatakan, ketika secara biologis kita sudah berusia di atas sebelas tahun, kemampuan membaca seharusnya berada pada level reading for learning the new. Level ini berarti sudah lancar membaca dan tujuan membaca adalah untuk mendapat pengetahuan dan ide baru.
Namun, kita masih berkutat pada level initial reading or decoding, tahap belajar mengenal huruf dan bunyi. Padahal, level ini seharusnya sudah dikuasai pada usia 6-7 tahun.
Taufik Ismail pernah juga pernah menyororoti darurat literasi membaca, menyebutnya ”Tragedi Nol Buku.” Dalam penelitiannya tentang kewajiban membaca buku sastra di SMA di 13 negara, ia menemukan bahwa di negara lain ada kewajiban membaca buku dengan jumlah tertentu.
Hal ini kontras dengan di Indonesia, di mana tidak ada kewajiban bagi siswa yang menamatkan SMA untuk membaca buku.
Transformasi Perpustakaan Sekolah
Penanganan terhadap kondisi ini membutuhkan langkah serius.
Kecakapan membaca tidak tumbuh dengan sendiri. Hal ini ini harus diasah secara kontinu.
Darurat literasi membaca saat ini terjadi karena kita tidak melakukan upaya serius membangun budaya membaca anak.
Di sekolah, anak dibiarkan tumbuh tanpa kewajiban membaca buku. Di rumah, anak juga tidak diajak untuk mencintai buku. Mereka berkembang dalam iklim illiterate.
Karena itu, di sekolah, gerakan literasi sekolah sudah seharusnya lebih digencarkan.
Salah satu caranya adalah dengan mengoptimalkan peran perpustakaan sekolah.
Hal ini menjadi krusial karena sejauh ini perpustakaan belum dianggap penting dalam membangun budaya membaca siswa.
Perpustakaan belum difungsikan sebagai rumah, tempat aktivitas literasi siswa berlangsung. Perpustakaan sekolah kadang hanya dianggap sebagai fasilitas penunjang akreditasi.
Padahal, saya yakin, perpustakaan sekolah bisa menyelamatkan anak-anak kita dari jurang keterpurukan berliterasi.
Tiga Langkah Pembenahan
Perpustakaan sekolah adalah jantung gerakan literasi sekolah, di mana seluruh kegiatan literasi di sekolah dipusatkan.
Perpustakaan tidak hanya sebagai gedung menyimpan buku, tetapi gudang ilmu pengetahuan. Mengunjungi perpustakaan berarti menemukan ilmu pengetahuan.
Sebagai gudang ilmu pengetahuan, optimalisasi perpustakaan adalah investasi penting dalam meningkatkan literasi membaca siswa di sekolah.
Ada setidaknya tiga langkah pembenahan untuk optimalisasi perpustakaan sekolah.
Pertama, pembenahan infrastruktur perpustakaan. Banyak sekolah belum memiliki gedung perpustakaan yang layak. Bahkan, ada sekolah yang tidak punya gedung perpustakaan.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sebagaimana dilansir Kompas.id pada 14 Oktober 2024 menunjukkan belum semua sekolah memiliki perpustakaan.
Pada tahun 2020, pada tingkat SD, hanya 115.215 dari 148.743 sekolah yang memiliki perpustakaan. Di tingkat SMP, dari 40.597 sekolah, ada 38.828 sekolah yang memiliki perpustakaan. Tingkat SMA satu-satunya jenjang yang surplus perpustakaan, yaitu 14.366 unit perpustakaan dari 13.865 sekolah. Sementara tingkat SMK, dari 14.078 sekolah, ada 13.528 unit perpustakaan.
Jumlah ini tidak semua dalam kondisi baik. Di tingkat SD, 41,51 % dalam kondisi baik, 58,46% rusak ringan, 0,02% rusak sedang, dan 0,01% rusak berat. Di tingkat SMP, 47,64% dalam kondisi baik, 52,29% rusak ringan, 0,05% rusak sedang, dan 0,02% rusak berat. Tingkat SMA, 54,49% dalam kondisi baik, 45,50% kondisi rusak ringan, dan 0,01% rusak sedang. Tingkat SMK, 53,60% kondisi baik, 46,38% rusak ringan, dan 0,02% rusak berat.
Kedua, bahan bacaan. Koleksi buku bacaan perpustakaan sekolah masih terbatas, baik dari sisi kuantitas maupun jenis bacaan.
Perpustakan sekolah lebih banyak diisi buku-buku mata pelajaran. Sementara koleksi buku bacaan umum yang sesuai minat baca siswa sangat minim.
Ketiga, pustakawan. Banyak sekolah tidak mempunyai pegawai yang andal mengelola perpustakaan.
Pengelolaan perpustakaan sekolah tidak ditangani oleh pustakawan yang terlatih.
Sebaliknya perpustakaan sekolah diurus oleh guru yang bukan merupakan pustakawan, hanya demi menambah jam mengajar yang kurang.
Demi mendukung gerakan literasi membaca, transformasi perpustakaan sekolah mutlak dilakukan. Kondisi yang menghambat peran perpustakaan sekolah dalam menumbuhkan budaya membaca harus segera diatasi.
Infrastruktur yang buruk, gedung yang tidak layak dan sarana pendukung yang tidak memadai mesti menjadi prioritas untuk pembenahan.
Agar aktivitas literasi membaca terus hidup, penting untuk menghadirkan pustakawan yang berkualifikasi dan kompeten. Dan tidak kalah penting, buku bacaan yang bermutu dan bervariasi sesuai minat baca siswa harus diperbanyak.
Untuk itu, alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah [BOS] harus diberi kelonggaran untuk membeli buku bacaan umum.
Perpustakaan perlu bertransformasi untuk menyesuaikan kebutuhan anak. Ciptakan desain dan tata ruang yang ramah anak sehingga perpustakaan menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi siswa.
Hadirkan beragam aktivitas yang menarik minat anak untuk mengunjungi perpustakaan.
Selain membaca, adakan juga aneka kegiatan lain seperti mendiskusikan buku, menggambar dan mewarnai.
Kita tentu tidak ingin kondisi darurat literasi terus mendera generasi muda. Karena itu agenda transformasi dan pembenahan perpustakaan sekolah tidak boleh ditawar-tawar lagi.
Perpustakaan sekolah tidak hanya ada dan dikelola dengan setengah hati hanya untuk mendongkrak nilai akreditasi sekolah dan demi mendapat tambahan jam mengajar yang kurang bagi guru yang menanganinya.
Sudah saatnya perpustakaan sekolah menghadirkan perubahan dan menciptakan inovasi di tengah perubahan zaman.
Dengan demikian, mimpi budaya membaca tumbuh dalam diri anak-anak benar-benar terwujud.
Editor: Ryan Dagur