Floresa.co- Front Mahasiswa Nasional [FMN], sebuah organisasi kemahasiswaan yang banyak terlibat dalam gerakan sosial menyoal ancaman terhadap kebebasan akademik dalam suatu diskusi publik, bagian dari peringatan Hari Pelajar Internasional atau International Student Day 2024.
Diskusi tersebut, yang berlangsung secara daring pada 16 November bertajuk “Anti-Fascista!, Membela Hak Mahasiswa dan Rakyat dari Kekerasan Negara”, menghadirkan empat mahasiswa sebagai pembicara, masing-masing dari FMN, Universitas Gadjah Mada [UGM] Yogyakarta, Universitas Airlangga [Unair] Surabaya, dan Universitas Indonesia.
Rikmadenda A. M., Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat FMN yang menjadi salah satu pembicara berkata “pembungkaman oleh negara terhadap kebebasan akademik turut menyulitkan pelajar dan mahasiswa dalam menyebarluaskan pengetahuan kepada masyarakat.”
Pembungkaman tersebut, kata dia, adalah bagian dari ancaman yang lebih besar, yakni fasisme atau ideologi negara otoritarian yang menutup ruang kebebasan berekspresi bagi warga.
Ia juga berkata “fasisme adalah bentuk kediktatoran yang reaktif terhadap perubahan,” menyinggung sikap pemerintah yang “alergi terhadap suara-suara kritis, terutama dari kalangan pelajar dan mahasiswa.”
Pembungkaman terhadap suara-suara kritis akhirnya memberikan keleluasaan bagi negara menggunakan cara-cara represif seperti intimidasi, kriminalisasi, hingga tindakan militer.
Rangkaian cara itu, katanya, dilakukan negara demi “menjaga kepentingan korporasi besar yang tidak dapat dipertahankan melalui mekanisme demokratis.”
Rikmadenda juga menyoroti mahalnya biaya pendidikan, terutama selama satu dekade kepemimpinan Presiden Joko Widodo, hal yang menurutnya merupakan “dampak liberalisasi dan privatisasi sektor pendidikan.”
Hal tersebut, kata dia, “mempersempit akses pendidikan bagi kelompok masyarakat kurang mampu.”
Ia juga berkata akses pendidikan yang merata dan jaminan pekerjaan bagi lulusan “harus menjadi salah satu prioritas utama guna menciptakan generasi muda yang kompetitif dan mandiri di masa depan.”
Antonella, pembicara lainnya yang juga asisten peneliti pada Center For Law and Social Justice Fakultas Hukum UGM mengatakan saat ini “pemerintah dan institusi pendidikan semakin represif terhadap kebebasan berpendapat di lingkungan kampus.”
“Berbagai upaya dilakukan untuk membungkam gerakan mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan rezim, termasuk melalui depolitisasi aktivitas mahasiswa,” katanya.
Padahal, kebebasan akademik “merupakan elemen penting dalam mewujudkan pendidikan tinggi yang bermutu dan berdampak pada kemajuan bangsa.”
“Fenomena seperti ini [pembungkaman] justru memicu kekhawatiran bahwa kampus, yang seharusnya menjadi ruang terbuka untuk berpikir kritis, semakin kehilangan peran sebagai tempat yang melindungi hak demokrasi mahasiswa,” katanya.
Antonella, yang juga anggota Badan Pekerja Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik [KIKA] mengatakan “tanpa kebebasan akademik, pendidikan tinggi kehilangan fungsinya sebagai ruang inovasi, kritik, dan pembaruan sosial.”
Sementara itu Dani Achmad, anggota Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unair menceritakan pengalaman saat kepengurusan organisasinya dibekukan beberapa waktu lalu.
BEM Fisip Unair menjadi sorotan publik pada bulan lalu setelah mengirimkan karangan bunga satire yang ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Karangan bunga tersebut, yang menampilkan wajah Presiden dan Wapres Prabowo-Gibran bertuliskan ‘Selamat atas dilantiknya Jenderal Bengis Pelanggar HAM dan Profesor IPK 2,3 sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang lahir dari rahim haram konstitusi.’
Aksi tersebut direspons rektor kampus dengan membekukan kepengurusan BEM Fisip Unair pada 25 Oktober. Keputusan dicabut kembali pada 28 Oktober setelah pengurus BEM menyepakati untuk “menggunakan kata-kata santun dalam menyampaikan kritik.”
Kampanye tersebut, kata Dani, tersebar luas dalam ruang-ruang media sosial seperti Instagram, X, dan WhatsApp.
Solidaritas Sebagai Kunci Perlawanan
Antonella berkata “tidak ada cara lain dalam melawan pembungkaman terhadap kebebasan akademik selain berjejaring dan bersuara dengan lantang secara radikal.”
“Mahasiswa perlu melibatkan banyak orang dalam perjuangan mereka, tetapi tetap menghormati kebebasan akademik,” katanya.
Artinya, kata dia, mahasiswa “harus menggunakan kemampuan mereka untuk mengajak dan mengorganisasikan gerakan, termasuk melalui diskusi ilmiah yang mendalam dan berbasis pengetahuan.”
Pembicara terakhir dalam diskusi tersebut, Wieldan Akbar yang juga mantan ketua Front Aksi Mahasiswa UI menjelaskan upaya perlawanan mahasiswa dan publik meluas ketika terjadi pembungkaman oleh rezim.
“Saat tekanan politik, intimidasi, teror, dan pembungkaman kebebasan sipil meningkat, mahasiswa dan masyarakat kerap bersatu menciptakan berbagai siasat perlawanan untuk menegakkan keadilan dan kebebasan”, katanya.
Modus pembungkaman yang sering terjadi, kata dia, “mulai dari kriminalisasi aktivis, pembatasan kebebasan berekspresi, hingga penggunaan aparat untuk meredam aksi protes.”
Ia berkata dalam kondisi tersebut, gerakan mahasiswa dan publik terus menunjukkan keberanian melalui strategi perlawanan yang inovatif dan terorganisasi.
“Solidaritas antara mahasiswa, pekerja, petani, dan komunitas masyarakat sipil menjadi fondasi utama,” katanya.
“Dengan membangun aliansi lintas sektor, gerakan ini memiliki kekuatan massa yang lebih besar untuk menghadapi represivitas.”
Kendati demikian, kata dia, perlu diakui bahwa “tantangan ke depan juga semakin kompleks, terutama dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan pengawasan negara menjadi lebih masif.”
Editor: Anno Susabun