Kemerdekaan merupakan kata yang memiliki makna mendalam dalam sejarah bangsa Indonesia.
Makna kemerdekaan pun membias dan merasuk ke berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Di era “Merdeka Belajar,” konsep kemerdekaan ini mendapat tempat baru yang diharapkan membawa angin segar bagi transformasi pendidikan di Indonesia.
Akan tetapi, sejauh mana kita benar-benar merdeka dalam belajar dan mengajar di tengah derasnya arus distraksi digital yang semakin tak terbendung ini?
Merdeka Belajar: Antara Idealisme dan Realitas
Program “Merdeka Belajar” yang digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bertujuan memberikan kebebasan kepada pendidik dan peserta didik dalam menentukan metode pembelajaran dan eksplorasi ilmu pengetahuan masing-masing individu.
Secara teori, ini adalah sebuah langkah maju yang mengakomodasi keberagaman latar belakang siswa dan memungkinkan mereka untuk mengembangkan potensi secara maksimal.
Namun, ada jurang yang cukup lebar antara gagasan ideal dengan realitas di lapangan.
Merdeka Belajar sering kali hanya menjadi jargon tanpa implementasi yang jelas.
Sekolah-sekolah di daerah terpencil masih bergelut dengan masalah infrastruktur dasar, seperti ketersediaan listrik dan akses internet.
Bagaimana mungkin kemerdekaan dalam belajar dapat tercapai jika akses terhadap sumber daya pendidikan masih sangat terbatas?
Di sini, kita melihat bahwa kebebasan tanpa didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai hanya menjadi ilusi.
Distraksi Digital: Musuh dalam Selimut Kemerdekaan Belajar
Tidak dapat dimungkiri bahwa era digital membawa banyak kemudahan dalam proses belajar dan mengajar. Akses terhadap informasi dan pengetahuan menjadi lebih mudah dan cepat.
Namun, di balik kemudahan ini, ada tantangan besar yang mengancam makna sejati dari kemerdekaan belajar, yaitu distraksi digital.
Distraksi secara sederhana dapat dipahami sebagai sesuatu hal yang mengalihkan perhatian [KBBI].
Dalam konteks digitalisasi, penggunaan gawai dan internet yang seharusnya menjadi alat pendukung pembelajaran, sering kali malah menjadi sumber distraksi yang mengalihkan fokus siswa dari tujuan utama belajar.
Berapa banyak siswa yang tergoda untuk membuka media sosial, bermain game online, atau menonton video YouTube saat seharusnya mereka belajar?
Bahkan, para guru pun tidak kebal dari gangguan ini. Banyak dari mereka yang terjebak dalam lautan informasi yang tidak relevan, yang justru mengurangi efektivitas pengajaran.
Ironisnya, kebebasan yang ditawarkan oleh Merdeka Belajar justru memperparah situasi ini.
Tanpa pengawasan dan disiplin yang ketat, kebebasan belajar bisa berakhir menjadi kebebasan untuk terganggu.
Alih-alih menjadi lebih mandiri, siswa justru kehilangan kendali atas waktu dan perhatian mereka, terjebak dalam lingkaran adiksi digital yang semakin sulit diatasi.
Dr. Larry Rosen, sebagaimana dikutip oleh Fildzah Rio menegaskan istilah-istilah khas, yang kemudian membuat manusia mudah mengalami distraksi digital.
Pertama, Fear Of Missing Out [FOMO] atau takut akan ketinggalan. Dalam hal ini, ketinggalan informasi dan perkembangan terbaru. Kedua, Fear of Being Offline [FOBO] atau takut ketika tidak terkoneksi secara daring. Ketiga, Nomophobia, takut kehilangan kontak pada ponsel.
Kecemasan-kecemasan tersebut, pada akhirnya akan melahirkan manusia-manusia yang mengalami penurunan produktivitas dan keterlibatan, baik di kantor maupun di rumah dan/atau di sekolah.
Dalam hal ini, Cliford Nass dari Universitas Stanford University pernah melakukan studi yang menunjukkan bahwa orang yang sudah terbiasa berkegiatan sambil tetap sibuk memperhatikan konten digital akan menjadi pribadi yang tidak fokus.
Ada kecenderungan mereka tidak memperhatikan, mengingat, dan mengatur tugasnya dengan baik, sebagaimana halnya orang yang tetap fokus pada satu hal di satu waktu.
Membangun Kemerdekaan yang Sesungguhnya
Kita perlu mengadakan pendekatan yang lebih holistik dan kritis, agar kemerdekaan dalam belajar dan mengajar di era Merdeka Belajar tidak sekadar menjadi mitos.
Pertama, infrastruktur pendidikan harus diperkuat. Kemerdekaan tanpa akses yang setara adalah sebuah kemunafikan. Pemerintah perlu memastikan bahwa semua sekolah, baik di kota maupun di desa, memiliki sarana yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar yang optimal.
Kedua, perlu ada pendidikan literasi digital yang lebih mendalam. Siswa dan guru harus diajarkan untuk menggunakan teknologi dengan bijak, mengenali distraksi digital dan mengembangkan disiplin diri yang kuat.
Tanpa ini, kebebasan yang ditawarkan oleh teknologi hanya akan menjadi pedang bermata dua, yang lebih banyak menimbulkan kerugian daripada manfaat.
Ketiga, melakukan detoks digital. Detoks digital bisa berarti waktu tanpa perangkat digital, seperti ponsel, komputer, dan sejenisnya.
Ini tentu hal yang sangat penting, mengingat penggunaan teknologi digital telah terbukti mengurangi kualitas tidur, menyebabkan ketegangan mata, dan meningkatkan terjadinya sakit kepala migrain.
Penelitian yang dirilis Everyday Health terhadap lebih dari 7.000 peserta menunjukkan bahwa sekitar 70% dari peserta yang menggunakan teknologi dengan layar telah mengalami ketegangan mata karena meningkatnya penggunaan perangkat teknologi berlayar.
Akhirnya, kita perlu kembali kepada makna sejati dari kemerdekaan itu sendiri.
Kemerdekaan bukan hanya soal kebebasan memilih, melainkan juga tanggung jawab, untuk membuat pilihan yang benar.
Dalam konteks pendidikan, kemerdekaan harus diimbangi dengan disiplin, tanggung jawab, dan kesadaran akan tujuan belajar yang sebenarnya.
Era Merdeka Belajar seharusnya menjadi momentum bagi kita semua, untuk merenungkan kembali makna dari kemerdekaan dalam belajar dan mengajar.
Jangan sampai kemerdekaan yang kita rayakan justru menjadi bumerang yang merusak masa depan generasi muda kita.
Tantangan distraksi digital adalah nyata, dan hanya dengan kesadaran kolektif serta tindakan nyata kita dapat mengatasinya, sehingga kemerdekaan dalam belajar benar-benar membawa kita menuju Indonesia yang lebih cerdas dan berdaya saing.
Marianus Jefrino adalah Staf Pengajar di Sekolah Regina Caeli, Bogor, Jawa Barat dan alumnus IFTK Ledalero, Maumere, Flores.
Editor: Ryan Dagur