Nobar Film Dokumenter terkait Serangan Umum 1 Maret 1949, Mahasiswa di Yogyakarta Tekankan Pentingnya Berjuang Lawan Penjajahan oleh Bangsa Sendiri

Secara fisik kita memang telah terbebas dari penjajahan, tetapi saat ini bangsa Indonesia masih mengalami penjajahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, kata para mahasiswa

Floresa.co – Salah satu organisasi mahasiswa di Yogyarta menggelar acara nonton bareng atau Nobar film dokumenter untuk memperingati peristiwa bersejarah “Serangan Umum 1 Maret,” di mana mereka merefleksikan pentingnya perjuangan melawan praktik penjajajan masa kini oleh bangsa sendiri.

Acara Nobar film berjudul “The Battle of Yogyakarta, Kisah di Balik Agresi Militer Belanda” itu diinisiasi Dewan Pengurus Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia [DPK GMNI] Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa [STPMD] “APMD.”

Digelar di Ruangan A15, STPMD “APMD,” acara ini dihadiri puluhan peserta, baik kader maupun calon kader GMNI.

Serangan Umum yang terjadi pada 1 Maret 1949 merupakan peristiwa ketika Tentara Nasional Indonesia dan rakyat secara serentak menyerang pasukan Belanda yang berusaha menduduki ibu kota negara.  Saat itu, ibu kota negara bertempat di Yogyakarta akibat situasi yang tidak kondusif kondisi di Jakarta.

Usai menonton, setiap peserta diberi kesempatan untuk merefleksikan peristiwa serangan itu serta memberi kesan dan pesan atas film itu. 

Sesi ini dipandu Mey Novianty Mauw dan dipantik oleh Haris Mandala.

Haris mengatakan kegiatan itu bertujuan untuk merefleksikan semangat perjuangan pendiri bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. 

Meskipun secara de facto, Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, namun, kata dia, Belanda masih berusaha menguasai kembali Indonesia dengan melakukan agresi militer.

“Semangat patriotisme dan nasionalisme dari para pendiri bangsa patut kita teladani sebagai generasi muda,” ungkapnya. 

Ia mengatakan secara fisik, kita memang telah terbebas dari penjajahan, tetapi saat ini bangsa Indonesia masih mengalami penjajahan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang ia sebut “neo-kolonialisme atau penjajahan gaya baru dalam banyak sektor.”

“Tugas kita adalah mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif dan terus mempertahankan kemerdekaan dari berbagai tantangan, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam bangsa Indonesia itu sendiri,” katanya.

Kepada peserta, James Roberto, Komisaris DPK GMNI STPMD APMD, mengulang kata-kata Soekarno, “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu jauh lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri’.

Ia mengatakan melalui pernyataan Soekarno ini, “kita menyadari bahwa perjuangan melawan penjajahan belum selesai.” 

Para pahlawan kemerdekaan, kata dia, memang sudah berjuang mengusir penjajah, tetapi, itu bukan berarti “perjuangan berhenti di situ.”

“Saat ini, kita pun masih berjuang melawan berbagai bentuk penindasan dan eksploitasi yang sering menimpa masyarakat kecil,” ungkapnya.

Joze Titit, Sekretaris Komisariat GMNI APMD, menekankan pentingnya persatuan dan kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Tanpa persatuan dan kesatuan, kata dia, “kemerdekaan akan sulit diraih.” 

Ia mengatakan Soekarno telah menegaskan bahwa dalam memulai revolusi, terlebih dahulu ciptakan persatuan, karena dalam persatuan terciptalah kemerdekaan.

“Persatuan dan kesatuan adalah kunci agar Indonesia menjadi bangsa yang berdaulat dan bermartabat. Jika bangsa ini masih terpecah belah, maka Indonesia akan sulit menjadi negara maju, ungkapnya.

Yohanes Krisostomus Lado, mahasiswa Program Studi Pembangunan Sosial menjelaskan bahwa perjuangan para pahlawan menginspirasi generasi muda, khususnya mahasiswa untuk memanfaatkan waktu dengan baik dalam meningkatkan kapasitas diri dan melakukan hal-hal yang produktif.

Sebagai mahasiswa, kata dia, “kita memiliki tanggung jawab moral atas amanat yang dititipkan orang tua, saudara-saudari dan keluarga besar.” 

“Jangan sampai kita yang diharapkan dapat membanggakan keluarga justru mengecewakan mereka,” ungkapnya.

Yohanes juga menyoroti fenomena eksploitasi dan monopoli sumber daya alam oleh sekelompok orang. 

Eksploitasi dan monopoli, kata dia, menyebabkan masyarakat kecil sulit mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Ia juga mengatakan visi Indonesia Emas 2045 hanya menjadi utopia semata jika kualitas Sumber Daya Manusia [SDM] bangsa Indonesia tidak dipersiapkan dengan baik.

Agar kualitas manusia semakin baik, kata dia, pembangunan pendidikan harus menjadi prioritas pemerintah. 

“Persoalannya, bangsa ini lebih mengutamakan nutrisi perut daripada nutrisi otak, lebih memilih makan siang gratis dari pada pendidikan gratis,” ungkapnya.

Sementara itu, Widia, Demisioner Anggota Wakil Komisaris Bidang [Wakombid] Kesarinahan mengingatkan perempuan juga memiliki peran yang sangat penting selama perjuangan mengusir penjajah terutama dalam menyiapkan logistik dan obat-obatan.

“Jadi bukan hanya laki-laki yang terlibat. Perempuan juga memiliki peran sentral meskipun tidak banyak mendapat perhatian,” katanya.

Ditulis oleh Ancik Masir, Wakil Komisaris Bidang Pengembangan Kapasitas Kader DPK GMNI STPMD “APMD” Yogyakarta tahun 2024/2025. 

Editor: Herry Kabut

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya