Mahasiswa Harus Punya Sikap Jelas dan Pegangan Nilai, Kata Rektor STPMD ‘APMD’ Yogyakarta

Pesan ini disampaikan rektor kampus di Yogyakarta kepada mahasiswanya yang hendak KKN

Setiap mahasiswa idealnya memiliki keberanian menentukan sikap yang didasari nilai atau prinsip untuk kebaikan bagi banyak orang, kata Sutoro Eko Yunanto, Ketua Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa [STPMD] ‘APMD’ Yogyakarta.

Namun, ia merinci bahwa sikap tidak terbatas pada pengertian yang lazim soal attitude dalam Bahasa Inggris, seperti sopan santun dan sebagainya, melainkan sikap yang berkaitan dengan kehendak. 

Berbicara dalam forum pembekalan mahasiswa yang hendak mengikuti program Kuliah Kerja Nyata [KKN] di kampus itu pada 23 Juli, ia memberi catatan pada kehendak yang tidak selalu linear dengan kemampuan kognisi, sebagaimana diyakini dalam teori psikologi pendidikan.

Teori linear, katanya, adalah teori kolonial yang selama ini “membentuk cara berpikir bahkan sudah kita yakini.”

“Padahal hidup tidak pernah linear atau lurus-lurus. Ada orang yang memiliki banyak pengetahuan tapi tidak punya kehendak. Ada juga yang pengetahuannya terbatas, tetapi memiliki sikap yang jelas,” katanya.

Ia pun berpesan kepada mahasiswa, jika selama KKN berhadapan dengan persoalan struktural yang selama ini terjadi di desa, seperti desa dimobilisasi dan diperintah-perintah oleh pemerintah pusat, mahasiswa harus berani bersikap kepada kepala desa.

Misalnya, jika diperintah mengurus stunting, program lintas sektoral pemerintah yang akhir-akhir ini dibebankan kepada desa.

“Melayani itu penting, tapi harus bersikap,” katanya.

“Kalau tidak punya sikap, kita hanya menjadi pesuruh dan diperalat serta menjadi bagian dari struktur pembodohan,” tambahnya.

KKN mahasiswa STPMD ‘APMD’ tahun ini mengusung tema “Bergaul, Belajar, Bekerja, Berdesa.” Sebanyak 188 mahasiswa dari empat Program Studi – Pembangunan Masyarakat Desa [D3], Ilmu Komunikasi [S-1], Pembangunan Sosial [S-1] dan Ilmu Pemerintahan [S-1] –  dibagi ke dalam 22 kelompok dan tersebar di Kalurahan Guwosari, Kalurahan Triwidadi dan Kalurahan Wijirejo. Mereka telah memulai KKN pada 1 Agustus.

Mengingat para mahasiswa hadir ke tengah masyarakat, Sutoro mengingatkan mereka soal cara pandang linear yang juga mewujud dalam dikotomi soal desa dan kota, seolah orang yang tinggal di desa berkualitas rendah, dibanding orang yang tinggal di kota.

“Itu argumen orang berpikiran kolonial,” katanya.

“‘Orang Jakarta’ melihat bahwa orang lokal, desa dan udik itu bodoh, malas, suka mencuri dan suka berbohong.”

Lima Sifat Sikap

Berbicara lebih rinci soal sikap, Sutoro menjabarkan lima sifat sikap, yaitu pragmatis, oportunis, formalis, idealis dan realis. 

Ia menyebut pragmatis sebagai sikap yang buruk dan paling rendah karena mengerjakan yang paling gampang dikerjakan. 

Sementara sikap oportunis, katanya, penyakit yang terjadi di banyak tempat. Sikap ini muncul dalam diri orang yang hanya ingin menikmati hasil, tapi tidak mau berjuang. 

Orang oportunis, katanya, adalah juga ‘penumpang gelap’ atau free rider yang hanya melakukan sesuatu jika menguntungkan dirinya.

Sikap formalis, kata Suroto merujuk pada orang bekerja sesuai aturan.

Orang macam ini “paling tidak menarik karena “kreativitas dan gagasan tidak berkembang, dibatasi dengan penerapan aturan hukum yang rigid dan ketat.”

Ia menyebut sikap idealis tercermin dalam cara pandang ‘apa yang sebaiknya’ dilakukan, membuat orang idealis sering berbenturan dengan orang pragmatis. 

Suroto mengartikan sikap realis dengan mengerjakan ‘apa yang mungkin’ dilakukan.

Ia merekomendasikan model sikap idealis dalam berpikir, namun bersikap realis dalam bertindak, sambil sedapat mungkin menghindari sikap pragmatis dan oportunis.

Mahasiswa peserta KKN di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) ‘APMD’ Yogyakarta. (Vansianus Masir)

Pembentuk Sikap

Sikap semacam itu, jelasnya dibentuk oleh beberapa hal. 

Ada orang membentuk sikapnya berdasarkan moral, katanya, namun bermoral saja tidak cukup karena “moral hanya berguna sebagai alat kontrol diri” seperti bersikap rendah hati, sopan santun dan sebagainya. 

Sikap juga bisa dibentuk berdasarkan nalar atau logika. Namun, ia mewanti-wanti bahaya hal ini. 

Ketika sikap dibentuk hanya dengan nalar, katanya, segala persoalan dilihat karena kurangnya kapasitas atau kemampuan, seakan-akan orang lain tidak mampu. 

Sikap juga dibentuk berdasarkan norma yang terwujud dalam kecenderungan melakukan sesuatu sesuai prosedur, regulasi atau aturan. 

Orang demikian akan mengatakan, “pokoknya aturannya begini, aturannya begitu” dan tidak membuka ruang negosiasi dan dialektika gagasan.

Sutoro berkata, sikap seharusnya dibentuk berdasarkan nilai [value] kedaulatan, keadilan dan kemakmuran untuk orang banyak.

Nilai ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi, bukan moral, nalar atau norma. 

Orang yang bermoral baik, katanya, belum tentu membawa kebaikan bagi orang banyak, tetapi orang yang bermoral buruk seperti ugal-ugalan dan berbohong sudah pasti mendatangkan keburukan.

Spirit Sarjana Rakyat

Pada  bagian akhir pesannya, Sutoro mengingatkan bahwa sikap mahasiswa terbentuk melalui ilmu buku dan ilmu guru dan KKN sangat penting untuk mempertebal ilmu laku atau pengabdian. 

Ia juga menegaskan spirit Sarjana Rakyat yang menjadi tagline STPMD ‘APMD’ mesti ditampakkan dalam sikap.

Sarjana rakyat, katanya, didasarkan pada nilai, bukan semata-mata berilmu dan bernalar.

Sarjana rakyat digerakkan oleh semangat ilmu amaliah, kata Sutoro, yaitu ilmu yang mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi banyak orang.

Ia mengkontraskannya dengan ilmu ilmiah, yaitu “ilmu yang absurd, jauh dari rakyat dan dekat dengan tengkulak.”

Ia juga menekankan bahwa KKN menjadi kesempatan untuk memperluas pengetahuan, karena masih ada mahasiswa yang menjalin pergaulan berdasarkan parokialisme atau social bonding, yaitu ikatan sosial berdasarkan unsur bawaan, entah daerah, agama maupun suku. 

KKN, katanya, juga menjadi kesempatan untuk belajar menyelami dan memahami realitas yang akan membentuk sikap realis mahasiswa. 

“Prinsipnya semua orang adalah guru, setiap tempat adalah sekolah.”

Sutoro berkata, program seperti ‘literasi desa’ yang dilaksanakan dalam KKN semestinya menumbuhkan subjek-subjek di desa, termasuk anak-anak supaya mengenal diri sendiri dengan belajar bercerita, berdiskusi, berdiplomasi dan berpidato. 

Bagi Sutoro, kekurangan bangsa Indonesia adalah kemampuan melihat diri sendiri, sehingga tidak pernah menjadi subjek yang merdeka dan berdaulat. 

Ia menambahkan, KKN ibarat ‘menabur benih’ agar desa bertumbuh dan berkembang menjadi arena hidup, kehidupan dan penghidupan masyarakat setempat. 

Editor: Ryan Dagur

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya