Oleh: Fransiskus Silin Gunadi
Di tiga kabupaten di Flores barat – Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat – dalam beberapa bulan terakhir santer diberitakan tentang sampah, salah satu masalah lingkungan dan sosial yang pelik.
Pada September 2023, Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi mengatakan sampah menjadi masalah utama pengembangan pariwisata di Labuan Bajo. Meski beberapa upaya telah dilakukan untuk merespons masalah ini, seperti edukasi kepada masyarakat dan menyediakan tempat-tempat sampah di area-area publik, namun, kata dia, masih ada orang yang membuang sampah tidak pada tempatnya.
Oleh karena itu, sebagaimana dilaporkan Kompas.com, ia berencana memasang kamera tersembunyi atau CCTV di spot-spot wisata untuk memantau perilaku masyarakat.
Pada Oktober 2023, masyarakat Manggarai mengeluh tentang tumpukan sampah yang tidak terurus dan menyebabkan suasana tidak sehat di Pasar Inpres Ruteng.
Sementara pada November 2023, para pelajar di Mukun, Kabupaten Manggarai Timur terlibat dalam bakti sosial membersihkan limbah medis yang dibuang di aliran sungai Wae Mokel. Limbah medis tersebut tentu sangat berbahaya bagi biota air dan kesehatan manusia.
Pada Januari 2024 viral di media sosial berita tentang ‘Kolam Ikan Motang Rua,’ sindiran warga tentang genangan air di ‘Natas Labar Kota Ruteng’ yang dibangun dengan biaya miliaran rupiah.
Seperti dilaporkan Floresa, Pejabat Pembuat Komitmen proyek tersebut menjelaskan genangan air tersebut dipicu sampah yang menyumbat pembuangan ke drainase.
Berbagai Dampak Negatif
Tentu saja masalah sampah bukan hanya terjadi di Flores atau Manggarai Raya, melainkan juga di daerah-daerah lain.
Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebagaimana dipublikasikan Dataindonesia.id, menunjukkan bahwa pada 2022 volume timbunan sampah di seluruh Indonesia mencapai 19,45 juta ton.
Berdasarkan jenisnya, mayoritas adalah sisa makanan dengan proporsi 41,55%, sampah plastik 18,55%, kayu dan ranting 13,27%, kertas/karton 11,04%, logam 2,86%, kain 2,54%, kaca 1,96%, karet/kulit 1,68%, dan 6,55% sampah jenis lainnya.
Sampah yang tidak dikelola secara baik dapat menimbulkan berbagai dampak negatif.
Dari aspek kebersihan, tumpukan sampah yang tidak terurus menciptakan lingkungan yang kotor. Sampah yang berserakan di jalan-jalan, taman, dan tempat umum juga menciptakan pemandangan yang tidak menyenangkan dan mengurangi kualitas visual suatu lingkungan.
Limbah organik yang dibuang sembarangan juga menghasilkan bau tidak sedap dan menjadi sarang bagi serangga, nyamuk, lalat, tikus, dan hewan lainnya yang berpotensi menyebarkan penyakit.
Pada aspek kesehatan, sampah menjadi tempat berkembang biak mikroorganisme patogen yang dapat menularkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia.
Dalam bidang kepariwisataan, sampah sangat merusak keindahan alam dan ekosistem. Sampah juga menciptakan dampak visual yang negatif dan mengurangi daya tarik wisata
Sementara pada aspek kelestarian alam, sampah dapat menimbulkan pencemaran dan degradasi terhadap kualitas alam dan lingkungan. Sampah dapat mencemarkan dan mengurangi kualitas tanah, air dan udara. Dengan demikian, sampah membahayakan keberlangsungan hidup ekosistem alam. (Fakihuddin dkk, 2020).
Penanganan Terhadap Masalah Sampah
Jika ditinjau dari perspektif etika lingkungan hidup, masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan, termasuk persoalan sampah, merupakan masalah bersama semua manusia.
Karena itu tanggung jawab untuk melakukan perbaikan, pemulihan terhadap lingkungan yang tercemar, menjaga kelestarian, keamanan, kebersihan dan keberlanjutan lingkungan adalah tanggung jawab semua orang (Sony Keraf, 2002).
Dalam hal pelaksanaan tanggung jawab ini, yang diperlukan adalah tindakan-tindakan aktif. Setiap orang sebagai individu atau kolektif berkewajiban mengambil prakarsa, usaha dan tindakan nyata memelihara lingkungan alam dan mencegah berbagai bentuk kecenderungan dan prilaku yang dapat merusak lingkungan.
Sesungguhnya berbagai pihak telah melakukan berbagai upaya dalam mengatasi masalah sampah, sebagaimana dikemukakan Bupati Manggarai pada bagian awal tulisan ini.
Misalnya melalui kampanye publik tentang pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan, diseminasi informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pencemaran lingkungan, menyediakan wadah-wadah penampungan sampah di tempat-tempat umum, dan mendorong masyarakat untuk mengurus sampah rumah tangga secara baik.
Namun apakah upaya-upaya tersebut telah berhasil menyelesaikan masalah?
Persoalan sampah yang terus terjadi menunjukkan bahwa apa yang telah dilakukan belum optimal, tidak komprehensif atau tidak cukup efektif.
Oleh karena itu, perlu ada inovasi yang lebih tepat guna.
Kewirausahaan Sosial; Menyelesaikan Masalah dan Memberdayakan Masyarakat
Kewirausahaan sosial adalah konsep yang relatif baru dalam dunia bisnis. Konsep ini bertitik berat pada upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat, sekaligus memecahkan berbagai persoalan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan dan lain sebagainya.
Istilah kewirausahaan sosial (social entrepreneurship) merupakan turunan dari kata kewirausahaan. Dalam konsep kewirausahaan sosial, ada subjek yang disebut wirausaha sosial (social enterpreneur), yaitu seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan menggunakan kemampuan kewirausahaan untuk melakukan perubahan sosial (Liesma Maywarni :2021).
Hulgard (2010) mengartikan kewirausahaan sosial sebagai usaha ekonomi yang kreatif dan inovatif untuk menghasilkan keuntungan dan sekaligus menciptakan nilai dan manfaat secara sosial.
Berbeda dengan bisnis yang berorientasi semata pada profit, kewirausahaan sosial memberikan penekanan pada nilai dan manfaat sosial dari suatu kreativitas ekonomi dan inovasi.
Salah satu bentuk kewirausahaan sosial yang dapat sekaligus mendatangkan keuntungan ekonomi dan menyelesaikan masalah sampah adalah kreativitas daur ulang.
Daur ulang sampah merupakan aktivitas ekonomi dengan cara mengolah, mengubah kualitas dan memanfaatkan sampah atau barang-barang bekas menjadi produk-produk kreatif yang dapat digunakan kembali.
Misalnya mengolah sampah kertas menjadi kertas atau karton kembali, mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos, mengolah sampah anorganik menjadi barang yang bermanfaat dan bahkan memiliki nilai jual, seperti tas anak-anak, gelang, botol air, ember, pot bunga, sangkar hewan, dan lain-lain.
Produk-produk baru hasil olahan sampah dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga atau dipasarkan. Misalnya pupuk organik dari hasil olahan sampah-sampah organik dapat dijual langsung kepada para tani, dan produk-produk kreatif dari hasil olahan barang-barang bekas anorganik dapat dijual di pasar umum.
Kelompok yang paling dekat ketika berbicara tentang sampah adalah kelompok pemulung, atau dalam konteks di Labuan Bajo atau di Manggarai Raya adalah kelompok petugas kebersihan kota.
Secara sosial dan ekonomi, kelompok ini seringkali dianggap lemah atau bahkan miskin. Karena itu mereka perlu diberdayakan. Mendorong kewirausahaan sosial dengan program daur ulang sampah dapat menjadi langkah yang tepat bagi mereka.
Pemerintah sebagai pihak yang berwenang dan bertanggung jawab, atau pihak swasta atau kolaborasi pemerintah dan swasta dapat memfasilitasi, mengorganisasi, membentuk kelompok, memberi pelatihan, menyiapkan sarana prasarana, bantuan pendanaan, dan menyiapkan pasar bagi produk-produk yang akan dihasilkan.
Dengan cara demikian, pemerintah sekaligus mengatasi masalah sampah dan memberdayakan masyarakat.
Fransiskus Silin Gunadi merupakan mahasiswa Magister Komunikasi Pembangunan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta