Berkaca dari Pembubaran Ibadat Rosario di Tangerang Selatan, Pemerintah Tak Boleh Legitimasi Pelaku dan Perilaku Intoleransi

Edukasi soal pluralisme dan toleransi juga perlu diintegrasikan dalam kurikulum 

Toleransi merupakan unsur utama demokrasi. Praktiknya menyiratkan penerimaan dan penghormatan terhadap keberagaman, keterbukaan dan pluralisme. 

Sejumlah penelitian menunjukkan warga negara yang toleran pada akhirnya mendorong kehidupan bernegara yang berkeadilan.

Meski cita-cita itu terasa ideal, sejumlah komunitas di pelbagai wilayah Indonesia belum mampu menempuh keseharian bermasyarakat yang sarat toleransi, khususnya terkait praktik berkeyakinan.

Wajah intoleransi itu belakangan kembali dalam kasus keributan antara dua komunitas di Tangerang Selatan, Provinsi Banten pada 5 Mei. 

Kejadian berlangsung di sebuah rumah indekos yang turut dihuni sejumlah mahasiswa Katolik. 

Mengajak serta beberapa tema lain, para mahasiswa itu mengadakan ibadat rosario–salah satu devosi dalam keyakinan Katolik–ketika Ketua Rukun Tetangga [RT] setempat datang sembari berteriak. 

Ia meminta para mahasiswa membubarkan diri, teriakan yang akhirnya didengar warga lain dan lantas berkerumun di sekitar indekos itu.

Dua hari kemudian polisi menetapkan empat tersangka dalam pembubaran ibadah tersebut, termasuk Ketua RT. Dua di antaranya diduga membawa senjata tajam untuk mengintimidasi para mahasiswa, menurut keterangan polisi seperti disitir dari Detik.com.

Penulis menilai pembubaran ibadah itu mencerminkan intoleransi yang belum juga hilang di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.

Selain itu, kasus tersebut juga menggambarkan masih lemahnya perlindungan hak asasi manusia [HAM] di Indonesia, suatu negara demokrasi. 

Intimidasi yang terjadi malam itu turut menimbulkan pertanyaan soal kualitas pendidikan kita terkait pluralisme dan toleransi.

Menurut penulis, pendidikan merupakan salah satu kunci utama guna mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik. 

Bila pengarusutamaan pendidikan toleransi dan pluralisme terabaikan, insiden serupa mungkin sekali berulang pada masa mendatang.

Menjalankan amanat rakyat, pemerintah harus mengevaluasi diri. 

Pemerintah bertanggung jawab melindungi setiap warga negara dan mencegah terjadinya diskriminasi. 

Kegagalan pemerintah mencegah intoleransi dan bahkan terlibat dalam praktiknya hanya akan mengirimkan sinyal buruk bagi masyarakat: bahwa pemerintah melegitimasi perilaku dan pelaku intoleransi. 

Guna mencegah repetisi kasus serupa, penulis menyarankan sejumlah upaya antarpihak. 

Pertama, edukasi tentang toleransi dan pluralisme harus diperdalam di semua komunitas dan tingkat pendidikan, termasuk integrasi kurikulum tentang toleransi serta program pelatihan khusus bagi guru dan tokoh masyarakat.

Kedua, hukum yang mengatur perlindungan HAM harus diperkuat dan ditegakkan secara adil. Sanksi yang tegas harus diberlakukan terhadap siapapun yang terlibat dalam pelanggaran HAM, tanpa pandang bulu.

Ketiga, dialog antarkelompok harus didorong untuk membangun pemahaman dan kerja sama yang lebih baik. Dialog dapat terbentuk, misalnya melalui seminar serta kegiatan lintas keyakinan.

Penulis menilai pemerintah mesti lebih aktif berperan mempromosikan toleransi sekaligus melindungi hak-hak kelompok yang rentan didiskriminasi–tak hanya dalam konteks beragama, melainkan juga perempuan, minoritas orientasi seksual dan warga adat.

Sementara itu, media massa–yang diharapkan dapat mengawasi kebijakan dan perilaku pemerintah dan, karenanya, memulihkan kehidupan masyarakat–selayaknya mengedepankan peliputan yang berimbang soal isu keberagaman.

Selain media massa, organisasi masyarakat sipil sepatutnya terus berkolaborasi guna memastikan keadilan terwujud di tengah masyarakat, dan memberikan pemahaman akan intoleransi yang tak bisa ditoleransi.

Pada akhirnya, hanya dengan menjaga komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan, kita dapat memastikan Indonesia mampu menjadi rumah bagi semua orang, tanpa terkecuali.

Reliana Nirma merupakan mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi di Malang, Jawa Timur

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Baca Juga Artikel Lainnya