Rumah Baca Aksara di Ruteng Rilis Dokumenter tentang Warisan Karya Biarawati Katolik Pendiri Pusat Rehabilitasi Kusta

Pembuatan film tersebut, kata sutradara, adalah bagian dari upaya untuk belajar menghidupi kepedulian pada kemanusiaan, seperti terhadap pengidap kusta yang seringkali menjadi sasaran stigma

Floresa.co – Rumah Baca Aksara [RBA], sebuah komunitas kreatif kaum muda berbasis di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur merilis film dokumenter tentang warisan karya biarawati Katolik yang lebih dari lima dekade lalu membangun pusat rehabilitasi untuk penderita kusta.

Film “AB(UP)Normal: Memoar Pengabdian Rasul Kaum Marjinal” itu akan tayang perdana di Pusat Rehabilitas Kaum Difabel dan Kusta St. Damian, Cancar pada 30 Januari pukul 19.00 Wita. Trillernya telah ditayangkan di YouTube.

Peluncuran perdana film itu dalam rangka peringatan Hari Kusta Internasional, demikian menurut RBA dalam sebuah pernyataan. 

Setelah tayang perdana, mereka akan mengadakan agenda “bioskop keliling” di sekolah-sekolah, universitas, lembaga dan komunitas sebagai media temu literasi. 

Arin Dampus, sutradara, berkata film ini mengangkat tokoh sentral, Sr. Virgula Schmitt SSpS, biarawati Katolik pendiri Pusat Rehabilitasi Kaum Difabel dan Kusta St. Damian dan Rumah Sakit St. Rafael di Cancar, sekitar dua puluh kilometer ke arah barat Ruteng.

“Menurut kami, Sr. Virgula layak dinobatkan sebagai salah satu pahlawan kemanusiaan bagi orang Manggarai,” katanya.

Suster asal Jerman itu tiba di Manggarai pada tahun 1965 dan baru kembali ke pusat kongregasinya di Belanda pada 2014. Ia meninggal pada 27 Juni 2022 dalam usia 94 tahun.

Selain mendirikan rumah sakit dan pusat rehabilitasi kusta di Cancar pada tahun yang sama saat tiba di Manggarai, pada 2006 ia juga mendirikan pusat rehabilitasi serupa di Binongko, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. 

Kini, kedua pusat rehabilitasi itu masih bertahan, dikelola oleh biarawati kongregasinya, Suster-Suster Abdi Roh Kudus atau SSpS.

Dalam sebuah wawancara pada Januari 2011, Virgula mengatakan pendirian pusat rehabilitasi kusta di Cancar berawal pertemuan dengan seorang pasien kusta yang dibuang keluarganya di hutan. Pasien itu didapat oleh seorang imam Fransiskan, yang kemudian membawanya ke poliklinik tempatnya bekerja. 

Melihat pasien itu, ia “kaget dan tertegun karena tubuhnya penuh dengan luka dan rambutnya panjang tak terurus”.

“Saat itu, saya tidak tahu mau buat apa. Tapi, saya terima pasien tersebut dan merawat sesuai kemampuan kami. Lalu, saya minta bantuan kepada keluarga di Jerman dan mereka membantu saya. Dukungan mereka sangat luar biasa. Sejak saat itu, tahun 1966, pelayanan orang kusta dipisahkan dari Poliklinik St Rafael,” katanya.

Poliklinik itu yang kemudian menjadi cikal bakal rumah sakit.

Mewariskan Kepedulian

Arin berkata, dengan mengangkat kisah biarawati itu, juga kondisi pusat rehabilitasi saat ini, khususnya di Cancar, mereka hendak mengangkat ke publik “narasi-narasi kecil kesadaran untuk lebih dalam melihat cinta dalam wujud tindakan.” 

Ia berkata, ada kegelisahan mereka di RBA tentang menurunnya kepedulian pada kemanusiaan di Manggarai.

Karena itu, kata dia, mereka bermufakat membuat film dokumenter dengan tema kemanusiaan, alih-alih hanya fokus pada literasi melalui buku yang selama ini biasa mereka lakukan.

RBA, katanyanya, melebarkan perhatian pada “literasi audio-visual; menangkap cahaya gerak-hidup sebagai dokumentasi literasi guna memberikan pandangan yang lebih dekat dan otentik dengan kehidupan nyata.”

Sementara itu Gheril Ngalong, koordinator RBA berkata “melalui film dokumenter, mereka berusaha “mengambil peran teknologi untuk konten positif.”

“Film sebagai media komunikasi massa pandang-dengar yang berfungsi sebagai penerangan, pendidikan pengembangan budaya bangsa, hiburan, dan ekonomi,” katanya.

Film ini kata dia berisi semangat pelayanan dan kerja-kerja baik Sr. Virgula “yang menurut kami memberi semangat kepada kaum muda, supaya tahu bentuk semangat pelayanan yang tulus.”

“Kami berharap karya-karya kebaikannya terus hidup membangun ruang kesadaran, juga sebagai inspirasi perlawanan stigma negatif kepada kaum marjinal,” seperti pengidap kusta, katanya. 

Berharap Stigma Hilang

Film ini merupakan dokumenter perdana karya RBA, komunitas yang bergerak di bidang literasi dan seni berbasis komunitas.

Perihal alasan memilih tema tentang isu kusta, Arin berkata, karena kusta seringkali “dianggap sebagai penyakit kutukan, keturunan dan bahkan berasal dari makanan”. 

Padahal, kata dia, kusta adalah penyakit menular menahun atau infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman kusta yaitu Mycobacterium leprae

“Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan penderita kusta terbanyak setelah India dan Brasil,” katanya.

Ia juga mengatakan, Organisasi Kesehatan Dunia mengkategorikan kusta sebagai salah satu Penyakit Tropis Terabaikan yang ada di Indonesia, yang paling sering bermanifestasi pada jaringan kulit saraf tepi, dan organ tubuh lainnya.

“Gejala awal penyakit kusta ditandai dengan timbulnya bercak merah atau putih pada kulit, yang tidak gatal, tidak sakit dan tidak sembuh dengan obat kulit biasa. Jika tidak segera diobati, ia berpotensi menimbulkan kecacatan yang berpeluang sebagai sumber diskriminasi baik kepada penderita maupun keluarganya,” lanjutnya.

Dengan coraknya seperti ini, kata dia, tentu saja keliru melihatnya sebagai penyakit kutukan.

“Karena itu penderitanya tidak boleh dikucilkan karena kesalahpahaman atau kekeliruan stigma yang ada di masyarakat tersebut,” katanya.

Harapan itu, kata dia, mereka manifestasikan juga lewat judul film ini “AB(UP)Normal.”

ABnya dicoret atau garis di tengah. Di atasnya ada UP karena mau menunjukkan bahwa saudara-saudara yang difabel dan kusta sebenarnya tidak seperti stigma masyarakat. Mereka mandiri, mampu bekerja, kreatif, dan lain-lain,” katanya.

WHO telah memperkenalkan Hari Kusta Internasional atau World Leprosy Day setiap hari Minggu terakhir dalam bulan Januari.  Tahun ini, peringatannya jatuh pada hari Minggu, 28 Januari, dengan tema “Beat Leprosy”, untuk menghapus stigma dan meningkatkan martabat para penderita penyakit tersebut. 

Bagi WHO, “kusta bukan lagi sumber stigma melainkan suatu peluang untuk menunjukkan keberpihakan kasih dan penghormatan pada semua individu.”

Proses Pembuatan

Gheril, yang bersama Abim Gondrong menjadi videografer film ini, berkata pengerjaannya butuh waktu dua bulan, sejak awal Desember tahun lalu.

Selama proses itu, mereka berkunjung ke Pusat Rehabilitasi St Damian Cancar, melakukan studi dokumen yang diarsipkan sejak awal pendiriannya.

“Kami minta izin kepada Sr.  Franselin Isabela Sabu, SSpS, Ketua Yayasan St. Damian Cancar untuk live in, mengecek arsip-arsip, termasuk data-data jumlah pasien dari tahun 1966. Sudah ribuan pasien di sana,” katanya.

Tim RBA juga mengadakan beberapa kali kunjungan ke panti tersebut untuk berjumpa dengan para pasien, mendengarkan kisah-kisah mereka, dan berbicara dengan para suster terkait inspirasi St. Damian yang fokus pada penderita kusta dan kaum disabilitas.

Sr. Franseline menyambut baik film ini. Ia berkata “sangat menghargai dan mendukung” inisiatif kaum muda untuk mengabadikan kiprah pusat rehabilitasi tersebut.

Saya sangat menghargai ide tersebut, karena saya sedang berpikir mungkin ada cara lain mengabadikan kisah pelayanan kasih di St. Damian,” katanya kepada Floresa pada 30 Januari.

Ia menjelaskan, kerja sama pembuatan film ini bertujuan agar “cerita tentang pekerjaan kemanusiaan, kerja cinta kasih yang dirintis Sr. Virgula abadi dikenang, diketahui banyak orang, dihidupi dan dilanjutkan”.

“Pertama-tama mengasihi, menghormati dan menghargai manusia ciptaan Tuhan, apapun bentuknya, rupanya, profesinya, terutama para penyandang kusta dan disabilitas,” katanya.

Ia juga berharap ke depan, RBA dapat membantu merealisasikan beberapa ide kreatif yang telah direncanakan untuk pusat rehabilitasi tersebut.

Editor: Ryan Dagur

Artikel ini terbit di halaman khusus KoLiterAksi. Jika Anda adalah pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum dan tertarik menulis di sini, silahkan kirimi kami artikel. Ketentuannya bisa dicek dengan klik di sini!

Silahkan gabung juga di Grup WhatsApp KoLiterAksi, tempat kami berbagi informasi-informasi terbaru. Kawan-kawan bisa langsung klik di sini.

Artikel Terbaru

Banyak Dibaca

Baca Juga Artikel Lainnya