Floresa.co – Marselina Elsa, 48 tahun, warga Kabupaten Sikka sehari-hari membantu suami menggembalakan sapi di sebuah bukit kecil berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya.
Ia dan suaminya, Yakobus Ndopo, 49 tahun, warga Patisomba, Kelurahan Wuring, Kecamatan Alok Barat itu memelihara sebelas ekor sapi.
Namun sejak 10 Juli ia tidak lagi menemani sapi di bukit itu, tempat keluarganya dan warga lain membiarkan puluhan ekor sapi berkeliaran saban hari.
Delapan sapinya mati mendadak pada 9 Juli. Satu lainnya mati keesokan hari, membuat sapinya tersisa satu ekor.
“Ini hal aneh yang baru saya saksikan,” kata Elsa kepada Floresa pada 17 Juli.
Selama puluhan tahun memelihara sapi, peristiwa seperti itu tidak pernah terjadi.
“Kalau ada sapi yang mati, biasanya karena salah ikat dan talinya terbelit. Biasanya juga karena digigit kalajengking atau ular,” katanya.
Masih terkejut dengan kehilangan seketika sapinya, ia berkata; “Ini penyakit apa lagi?”

Geraldus Goli, 40, tahun, peternak lainnya di Patisomba memiliki lima ekor sapi. Pada 14 Juli, empat ekor diantaranya mati, tersisa satu ekor.
“Sapi yang mati itu salah satunya induk dan sementara bunting. Targetnya seminggu lagi beranak,” katanya.
Khawatir satu sapi terakhir akan mati juga, ia memilih memindahkannya ke wilayah di dekat pantai Patisomba.
“Saya ingat dulu orang tua ajarkan, kalau ada sapi yang sakit, kita bawa ke pantai dan kasih minum air laut,” katanya.
Ia berkata, tiga sapinya yang mati bergejala sama, “mulut berbusa, terlihat bengkak di leher, lemas dan tidak ada nafsu makan.”
“Air pun tidak diminum,” kata Geraldus.
Selama ini jika sapi terkena sakit, ia biasa mengobatinya secara tradisional.
“Kali ini saya tidak bisa tangani karena memang tidak tahu sama sekali bagaimana caranya.”

Diserang Penyakit Ngorok
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sikka mengonfirmasi bahwa kasus sapi mati mendadak dipicu penyakit Septicaemia Epizootica atau Ngorok.
Hal ini merujuk pada hasil pemeriksaan di laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar di Bali, kata dokter hewan dinas itu, Quartus Jenus Keupung.
Hingga 19 Juli, katanya, dinas mencatat 38 sapi yang mati di Patisomba.
Penyakit Ngorok dipicu bakteri Pasteurella Multocida yang menyerang saluran pernafasan hewan ternak, kata Jenus kepada Floresa pada 29 Juli.
Dinasnya mulai mendapat laporan warga tentang sapi yang mati terdampak penyakit ini pada 3 Juli. Sehari setelahnya, mereka melakukan investigasi.
Temuannya sapi yang sakit menunjukan tanda klinis “adanya pembengkakan pada daerah mandibula hingga mata.”
“Ada leleran hidung, hipersalivasi atau air liur berlebihan, suhu 40,3 derajat Celcius dan anorexia atau tidak adanya nafsu makan,” katanya.
Saat pengambilan sampel darah dan swab hidung, “ada perubahan patologi pada paru-paru, trakea dan epiglotis dan adanya pendarahan.”
Merujuk pada penjelasan Nusdianto Triakoso, Wakil Direktur Pelayanan Medis, Pendidikan, dan Penelitian Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas Airlangga, gejala pada hewan ternak seperti sapi atau kerbau yang mengalami penyakit ini cenderung berbeda.
“Ada ternak yang mengalami penyakit ini tapi serangannya akut dan sangat cepat. Jadi tidak ada gejala ciri yang khas, tapi tiba-tiba bisa jadi ternaknya mati mendadak,” katanya.
Gejala bunyi pernapasan ngorok dapat terjadi saat hewan ternak beraktivitas, karena ada lendir pada saluran pernapasan akibat proses peradangan, katanya.
Ia menjelaskan, penyakit itu sudah tersebar di seluruh daerah di Indonesia, sehingga dikategorikan sebagai penyakit endemis.
Pencegahanya, jelas dia, adalah melalui vaksin, untuk “memberikan kekebalan pada hewan ternak” dan selalu menjaga kesehatan ternak.
“Perhatikan kesehatan ternak secara umum, tidak kekurangan makan, tidak stres, tidak kedinginan agar daya tahan tubuhnya baik. Kalau ternak tidak sehat, segera hubungi dokter hewan terdekat,” katanya.
Wabah penyakit ini sudah pernah terjadi sebelumnya di Indonesia. Pada 1997, angka kematiannya, baik sapi maupun kerbau, mencapai 9.288 ekor.
Pada Mei lalu, penyakit ini juga dilaporkan menyerang sapi di Kabupaten Ogan Komerimg Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.
Sementara di Nusa Tenggara Timur, laporan kematian sapi karena penyakit ini terjadi pada Februari 2017. Kasusnya terjadi di Kabupaten Kupang, di mana 85 ekor sapi mati.
Peternak Merugi
Jenus berkata, dinas sudah melakukan rapat koordinasi pada 9 Juli dengan Penjabat Sekretaris Daerah, Polsek Alok, camat dan lurah wilayah terdampak membahas masalah ini.
Ia menjelaskan, “saat ini juga terdapat 72 ekor sapi yang sedang dalam pelayanan kesehatan.”
“Ada yang dalam tahap pengobatan dan pemberian vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh.”

Sementara sapi-sapi sudah mati, Elsa, Geraldus dan warga lain di Patisomba meratap karena rugi puluhan juta. Hampir setiap keluarga di wilayah itu memelihara sapi.
Geraldus menyebut sapi adalah andalan pemasukannya.
“Saat acara umat Muslim Idul Adha, banyak yang datang beli. Kadang dua sampai tiga ekor. Harga satu ekor Rp6-7 juta,” katanya.
Ia pernah memelihara dua ekor babi, namun pada awal tahun ini mati terkena virus demam babi Afrika.
“Saya pikir pernyakit hanya serang babi, ternyata sapi juga,” kata Geraldus.
Ia kini hanya berharap pada satu sapi yang tersisa untuk “biaya sekolah anak di bangku SMP dan SD.”
Elsa juga berharap sama karena empat anaknya masih sekolah. Selama ini biaya untuk mereka mengandalkan uang hasil jual sapi.
“Setiap hari saya dan suami bergantian urus sapi, karena harus urus kebun sayur juga,” katanya.
Hasil menjual sayur tidak banyak, “hanya untuk membeli keperluan dapur.”
“Kalau sapi, sudah cukup untuk ongkos anak sekolah dan keperluan lain,” kata Elsa.
“Saya tidak tahu apakah sapi satu ekor sehat atau tidak,” katanya.
Elsa kini berharap “esok lusa pemerintah beri kami bantuan sapi atau babi,” biar tetap ada biaya untuk sekolah anak-anak.
Editor: Ryan Dagur