Jalan Provinsi dan Geliat Ekonomi Rakyat

863

Oleh: INOSENTIUS MANSUR

Jalan provinsi selalu menjadi persoalan di Manggarai Raya. Betapa tidak, sampai saat ini, kondisi beberapa jalan yang menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi (Pemprov) NTT itu masih amat memrihatinkan. Akibatnya, geliat dan gerak perekonomian rakyat pun mengalami kesulitan, mandek dan bahkan cenderung turun. Kondisi jalan amat ditentukan oleh musim dan dengan demikian, kondisi perekonomian rakyat pun ditentukan oleh musim itu.

Kalau musim kemarau datang, maka kendaraan tidak mengalami kendala untuk “melayani” rute perjalanan dari kampung ke kota. Hal ini tentu saja membantu rakyat untuk menjual hasil kebun mereka ke kota. Tetapi jika musim hujan tiba, segalanya pun macet, terkendala dan mematikan “detak nadi” perekonomian rakyat. Musim hujan seakan menjadi “bencana” bagi rakyat.

Sebab, akan ada banyak risiko yang dihadapi, mulai dari ancaman keselamatan para penumpang karena jalan rusak parah, waktu tempuh yang lama sehingga menyebabkan hasil kebun membusuk dan tak bisa dijual, hingga kendaraan yang cepat rusak. Apa mau dikata, demi mempertahankan hidup, rakyat tidak memiliki opsi lain selain tetap menggunakan jalan yang rusak itu. Bersyukur karena para sopir masih memiliki “nyali” untuk tetap menerobos jalan yang pada hemat saya sudah tidak layak lagi dibilang sebagai jalan raya itu.

Jalan dan Kesejahteraan

Jalan raya adalah bagian integral dari kemajuan daerah. Program kemaslahatan tanpa jalan raya yang memadai, akan menjadi program yang sulit diimplementasikan. Jika kondisi jalan rusak dan tak kunjung diperbaiki, dapat dipastikan bahwa rakyat akan terus menderita. Hal inilah yang sudah, sedang dan diprediksi akan terus menimpa rakyat Manggarai Raya (mungkin juga daerah lainnya di NTT) yang tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan jalan rusak. Sudah sejak lama, rakyat merindu-dambakan perhatian pemprov NTT agar segera memperbaikinya.

Tetapi yang terjadi, kerinduan mereka bagaikan rindu sendu mengharu kalbu, kerinduan yang tak pernah tercapai sebab tak ditanggapi oleh Pemprov. Entahlah, apakah Pemprov merasa urgen untuk “mereparasi” jalan yang rusak ataukah itu dianggap tidak urgen? Saya tidak tahu persis apa yang menjadi pertimbangan Pemprov sehingga kurang memperhatikan jalan-jalan itu selama ini. Tetapi alangkah eloknya jika pemimpin NTT mempertangungjawabkan eksistensinya lewat usaha restorasi pelayanan publik, salah satunya memperbaiki jalan rusak. Seorang pemimpin adalah agen perubahan yang berupaya menciptakan perubahan secara terus-menerus. Ia orang yang cerdik dan mampu menciptakan terobosan (breakthrough) meniggalkan masa lalu menuju ke masa depan yang lebih baik (Wirawan, 2013:70).

Kita berharap, pemimpin NTT memiliki kepedulian terhadap kesulitan seperti ini lalu mencari cara dan sesegera mungkin membuat implementasi agar kesulitan itu teratasi. Prinsipnya adalah yang terjadi saat ini, tidak boleh terjadi lagi di kemudian hari. Jika sekarang rakyat menderita karena kondisi jalan raya yang sudah rusak parah, maka Pemprov harus bertanggung jawab, mencari cara agar jalan itu menjadi layak dipakai dan dengan demikian membantu mobilitas rakyat.

Desain pembangunan Pemprov jangan mengabaikan aspek penting tersebut. Jika Pemprov tidak mendengar dan mengartikulasikan keluhan rakyat tentang jalan itu, maka dapat dipastikan bahwa Pemprov gagal menjalankan peran untuk mensejahterakan rakyat. Pemprov mesti menyadari bahwa jika jalan raya memadai, akan dapat meningkatkan taraf hidup rakyat. Sebab, hal seperti itu akan menolong mereka untuk menjual hasil kebun ke kota maupun membantu mereka dalam memperlancar segala urusan yang berkaitan dengan anak-anak sekolah. Harus diakui bahwa untuk konteks sekarang, kepercayaan rakyat (terutama yang menggunakan jalan itu) terhadap pemimpin NTT kian stagnan.

Pemimpin NTT ternyata tidak mampu membangun dari pinggiran sebagaimana salah satu isi Nawa Citanya Jokowi. Konsep pembangunan berbasiskan konteks riil demi liberalisasi rakyat pun hanyalah pepesan kosong. Jalan rusak adalah fakta riil yang menghambat upaya pemerdekaan rakyat dari kesulitan ekonomi. Hal ini akan menyebabkan para pengusaha lokal mendominasi perekonomian, lalu sesuka hati menentukan harga atas hasil kebun rakyat. Maka dapat dipastikan, pembangunan tidak akan membantu penguatan ekonomi rakyat, melainkan menguatkan ekonomi kaum kapitalis. Jika demikian, kita pantas mencurigai adanya kapitalisasi ekonomi yang justru memarginalkan rakyat jelata.

Peran DPRD

Melihat kondisi jalan yang demikian, rakyat pun berharap agar anggota DPRD asal Manggarai Raya harus bekerja maksimal dan optimal. Para anggota DPRD itu harus menyadari bahwa kegagalan Pemprov dalam memperhatikan konteks riil rakyat, terutama kondisi jalan yang memrihatinkan merupakan “kegagalan” mereka juga. Artinya mereka tidak mampu menjalankan peran aspiratif, yaitu sebagai penyambung lidah rakyat sejati. Kondisi jalan yang menghambat segala dinamika perekonomian rakyat seharusnya menjadi “tamparan” bagi mereka agar segera bekerja maksimal dan sungguh-sungguh.

Saya tidak sedang meragukan peran aspiratif DPRD kita. Tetapi kenyataannya adalah sudah sekian lama mereka tidak berdaya dan seakan tak bertaji dalam mendesak Pemprov untuk segera memperbaiki jalan yang telah lama rusak. Karena itu, amat diharapkan agar mereka memiliki kemampuan untuk memetakan problem rakyat, termasuk kesulitan dalam bidang infrastruktur, melihat dampaknya bagi geliat ekonomi mikro masyarakat lalu mencari solusi tepat untuk mengatasinya. Solusi itulah yang mesti dikomunikasikan ke Pemprov. Mereka harus secara militan “menggonggong” Pemprov dan mencari cara efektif agar suara mereka berwibawa, didengar oleh Pemprov lalu dimanifestasikan lewat perbaikan jalan yang sudah tak layak lagi untuk digunakan. Anggota DPRD itu telah menerima mandat dan otoritas untuk mendesak Pemprov agar merestorasi pelayanan publik lewat perbaik jalan rusak. Dengan demikian, nasib rakyat tidak ditentukan oleh kondisi jalan dan kondisi jalan tidak bergantung pada musim.

Penulis adalah dosen dan pemerhati sosial-politik dari STIPAS St. Sirilus Ruteng