Floresa merupakan media independen berbasis di Flores, NTT. Baca selengkapnya tentang kami dengan klik di sini!

Dukung kerja-kerja jurnalistik kami untuk terus melayani kepentingan publik

Menakar Kebijakan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Manggarai 

Refleksi menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni

Oleh: Jimmy Z. Ginting

Sama halnya dengan wilayah lain di Indonesia, Kabupaten Manggarai memiliki sejarah dan identitasnya sendiri. 

Beberapa literatur setidaknya memberi penjelasan demikian. Misalnya, tulisan Vianney Andro Prasetyo,  alumnus Australian National University yang dipublikasi Floresa dengan judul Potret Sejarah Manggarai dalam Sejarah Nusantara: Sebuah Studi Literatur.

Pun demikian halnya dengan skripsi Maria Selviana Nesti (2021), mahasiswi Universitas Nusa Cendana Kupang dengan judul Sejarah Kabupaten Manggarai di Bawah Pemerintahan Bupati Charolus Hamboer Tahun 1960 – 1967

Meskipun tidak menyinggung secara jelas eksistensi masyarakat adat di Manggarai, keduanya cukup gamblang menyiratkan kehadiran masyarakat adat di kabupaten yang berada di wilayah Flores bagian barat itu.

Untungnya, tidak kurang berita atau tulisan yang menceritakan adanya masyarakat adat di Manggarai. Dengan kata kunci “Masyarakat Adat Manggarai,” Google hanya butuh waktu 0,23 detik untuk menampilkan 238 ribu informasi hasil pencarian frasa tersebut. 

Pikiran saya “tergelitik” dengan pertanyaan, apakah masyarakat di Kabupaten Manggarai – termasuk para pemimpinnya – mengakui adanya masyarakat adat saat ini? 

Sebagai “orang luar,” saya berpendapat bahwa eksistensi mereka nyata.

Sebagai bentuk penafian, tulisan ini tidak bermaksud mengulas aspek budaya dan atau antropologis Masyarakat Adat Manggarai, tetapi berangkat dari analisis ketersediaan instrumen kebijakan daerah.

Instrumen itu berisi upaya pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat sebagaimana telah ada di dalam United Nations Declaration on The Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) atau Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Masyarakat Adat dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, terutama Pasal 18 huruf B dan 28 huruf I. 

Secara ringkas, kewajiban atas pemajuan dan segala sesuatu terkait hak masyarakat adat menjadi tanggung jawab negara, yang dalam hal ini direpresentasikan oleh pemerintah. 

Tulisan ini merupakan bagian dari refleksi peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh pada 5 Juni. Sebab, ketika berbicara tentang lingkungan hidup, kita wajib membicarakan manusianya sebagai subyek utama lingkungan itu sendiri.

Saya ambil contoh wilayah Poco Leok yang secara administrasi masuk dalam wilayah Kecamatan Satar Mese. Dikelilingi oleh perbukitan dari setiap penjuru, Poco Leok mencakup 14 gendang atau kampung adat yang dihuni 4.596 jiwa-merujuk pada data Badan Pusat Statistik

Warga di tujuh gendang yang berhasil saya wawancarai mengakui bahwa mereka adalah masyarakat adat. Bisa jadi, di wilayah lain seperti Kecamatan Cibal, Lelak, Wae Rii dan Reok ada juga komunitas yang berpendirian sama, mengidentifikasikan dirinya sebagai masyarakat adat. 

Konsep masyarakat adat sebenarnya harus dimulai dari identifikasi sendiri oleh orang yang berkepentingan, dalam hal ini masyarakat itu sendiri, barulah kemudian ada proses administratif ataupun tahapan pengakuan dan perlindungan dari negara. 

Namun, penting dicatat bahwa belum adanya pengakuan administratif bukan berarti menafikan eksistensi masyarakat adat. Apabila ada fakta, maka fakta tersebut tidak boleh diingkari, tetapi diverifikasi. 

Petunjuk ini dapat ditemukan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. 

Kebijakan yang Belum Berpihak Terhadap Masyarakat Adat

Apakah Pemerintah Kabupaten Manggarai memahami konteks pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sebagaimana diatur di dalam instrumen hukum internasional dan nasional? 

Saya meyakini bahwa pemerintah tahu dan paham. Indikator sederhananya adalah bahwa di Kabupaten Manggarai telah terbit Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Penyelesaian Sengketa Berbasis Adat. 

Penting juga untuk diingat, Kabupaten Manggarai dulunya meliputi Manggarai Timur dan Barat sebelum dimekarkan. Pasca-pemekaran, pada tahun yang sama dengan keluarnya Perda tersebut, Kabupaten Manggarai Timur juga mengeluarkan Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pengakuan Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat. 

Dari kedua peristiwa ini, saya melihat ada kesenjangan kebijakan antara Kabupaten Manggarai dan Kabupaten Manggarai Timur. Basis argumentasinya sederhana, yaitu di Kabupaten Manggarai telah ada Perda Penyelesaian Sengketa Berbasis Adat, namun  belum ada Perda Masyarakat Adat. Bagaimana mungkin ada tanah adat tanpa ada masyarakat adat? 

Mungkin kurang pas jika dikatakan bahwa pemangku kekuasaan di Kabupaten Manggarai memiliki “cacat logika” terkait kebijakan publik. Namun, yang jelas ada “lompatan” pemahaman atas pengakuan dan perlindungan atas masyarakat adat di Kabupaten Manggarai. 

Padahal, tentu para pemegang kekuasaan, baik bupati maupun DPRD memahami kesenjangan konsep “masyarakat adat” dan “masyarakat hukum adat”. Kesenjangan tersebut memiliki implikasi hukum terhadap pemenuhan hak dasar masyarakat adat yang nyata hidup dan terus berjuang mempertahankan eksistensi mereka.

Saya tidak tahu apakah pernah ada upaya pembahasan terkait Rancangan Perda Masyarakat Adat di Kabupaten Manggarai. Entah ada ataupun belum, penting menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan untuk segera membahasnya.

Mengapa? Karena apabila tidak dilakukan, akan mengancam hilangnya 12 hak asasi masyarakat adat seperti hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam; hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat; hak ulayat; hak atas pengetahuan tradisional; hak atas pendidikan; hak atas kesehatan; hak atas lingkungan hidup; hak atas spiritualitas dan kebudayaan; hak untuk menentukan nasib sendiri; hak kolektif perempuan adat; hak atas pembangunan; dan hak untuk menjalankan pemerintahan. 

Mengacu dari hak-hak ini, masyarakat adat bisa menyimpulkan sendiri apakah pemerintah yang mereka percayai telah benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat, terutama kelompok rentan seperti masyarakat adat.

Dampak Positif Perda Masyarakat Adat

Adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat akan berkontribusi positif bagi Kabupaten Manggarai, seperti dalam hal investasi serta komitmen pemenuhan hak asasi manusia. 

Saya memahami bahwa dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah, bupati memiliki tanggung jawab besar untuk memajukan daerahnya. Pun demikian dengan adanya pendapat terkait peran swasta yang dibutuhkan untuk mengakselerasi tujuan tersebut. 

Akan tetapi, iklim investasi membutuhkan kepastian hukum dan kenyamanan. Kepastian hukum dalam bentuk regulasi tersebut idealnya juga memberikan kepastian hukum dan kenyamanan bagi masyarakat. 

Jika tidak terjadi, maka akan ada tendensi pemaksaan kehendak penguasa atas nama pembangunan yang justru mengakibatkan konflik kepentingan serta konflik sosial berkepanjangan. Hal ini tentu tidak baik bagi iklim investasi itu sendiri. 

Sebagai contoh adalah kasus pengembangan proyek geotermal atau panas bumi di Poco Leok, yang merupakan perluasan dari pembangkit listrik Ulumbu. Disadari atau tidak, pemerintah daerah seolah-olah meniadakan eksistensi adanya masyarakat adat di sana. Sementara, masyarakat memiliki pemahaman tentang kendali atas ruang hidup mereka. 

Meskipun adalah fakta bahwa ada masyarakat yang menerima dan menolak proyek itu, namun konteks Poco Leok sangat lekat dengan dimensi keberadaan masyarakat adat dan nilai-nilai yang hidup pada mereka. 

Bentuk pengakuan lainnya adalah fakta bahwa pendekatan pihak perusahaan dan pemerintah pada tahap sosialisasi proyek juga menggunakan pendekatan adat istiadat dan budaya setempat. 

Apa artinya? Jika terus dipaksakan, cara berpikir administratif tanpa mempertimbangkan adanya nilai yang hidup sebagai sumber hukum itu sendiri, potensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, khususnya terhadap masyarakat adat di Poco Leok, akan makin besar. 

Pelanggaran tersebut akan berdampak serius bagi setiap investor yang mau berpartisipasi dalam pembangunan, terutama investor yang berasal dari negara dengan tingkat kepatuhan tinggi terhadap hak asasi manusia. 

Perda diharapkan mampu menjadi jalan keluar bagi jaminan investasi dan penghormatan atas hak masyarakat adat. 

Bagaimana konstruksi berpikir Perda akan berdampak positif bagi investasi? Dasarnya adalah pendekatan kepatuhan berusaha (compliance) perusahaan – utamanya pihak asing –  yang condong kepada penghormatan hak asasi manusia.

Isu transisi energi misalnya mensyaratkan adanya perhatian khusus terhadap HAM, terutama warga terdampak dan lingkungan, sebagaimana diwujudkan dalam panduan dasar berusaha, yang sering dikenal dengan istilah safeguard, best practice guidance, accountability mechanism dan lain-lain. Tidak ada satupun perusahaan, utamanya yang peduli dengan nama baiknya, ingin berkonflik dengan masyarakat.

Di pihak lain, kita juga perlu mengkritisi pemikiran kita apakah hanya dengan investasi di wilayah adat maka kesejahteraan dan kemajuan dapat terwujud? Kesejahteraan dan kemajuan versi siapa?  

Yang ingin disampaikan di sini adalah adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan terhadap Masyarakat Adat tidak hanya melindungi pemerintah daerah dalam hal menjaga reputasi, tetapi juga dapat membantu pemerintah daerah mencapai kesejahteraan dengan cara lain karena adanya wilayah adat yang terlindungi. 

Pada era sekarang, pembangunan tidak lagi menggunakan pendekatan lama yang kental dengan cara pandang “adanya korban merupakan harga wajar yang harus dibayar demi pembangunan.” 

Akan tetapi kita harus berpegang pada prinsip-prinsip usaha yang memiliki perspektif hak asasi manusia. Bukankah demikian juga yang diinginkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Stranas BHAM)? 

Pembangunan bukan hanya soal adanya dialog yang bermartabat dan setara. Lebih dalam, pembangunan adalah soal makna kesejahteraan dalam kebebasan alam pikir setiap warga negara sebagai si pemberi mandat kekuasaan. 

Butuh keinginan politik yang baik dari para pembuat kebijakan. Masyarakat adat sudah teruji menjaga lingkungan agar lestari yang membawa manfaat bagi kehidupan. 

Menjadi kewajiban bagi setiap pihak untuk mendapatkan persetujuan mutlak dari si empunya wilayah atau lokasi pembangunan. Tidak cukup dengan adanya skema ganti kerugian.

Sebagai penutup, harapan terbesar dilayangkan kepada akademisi, masyarakat adat, pemerintah dan elemen masyarakat sipil untuk duduk bersama mempertimbangkan lahirnya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. 

Hal ini dapat menjadi langkah mitigasi konflik tenurial dan lingkungan hidup, pelaksanaan kewajiban negara serta memberikan kepastian hukum bagi semua pihak termasuk bagi rencana investasi dan rencana pembangunan daerah.

Jimmy Z. Ginting adalah advokat dan peneliti Terranusa Indonesia, organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu hak asasi manusia dan demokrasi.

Editor: Ryan Dagur

DUKUNG KAMI

Terima kasih telah membaca artikel kami.

Floresa adalah media independen. Setiap laporan kami lahir dari kerja keras rekan-rekan reporter dan editor yang terus berupaya merawat komitmen agar jurnalisme melayani kepentingan publik.

Kami menggalang dukungan publik, bagian dari cara untuk terus bertahan dan menjaga independensi.

Cara salurkan bantuan bisa dicek pada tautan ini: https://floresa.co/dukung-kami

Terima kasih untuk kawan-kawan yang telah mendukung kami.

Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel WhatsApp dengan klik di sini.

ARTIKEL PERPEKTIF LAINNYA

TRENDING