Floresa.co – Warga sebuah desa di Kecamatan Lembor Selatan, Kabupaten Manggarai Barat menyoroti ketimpangan pembangunan di kabupaten itu yang hanya berfokus di Labuan Bajo, sementara mereka bertahun-tahun dibiarkan “bertaruh nyawa” melewati sungai untuk beraktivitas.
Mereka pun berharap pemerintah kabupaten mewujudkan pemerataan pembangunan, termasuk membangun jembatan di desa mereka, Nanga Bere.
Abdul Harbin, warga desa itu yang berbicara kepada Floresa pada 31 Mei berkata, ketiadaan jembatan menghambat mobilitas mereka, termasuk dalam mengakses layanan pendidikan dan kesehatan.
Agar bisa sampai ke sekolah dan puskemas pembantu atau pustu, kata dia, warga di desanya harus melewati sungai Wae Mese yang lebarnya sekitar 50 meter.
Sungai itu menghubungkan beberapa kampung, termasuk Kampung Bangko dengan Nipa.
Setiap hari, kata dia, para siswa asal Kampung Bangko dan Wae Raja yang mengenyam pendidikan di SD Katolik Nisar dan SMPN 6 Lembor Selatan harus melewati sungai itu.
Kedua sekolah itu terletak di Kampung Weko dan “untuk sampai ke sana harus melewati Kampung Nipa.”
“Tidak ada jalur alternatif untuk sampai ke sekolah. Kalau hujan berhari-hari dan sungai meluap, mereka pulang lagi ke rumah,” katanya.
Abdul berkata, para siswa hanya berani melintas jika sungai itu tenang.
Kalau air naik atau banjir “mereka sama sekali tidak akan mengikuti kegiatan belajar-mengajar.”
Para siswa juga tidak bisa mengikuti kegiatan belajar-mengajar secara daring karena “jaringan komunikasi di sini buruk sekali.”
Sinyal internet dari menara BTS Bakti yang dibangun Kementerian Komunikasi dan Informasi, katanya, sering mati total.
Sungai Wae Mese merupakan salah satu sungai terbesar di desanya, selain sungai Rombang yang menghubungkan Kampung Kewitu dan Nanga Tangga.
Sungai Wae Mese, kata Abdul, juga kerap dilintasi warga ketika hendak pergi ke pustu di Kampung Weko.
“Warga yang hendak pergi ke pustu, seperti orang sakit dan ibu hamil, juga terpaksa menyeberangi Wae Mese yang banjir demi memperoleh pelayanan kesehatan,” ungkapnya.
Kesenjangan Pembangunan
Pembangunan jembatan pernah diusulkan warga dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa pada 2020, kata Abdul.
Namun sampai sekarang usulan itu belum direspons Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat.
Kepala Desa Nanga Bere, Huzaifa Sion, berkata, sejak 2021 pihaknya selalu mengusulkan hal ini dalam setiap musyawarah rencana pembangunan tingkat kecamatan [Musrenbangcam].
Pembangunan jembatan layang di Nanga Bere “harus menjadi program prioritas” Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, katanya.

Biasanya, kata dia, ketika Musrenbangcam, semua usulan dari desa diakomodasi untuk dibahas di dalam forum di level kabupaten yang membahas program kerja untuk tahun berjalan di setiap kecamatan dan dihadiri seluruh desa.
Rapat itu bertujuan untuk menginformasikan program kerja yang ditetapkan pemerintah daerah agar diketahui oleh setiap desa.
“Kemampuan kami di desa hanya sebatas memberikan usulan. Kalau belum diakomodasi, kita tidak bisa paksakan,” katanya.
“Mungkin belum ada anggaran sehingga belum direalisasikan,” tambahnya.
Abdul berkata pembangunan yang berkeadilan, demokratis dan merata tampaknya “hanya semboyan saja” karena pada kenyataannya jauh dari realitas.
Sampai saat ini pembangunan di kabupatennya masih berkonsentrasi di Labuan Bajo, katanya.
“Keadaan inilah yang dibilang masih jauh dari apa yang dicita-citakan dalam tujuan nasional kita, yaitu pemerintah melakukan pemerataan pembangunan,” katanya.
Situasi di Nanga Bere kontras dengan wajah kota Labuan Bajo yang dalam beberapa tahun terakhir selalu dikunjungi Presiden Joko Widodo bersama para pejabat lainnya dan telah menjadi sasaran berbagai proyek pembangunan, dengan kucuran dana triliunan rupiah.
Menurut data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, total anggaran penataan Labuan Bajo sejak 2019 hingga 2021 mencapai Rp1,4 triliun.
Dana itu dipakai untuk pembangunan berbagai infrastruktur, demi memoles Labuan Bajo sebagai tempat penyelenggaraan acara-acara nasional dan internasional.
Sejumlah infrastruktur yang dibangun berapa tahun terakhir adalah Puncak Waringin yang menjadi pusat suvenir, rumah tenun, amphitheater, ruang terbuka hijau dan area parkir.
Pada 2020, Kementerian PUPR juga membangun jalan ke arah selatan Labuan Bajo yang direncanakan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus.
Jalan sepanjang 25 kilometer itu dikerjakan dengan dana Rp481 miliar.
Proyek-proyek itu membuat wajah Labuan Bajo berubah drastis, hanya dalam beberapa tahun terakhir.
Sementara ketimpangan infrastruktur antara Labuan Bajo dan wilayah lain menganga, kemiskinan masih menjadi soal serius.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Manggarai Barat tahun 2022 adalah 49.947 jiwa atau 17,15 persen dari total 259.566 penduduk.
Jumlah ini memang menurun dari 51.150 jiwa atau 17,92 persen pada 2021. Namun, jumlah penduduk miskin ekstrem mengalami peningkatan. Terdapat 28.515 jiwa atau 9,79 persen penduduk miskin ekstrem pada 2022, meningkat dari 19.906 jiwa atau 6,98 persen pada 2021.
Dibanding tingkat kemiskinan di NTT yang 19,03 persen, Manggarai Barat memang masih berada di bawah. Tetap saja, tingkat kemiskinan itu masih jauh di atas rata-rata nasional 9,36 persen.
Abdul mengatakan salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah pembangunan infrastruktur yang merata, baik di kota maupun di pelosok.
Jika pembangunan sudah merata, kata dia, tentu aktivitas perekonomian di suatu desa dapat berjalan dengan baik.
Ia berharap pemerintah kabupaten memperhatikan kondisi infrastruktur di desanya supaya mobilitas warga lebih mudah.
“Jangan hanya monoton di Labuan Bajo. Kami yang di pelosok-pelosok juga butuh infrastruktur. Kami juga punya hak untuk infrastruktur,” katanya.
Editor: Ryan Dagur