Hormati Hak Perempuan Atas Tubuh, Harapan dari Peringatan Hari Perempuan Internasional di Labuan Bajo

Acara peringatan diisi dengan nobar dan diskusi film ‘Telur Setengah Matang’

Floresa.co – Puluhan perempuan di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat berkumpul di Rumah Kopi Kebun Kota pada Sabtu, akhir pekan lalu.

Mereka menggelar nobar dan diskusi film pendek Telur Setengah Matang, bagian dari peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret saban tahun.

Acara ini digelar oleh Puan Floresta Bicara, komunitas yang fokus pada diseminasi pengetahuan dan advokasi isu perempuan di Flores.

Suster Herdiana Randut, SSpS, biarawati Katolik yang menjadi koordinator komunitas itu berkata, acara ini merupakan bagian dari komitmen mereka untuk terus fokus pada upaya memperluas pembicaraan terkait hak-hak kaum perempuan, juga perlindungannya.

Selain menggelar rangkaian diskusi, baik daring maupun tatap muka, katanya, Puan Floresta Bicara juga telah ikut secara langsung membantu perempuan korban, baik korban kekerasan seksual maupun kekerasan dalam rumah tangga. 

“Dua masalah ini kerap kali terjadi pada perempuan,” katanya.

Para peserta diskusi yang didominasi perempuan dari sekolah dan kampus di Labuan Bajo. (Dokumentasi Floresa)

Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Dinas Sosial Manggarai Barat, Fatima Melani Rambing yang menjadi salah satu narasumber dalam diskusi secara khusus menyoroti banyaknya kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak yang dilaporkan ke dinasnya dan kepolisian, meski tidak merinci jumlahnya.

Ia sepakat bahwa siapapun pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak harus ditindak tegas dan “tidak ada kompromi” untuk itu.

Namun, katanya, seringkali yang menjadi masalah dalam penanganan kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual, adalah setelah dilaporkan terjadi upaya penyelesaian secara damai dengan pelaku.

“Orang tua pada akhirnya turut mengamini upaya damai ini,” katanya.

Padahal, jelas Fatima, undang-undang sudah secara tegas memberi perlindungan para korban dan hukuman bagi pelaku.

Ia mencontohkan Undang-Undang Perlindungan Anak yang menjamin perlindungan bagi anak korban kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, kendati seringkali ada klaim bahwa hal itu terjadi karena suka sama suka.

“Anak tidak punya kecakapan atau tanggung jawab yang cukup atas dirinya sendiri, sehingga ketika hal itu terjadi, dia harus dilindungi,” katanya.

Ia berkata, dinasnya telah melakukan sejumlah langkah untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

Beberapa di antaranya adalah lewat program pencegahan kekerasan pada anak dan program generasi berencana yang bertujuan mempersiapkan ketahanan mental anak-anak. Program-program ini telah dilaksanakan di lingkungan sekolah.

Devy Rosy, peneliti yang terlibat dalam produksi film Telur Setengah Matang menyinggung soal pembatasan hak berekspresi dan rentannya perempuan menjadi korban kekerasan seksual.

Tinggal selama beberapa bulan terakhir di Labuan Bajo, katanya, ia masih menemukan beragam model kekerasan, termasuk kekerasan verbal.

Ketika melihat ada perempuan yang mengenakan pakaian yang dianggap terlalu terbuka, kata dia, muncul komentar-komentar miring, hal yang mencerminkan cara pandang dan perlakuan yang masih diskriminatif dan melecehkan perempuan.

Otonomi Atas Tubuh, Soal Pelik yang Dihadapi Perempuan

Acara ini memicu diskusi hangat ketika mengurai soal isi film Telur Setengah Matang yang mengangkat isu aborsi untuk kehamilan yang tidak diinginkan.

Tokoh utama film berdurasi 16 menit 13 detik karya Reni Apriliana itu adalah Nisa, seorang siswi SMP yang hamil.

Seperti judulnya, telur diibaratkan sebagai sosok Nisa dan kuning telur yang setengah matang merupakan psikis Nisa yang belum siap hamil. 

Karena itu, ia berniat untuk melakukan aborsi. Namun, akses kesehatan reproduksi yang minim membuatnya kesulitan melancarkan niatnya. 

Di sisi lain, selain tidak memperoleh pertanggungjawaban dari pacarnya, Nisa dikeluarkan dari sekolah, membuat ia menghadapi kesulitan berlapis; hamil sekaligus terstigma negatif di tengah masyarakat. 

Diskusi digelar di Rumah Kopi Kebun Kota, tempat yang menawarkan ruang untuk berbagai aktivitas publik di Labuan Bajo. (Dokumentasi Floresa)

Devy Rosy berkata, secara biologis, siswi SMP itu sudah bisa untuk hamil, namun kematangan organ reproduksinya tidak beriringan dengan kesiapan sosial dan psikologisnya. 

Mengafirmasi adanya perdebatan soal aborsi dan penting tidaknya layanan aborsi bagi perempuan, Devy menekankan pandangannya bahwa film itu hendak menegaskan pentingnya perempuan memiliki hak atas tubuh.

Baginya, perempuan berhak untuk menentukan pilihan bagi mereka, termasuk dalam konteks film itu adalah mendapat ruang aborsi aman untuk kehamilan yang tidak diinginkan. 

Ia berkata, isu ini memang jadi perdebatan, terutama karena perempuan yang ketahuan melakukan aborsi dianggap melanggar norma agama.

Di sisi, lain upaya memperoleh keadilan dari negara dalam mendapat aborsi yang aman masih sulit di Indonesia.Stigma negatif sebagai tindakan kriminal hingga melanggar norma agama dilekatkan pada perempuan. 

Saat ini, aborsi di Indonesia hanya bisa dilakukan, bila ada indikasi medis pada keadaan darurat yang membahayakan ibu hamil dan janin.

Devy sempat mengajukan pertanyaan kepada Fatima, meminta tanggapannya, soal boleh tidaknya aborsi yang tidak diinginkan itu.

Merespons hal itu, Fatima berkata, aborsi untuk kehamilan yang tidak diinginkan bukan satu-satunya solusi, menekankan bahwa masih ada opsi lain yang bisa diambil.

“Ada kasus-kasus tertentu yang bisa diselesaikan dengan aborsi, namun tidak semua,” katanya, sembari mengingatkan bahwa ia tidak punya kapasitas untuk memberikan pernyataan rinci soal isu itu.

Namun, pada prinsipnya, kata dia, “aborsi adalah tindakan melawan hak asasi manusia” dan “bukan jalan yang bijaksana untuk melakukan aborsi.”

Kendati tidak mendukung aborsi, Fatima berkata, memaksa anak yang hamil untuk menikah juga bukan pilihan tepat, karena bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.

Ia menyatakan, pilihan terbaiknya adalah melindungi sekaligus, baik anak maupun bayi dalam kandungan.

Menanggapi itu, Devy berkata, kendati posisinya berbeda dengan Fatima, namun diskusi tersebut menjadi titik pijak yang baik bagi pembicaraan yang lebih luas soal penghormatan terhadap hak-hak perempuan, terutama soal otonomi atas tubuh.

Fransiska Juita dari Puan Floresta Bicara yang memoderatori acara tersebut berkata, sesi diskusi membuka wawasannya untuk membicarakan isu perempuan secara lebih luas.

Telur Setengah Matang, katanya, tidak sekadar menceritakan kehamilan yang tak diinginkan, tetapi juga menggambarkan sistem hukum dalam penanganan kasus hak-hak reproduksi perempuan.

Ia pun berharap isu kesehatan reproduksi dapat menjadi perhatian serius semua pihak, sehingga tidak lagi dianggap tabu untuk dibicarakan.

Editor: Ryan Dagur

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini. Gabung juga di Grup WhatsApp pembaca kami dengan klik di sini atau di Channel Whatsapp dengan klik di sini.

spot_img

BACA JUGA

BANYAK DIBACA