Mekeng akan Lapor Andi Narogong dan Nazarudin ke Bareskrim Polri

Jakarta, Floresa.co – Anggota DPR RI asal daerah pemilihan (dapil) Nusa Tenggara Timur (NTT) satu, Melchias Markus Mekeng membantah keterlibatannya dalam kasus proyek e-KTP, dimana ia disebut telah menerima uang 1,4 juta dolar Amerika Serikat.

Mempertegas bantahannya, ia akan mengambil langkah hukum terhadap mantan bendahara Partai Demokrat, Muhammad Nazarudin dan Direktur PT Cahaya Wijaya Kusuma, Andi Agustinus atau Narogong yang telah menyeret namanya ke dalam pusaran kasus tersebut.

Langkah tersebut diambil karena ia merasa telah difitnah oleh kedua orang tersebut.

“Nanti, Senin, pukul 10.00 WIB, kami akan melaporkan atas dugaan fitnah, pencemaran nama baik dan keterangan palsu di bawah sumpah,” ujar Mekeng di Restoran Pulau Dua, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat, 17 Maret 2017.

Mekeng menegaskan, dirinya tidak pernah kenal dan bertemu dengan Andi Agustinus, apalagi membahas soal uang sejumlah 1,4 juta dolar tersebut.

“Seumur hidup saya tidak kenal dan tidak pernah bertemu dengan Andi Agustinus atau Narogong,” tegasnya.

Politisi Partai Golkar tersebut juga mengaku tidak pernah berurusan dengan proyek yang menghabiskan uang negara sebesar Rp 6,3 triliun itu.

Mekeng yang menjadi Ketua Badang Anggaran (Banggar) DPR pada Juli 2010 hingga 12 Agustus 2012 mengatakan bahwa urusan e-KTP adalah usulan pemerintah yang anggarannya dibahas dan diputuskan pemerintah bersama Komisi II DPR.

Dan, di dalam UU yang mengatur tata cara bersidang, dikatakan bahwa setiap keputusan yang sudah diputuskan oleh Komisi, termasuk Komisi II, tidak boleh diubah oleh siapapun, termasuk Banggar.

“Banggar tugasnya hanya membahas postur APBN dengan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia,” kata Mekeng.

“Di dalamnya berisi tentang penerimaan negara seperti Pajak, PNBP, dividen, dan lain-lain, belanja negara dan menghitung berapa defisit anggaran yang harus ditutup oleh pinjaman/hutang,” lanjutnya.

Dia menambahkan, sangat naif dan tidak masuk akal untuk memberikan uang sangat besar kepadanya tanpa ada alasan apapun. Apalagi, jelasnya, ia tidak punya kuasa untuk menghentikan program e-KTP karena sudah diputuskan Komisi II dan pemerintah.

“Saya mensinyalir ada oknum koruptor yang sudah terindikasi ada 6 orang dalam dakwaan, ingin mengambil uang sebanyak-banyaknya dari rekening penampungan hasil korupsi mereka,” katanya. “Caranya dengan menjual nama saya sehingga ada justifikasi terhadap pengeluaran tersebut.”

Mekeng juga menduga, kasus ini melibatkan orang yang telah melakukan korupsi dalam jumlah besar, yang berusaha melempar tanggung jawab ke pihak lain termasuk ke dirinya, sehingga tanggung jawab orang tersebut bisa dibagi-bagi ke orang lain, yang sebenarnya tidak bersalah.

“Siapa mereka? Nanti kita lihat proses hukum. Jangan karena saya pernah Ketua Banggar, kemudian dituduh pernah ikut dalam kasus ini,” tegasnya.

Tolak Penggunaan Hak Angket

Lebih lanjut, Mekeng yang kini menjabat sebagai Ketua Komisi XI  menegaskan,  dirinya tidak setuju dengan usulan hak angket untuk menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.

Pasalnya, kasus tersebut sudah masuk di dalam ranah hukum dan sudah ditangani KPK.

“Saya tidak setuju dengan hak angket. Itu yang akan saya hadapi. Bagi saya, klarifikasi di meja hijau jauh lebih baik daripada di ranah politik. Basis data saya sudah punya. Saya siap ke Bareskrim pada hari Senin,” tegasnya.

Dia menilai, hak angket  lebih bersifat politis. Sementara kasus e-KTP merupakan kasus hukum yang penyelesaiannya melalui jalur hukum.

“Jika saya setuju hak angket, maka saya akan dibilang berlindung di balik hak angket, padahal saya tidak terlibat sama sekali. Biarlah kasus hukum diselesaikan dengan jalur hukum,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, pada persidangan pertama kasus E-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta, pekan lalu, nama Mekeng termasuk yang disebut dalam dakwaan.

Ini bukan kali pertama ia dituduh terlibat dalam kasus korupsi.

Sebelumnya, ia juga pernah dituduh menyalahi wewenang sebagai pemimpin Banggar dengan ikut ambil bagian dalam penyalahgunaan uang program Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPIP) pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2011. Proyek tersebut bernilai sekitar Rp 7,7 triliun.

Tuduhan dilontarkan mantan anggota Banggar dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Wa Ode Nurhayati, yang kemudian ditetapkan KPK sebagai tersangka.

Selain itu, ia juga pernah dipanggil KPK terkait dengan kasus suap wisma atlet di Hambalang, Bogor. Namanya disebut Muhammad Nazaruddin, terdakwa kasus tersebut. (Tin/ARJ/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini