Mahasiswa: Bupati Tote Stop Apatis dengan Masalah Guru THL

Borong, Floresa.co – Aktivis mahasiswa mendesak Bupati Manggarai Timur (Matim), Yosep Tote berhenti untuk apatis dan segera mengambil langkah tegas terkait polemik guru tenaga harian lepas (THL) yang berlarut-larut.

Firman Jaya dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) menyatakan, Tote mestinya peka terhadap masalah ini yang melibatkan bawahannya Kepala Dinas Pendidikan, Frederika Soch, apalagi telah terjadi pemecatan sejumlah guru.

Ia menyatakan, jika polemik ini tidak bisa berakhir, LMND bersama aktivis organisasi lainnya akan kembali melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di daerah itu.

“Kami akan bakar dua peti jenazah di kantor DPRD dan kantor bupati sebagai simbol matinya hati nurani DPRD dan bupati dalam menyelesaikan kasus ini,” katanya kepada Floresa.co di Borong, Kamis, 7 Juni 2018.

Desakan yang dialamatkan ke DPRD terkait rekomendasi Komisi C yang meminta agar Frederika dipecat dari posisinya.

Firman menilai, rekomendasi itu nyatanya tidak memiliki dampak apa-apa.

“Rekomendasi dari komisi C terkesan hanyalah rangkaian fiksi belaka, sebab mereka tidak mengawal dan terus mendesak bupati agar segera mencopot Frederika,” katanya.

Polemik THL di Matim berawal dari keputusan Frederika yang memangkas Rp 550.000 dari total gaji THL Rp 1.250.000. Dengan demikian, gaji mereka setara dengan gaji guru Bantuan Operasional Sekolah Daerah (Bosda), yakni Rp 700.000 per bulan.

Menurut Frederika, pemotongan gaji dilakukannya sesuai arahan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam penjelasannya, Frederika menyatakan, saat diperiksa oleh BPK, pihaknya diingatkan bahwa guru THL dan guru Bosda menjalankan tugas yang sama, dengan gaji dari sumber yang sama,  yakni APBD II.

BPK, kata dia, kemudian mewajibkan untuk memilih salah satu.

Ia menambahkan, jika guru THL 253 orang dan guru Bosda yang mencapai 2.407 orang digabung, yang jumlahnya mencapai 2.407 orang, pemerintah akan mengalami kekurangan dana Rp 15.886.200.000 untuk gaji.

Karena itu, jelasnya, mereka memilih menetapkan gaji Rp 700.000. Dengan harapan, kata dia, kalau keuangan daerah mampu mengisi kekurangan, tahun 2019 semua diberi gaji sesuai gaji THL sebelumnya.

“(Terkait) keluhan dan kesulitan kalian guru, kami juga sangat prihatin. Tetapi, aturan yang mengatur kita,” demikian penjelasannya seperti dikutip Voxntt.com. “Kita kerja pakai aturan, bukan pakai otot dan emosional,” tegasnya

Keputusan Kadis PK tersebut memicu aksi protes sejumlah guru THL dan aktivis mahasiswa. Menanggapi hal itu, Frederika memecat beberapa orang guru THL.

Kebijakan kontroversial itu membuat DPRD merespons dan mengambil kesimpulan bahwa Frederika melanggar kesepakatan bersama antara mereka dan pemerintah saat penetapan peraturan daerah untuk APBD 2018.

Melalui Komisi C, akhirnya DPRD Matim merekomendasikan agar Tote mencopot Frederika. Namun rekomendasi tersebut tak dijalankan dan penanganan kasus penurunan gaji dan pemecatan guru-guru THL tidak jelas.

Di tengah polemik ini, sejumlah guru THL yang mengklaim pernah mengikuti demo, menuai kontroversi baru, di mana mereka mengaku menyesal ikut dalam aksi itu.

Prudensia Nanggu, salah satu guru yang mengabdi di SDI Peot mengatakan pada Kamis, 7 Juni 2018, ia tidak tahu apa-apa saat mengikuti aksi, tetapi hanya mengikuti ajakan rekan-rekannya.

“Nanti kalau kami tidak ikut, kami dianggap tidak setia kawan,” katanya, sebagimana dilansir Florespost.co.

Ia menambahkan, akan segera menemui Kadis Frederika untuk minta maaf. Ia juga menyampaikan permohonan maaf kepada Bupati Tote karena saat aksi para guru telah mengeluarkan kata-kata kasar.

Langkah serupa juga diambil Lazarus Tugas, guru di SMPN V Kecamatan Lamba Leda. Ia mengaku telah menemui Frederika dan meminta maaf karena telah mengikuti aksi demonstrasi.

“Sebenarnya saya tidak tau apa-apa soal aksi itu. Saya tiba-tiba ditunjuk untuk menjadi koordinator aksi. Sebetulnya, saya belum mengetahui pokok persoalan yang menjadi dasar tuntutan,” katanya.

Menurutnya, saat diminta untuk membaca sejumlah poin tuntutan aksi, ia hanya membacakannya, “walaupun saya tidak mengetahui arti dari tiap tuntutan.”

“Saya tidak terlibat dalam proses penyusunan poin-poin tuntutan tersebut,” jelasnya.

Namun, Firman, yang merupakan kordinator lapangan aksi tersebut yang dilakukan bersama dengan GMNI dan para guru THL menyebut, pernyataan keduanya tidak sesuai fakta.

Firman Jaya. (Foto: dok. pribadi)

Prudensia, jelasnya, hanya ikut aksi satu kali, yaitu di DPRD Matim.

“Jangan sampai publik akan berpikir, selama ini Prudensia ikut aksi bersama GMNI ataupun LMND,” ungkapnya, sambil menyebut mereka dirugikan dengan pernyataan Prudensia.

Ia juga membantah adanya pemaksaan terhadap Prudensia untuk mengikuti aksi.

Firman juga membantah pernyataan Lazarus. “Saya katakan secara tegas itu tidak benar (bahwa ia sebagai kordinator aksi) karena guru Lasaruz sama sekali bukan kordinator,” katanya.

Yang menjadi kordinator dari pihak guru THL, kata dia, adalah Ito Jarot.

“Jadi, terkait pernyatan Lasarus sama sekali bukan mengatasnamai guru THL,” jelasnya.

Rosis Adir/EYS/Floresa

spot_img
spot_img

Artikel Terkini