Oleh: VAYAN YANUARIUS, Anggota Kelompok Minat Centro John Paul II Ritapiret, Maumere
Pada 22 Februari 2022, Floresa.co menurunkan laporan tentang perekrutan Tenaga Harian Lepas (THL) di Kabupaten Manggarai, NTT yang disebut dilakukan secara diam-diam. Disebutkan juga bahwa dari sekitar 100 THL yang menyebar di sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) itu, mereka adalah kerabat dekat pejabat, termasuk anak kandung wakil bupati, dan anggota tim sukses saat Pilkada 2020.
BACA: Perekrutan Diam-diam THL di Manggarai, NTT: Dari Anak Wakil Bupati Hingga Tim Sukses
Perekrutan itu terjadi ketika pemerintah pusat sudah mengagendakan penghapusan tenaga honorer di instansi pemerintah pada tahun 2023, sehingga ada larangan untuk perekrutan baru. Larangan itu tertuang dalam Pasal 8 PP Nomor 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, sementara ketentuan penghapusan tenaga honorer termaktub dalam Pasal 96 PP No. 49/2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Mengapa Pemerintah Kabupaten Manggarai kemudian tetap melakukan perekrutan THL baru itu dengan melabrak ketentuan yang ada?
Praktik seperti ini mengingatkan saya pada apa yang dalam ranah ilmu politik dikenal sebagai patronasi politik (political patronage). Dalam praktik patronasi ini, ada patron sebagai orang yang memiliki kekuasaan, status, wewenang dan pengaruh dan ada klien, orang yang menawarkan dukungan dan bantuan kepada patron, yang kemudian akan mendapat imbalan atas dukungan itu.
Ilmuwan politik seperti Aspinnal & Berenschot dalam buku berjudul Democracy for Sale: Election, Clientelism, and the State in Indonesia (2019) mendefinisikan patronasi politik sebagai praktik pembagian keuntungan atau sumber daya negara kepada masyarakat, baik berupa barang material, proyek maupun posisi atau jabatan pemerintahan sebagai bentuk balas budi kepada masyarakat karena telah berupaya memenangkan mereka dalam kontestasi elektoral. Dalam studi politik dan demokrasi, patronasi politik ini merupakan gejala anti-demokrasi, sebab berpotensi membatalkan hubungan berbasis aspirasi atau asosiasi kepentingan antara warga negara dengan pemerintah.
Patronasi politik memiliki varian bentuk. Aspinall dan Mada Sukmajati (2014) mengkategorikannya ke dalam empat bentuk, yakni vote buying (pembelian suara), individual gifts (pemberian-pemberian pribadi), services and activities (pelayanan dan aktivitas), dan club goods (barang-barang kelompok).
Model perekrutan THL di Kabupaten Manggarai, di mana pemimpin (patron) sedang membagi-bagi jatah sumber daya negara (menjadi THL) kepada para pendukung (klien) dan kerabat inilah yang saya golongkan sebagai bentuk dari praktik patronasi politik. Praktek ini beroperasi dalam dua model. Pertama, pemimpin memberi jatah kekuasaan kepada para broker/tim sukses yang telah bekerja mengerahkan sumber daya berupa dukungan finansial, sarana-prasarana untuk kesuksesan sang pemimpin saat pemilihan.
Kedua, pemberian jatah pekerjaan kepada keluarga atau kerabat dekat pemimpin. Sejauh amatan penulis, praktik patronasi ini sering kali berdampingan dengan praktik politik dinasti, di mana penguasa berupaya menempatkan keluarga, saudara dan kerabatnya pada jabatan-jabatan starategis.
Praktik ini tentu saja merupakan penyakit kronis dalam tubuh demokrasi kita, yang makin memperlambat bahkan menarik kembali ke belakang proses demokratisasi di tingkat lokal. Praktik ini setidaknya akan memuncul dua dampak sistemik.
Pertama, kinerja birokrasi sebagai mesin utama pelayanan publik akan semakin buruk. Sebagaimana yang telah diterangkan di atas, tersandera oleh relasi patron-klien, seorang pemimpin politik akan cenderung menyediakan lebih banyak pekerjaan kepada para pendukung, tanpa mempertimbangkan berbagai prosedur administrasi, aturan hukum serta pelaksanaan tugas. Kesetiaan politik klienlah yang lebih diutamakan ketimbang kompetensi serta hak-hak serta kebutuhan warga. Misalnya, THL dengan latar belakang guru diangkat menjadi Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), hanya karena ia adalah bagian dari tim sukses.
Idealnya – sebagaimana dalam prinsip sistem merit – perekrutan itu menempatkan secara adil dan wajar aspek kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, tanpa diskriminasi. Dengan cara ini, tidak ada lagi seseorang yang tiba-tiba menduduki jabatan tertentu tanpa rekam jejak dan kualifikasi yang memadai hanya karena ia memiliki kedekatan dengan penguasa (patron).
Kedua, membuka peluang yang besar bagi bertumbuh suburnya praktik korupsi berlapis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pada lapisan pertama, pemimpin politik, dalam hal ini bupati/wakil bupati sepenuhnya akan memanfaatkan kekuasaan untuk menjaga dukungan lingkaran klien yang telah ditarik masuk ke dalam birokrasi melalui bagi-bagi jatah proyek dan sebagainya.
Sementara pada lapisan kedua, sang klien yang telah menempati posisi/jabatan tertentu akan dengan segala cara menerabas regulasi, mengkapling sumber-sumber daya milik negara untuk tetap merawat kepentingan masyarakat pendukung (gerombolan klien) agar tetap memberikan dukungan pada ajang elektoral berikut. Upaya untuk tetap merawat relasi saling menguntungkan ini menjadi lahan subur praktik korupsi.
Wajah demokrasi seperti ini kiranya penting untuk disikapi. Saya menawarkan tiga hal berikut.
Pertama, optimalisasi peran partai politik sebagai elemen penting demokratisasi. Partai politik menjadi salah satu pemicu munculnya praktik patronasi ini. Hal itu terjadi karena selama ini partai politik kita, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, semata hanya menjalankan fungsi sebagai kendaraan politik menuju kekuasaan. Selain itu, kaderisasi berlangsung dalam sistem yang patronistik dan karena itu sangat jauh dari semangat kompetensi politik. Sistem yang diterapkan oleh partai politik dalam menjaring sosok-sosok yang akan maju dalam ajang elektoral juga masih melanggengkan praktek patronasi. Sementara fungsi sebagai bagian penting dari spirit politik kewargaan nyaris tak muncul. Bersamaan dengan itu para politisi lebih banyak terjerat skandal korupsi-kekuasaan demi biaya politik dan memperkaya diri. Ketiadaan peran kritis macam ini, membuat proses elektoral kita rentan dibajak praktik-praktik yang anti-demokrasi.
Kedua, pentingnya ketaatan pada aturan-aturan hukum sebagai langkah penting memperkuat proses demokratisasi. Dalam konteks perekrutan THL, pemerintah juga perlu memikirkan strategi jangka panjang soal pentingnya regulasi di tingkat daerah yang mengedepankan prinsip-prinsip profesionalitas, kompetensi, keahlian dan kinerja sebagai prasyarat penting yang membentuk habitus kerja birokrasi.
Ketiga, dalam skala yang lebih luas, perlu adanya kontrol sosial dari masyarakat terhadap praktik penyelenggaraan pemerintahan kita. Partisipasi masyarakat dalam politik daerah bukan hanya pada saat kontestasi politik saja, tetapi sepanjang pemerintahan itu berjalan. Hal ini penting untuk mengontrol agar pemerintah tidak sewenang-wenang mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan segelintir orang.