MA Menangkan Warga Lengko Lolok, Manggarai Timur dalam Sengketa Izin Tambang, ‘Kabar Gembira’ untuk Gerakan Tolak Tambang

Putusan ini yang bisa diakses publik pada 19 Oktober 2022 itu, dinilai banyak pihak sebagai kabar gembira bagi upaya masyakat kecil yang berjuang bagi ruang hidup mereka.

Baca Juga

Floresa.co – Mahkamah Agung [MA] memutuskan mengabulkan gugatan kasasi warga Kampung Lengko Lolok di Kabupaten Manggarai Timur terkait izin tambang dan izin lingkungan yang dikeluarkan pemerintah provinsi dan kabupaten di kampung mereka.

Dalam putusannya, MA menyatakan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Bukan Logam yang diberikan kepada PT Istindo Mitra Manggarai [PT IMM] tertanggal 25 November 2020 oleh Dinas Penanaman  Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi NTT adalah tidak sah.

Demikian juga halnya dengan Izin Lingkungan yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur menjadi tidak sah.

Putusan itu tertera dalam surat pada tanggal 17 Oktober 2022 yang disampaikan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] Kupang.

Surat itu menerangkan isi Putusan MA Nomor 450 K/TUN/LH/2022 tanggal 19 Agustus 2022, yang memenangkan permohonan kasasi Isfridus Sota dan Bonefasius Yudent, perwakilan dua warga Lengko Lolok yang menolak izin tambang itu.

Dalam putusannya, MA membatalkan Putusan PTUN Surabaya tanggal 2 Maret 2022 yang menguatkan putusan PTUN Kupang tanggal 11 November 2021, yang isinya menolak gugatan Isfridus dan Bonefasius.

Putusan ini yang bisa diakses publik pada 19 Oktober 2022, dinilai banyak pihak sebagai kabar gembira bagi upaya masyakat kecil yang yang berjuang bagi ruang hidup mereka.

Valens Dulmin, salah satu pengacara yang mendampingi warga Lengko Lolok dalam gugatan ini menyebut putusan MA sebagai “kabar gembira tidak saja bagi warga Lengko Lolok yang selama ini berjuang menyelamatkan kehidupan mereka dari ancaman kehancuran, tetapi juga bagi gerakan tolak tambang di Flores secara umum.”

“Kami betul-betul senang setelah mendengar putusan ini. Kami merasa perjuangan warga Lengko Lolok akhirnya bisa menghasilkan buah,” katanya kepada Floresa.co.

Sementara itu Rikard Rahmat, seorang warga asal Manggarai yang ikut dalam gerakan publik menentang kehadiran pertambangan di Lengko Lolok mengatakan ia sebenarnya “tidak begitu berharap menang setelah warga kalah di PTUN.”

“Tapi, melalui keputusan ini, ada secercah keyakinan bahwa ruang pengadilan masih bisa dipakai untuk mencari keadilan dan kebenaran,” katanya kepada Floresa.co.

Dengan putusan ini, kata dia, dari sisi legalitas, jelas sekali tidak ada dasar untuk melanjutkan kebijakan pertambangan di Manggarai Timur, khususnya di Lengko Lolok dan Luwuk, kampung di dekatnya.

“Kalau sisi legitimasi kan sudah lebih jelas lagi sejak awal, bahwa rakyat menolak kebijakan yang tidak jelas, tidak masuk akal, dan merusak ini,” katanya.

Wacana kehadiran perusahaan tambang batu gamping di Lengko Lolok mulai ramai dibicarakan sejak kabar adanya izin dari pemerintah provinsi sampai ke publik. Selain izin tambang, di tempat yang sama, pemerintah juga hendak menghadirkan pabrik semen milik PT Semen Singa Merah NTT, yang akan mengolah bahan baku dari tambang batu gamping.

Izin tambang itu berada di wilayah seluas 585,33 hektar yang merupakan wilayah pertanian lahan kering dan merupakan daerah karst  yang dilindungi, hal yang memicu protes dari banyak elemen.

Beberapa di antara kelompok yang ikut dalam gelombang protes adalah Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia [PMKRI], Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia [GMNI], warga Manggarai Diaspora serta Gereja Katolik Keuskupan Ruteng.

Kelompok lainnya adalah JPIC-OFM Indonesia, JPIC SVD, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTT, Sunspirit for Justice and Peace, Komunitas Pemuda Penjaga dan Pelindung Kampung Flores, Generasi Muda Manggarai, Aliansi Mahasiswa Manggarai Raya (AMMARA) Kupang, Himpunan Pelajar dan Mahasiswa Manggarai Timur (Hipmmatim) Kupang.

Namun, upaya itu, yang juga dilakukan dalam bentuk aksi demonstrasi di berbagai kota gagal menghentikan upaya pemerintah provinsi, yang juga didukung oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur.

Hal itu membuat warga Lengko Lolok mengajukan gugatan lewat PTUN. Mereka dibantu oleh sejumlah pengacara, termasuk Romo Marthen Jenarut, advokat yang juga Ketua Komisi JPIC-Keuskupan Ruteng. Pengacara lain adalah Valens Dulmin, Vitalis Jenarus dan Elias Sumardi Dabur.

Dalam argumen gugatan yang diakses Floresa.co, mereka berargumen bahwa wilayah Lengko Lolok dan sekitarnya memiliki peran vital itu bagi keselamatan lingkungan, yang juga telah diakui sendiri oleh pemerintah dengan SK.8/MENLHK SETJEN/PLA.3/2018, di mana wilayah itu menjadi bagian dari ekoregion karst di wilayah Flores yang harus dilindungi.

Mereka juga menyatakan dokumen lingkungan PT IMM cacat administrasi dan bertentangan dengan rencana tata ruang Kabupaten Manggarai Timur serta mengabaikan warga yang akan terkena dampak langsung aktivitas pertambangan.

Argumen lain adalah kesepakatan antara PT. IMM dan PT. Semen Singa Merah NTT dengan warga Kampung Lengko Lolok yang penuh manipulasi dan bukti-bukti yang diajukan oleh PT. IMM sama sekali tidak sesuai dengan fakta lapangan.

Mereka menyatakan, hal yang diabaikan oleh PT. IMM adalah bahwa masyarakat Lengko Lolok menolak untuk pindah kampung, namun dalam kesepakatan awal yang dibuat perusahaan, dinyatakan bahwa warga bersedia pindah kampung.

Selain itu, dalam kesepakatan tersebut tidak tercantum tanda tangan isteri atau para isteri tidak memberikan persetujuan terkait pelepasan aset, sedangkan objek perjanjian menyangkut harta bersama suami isteri dalam perkawinan sehingga perjanjian tersebut tidak sah.

Namun, gugatan mereka ditolak oleh PTUN Kupang tanggal 11 November 2021, yang membuat mereka mengajukan banding ke PTUN Surabaya. Dalam putusan pada 2 Maret 2022, PTUN Surabaya menolak banding warga dan memperkuat putusan PTUN Kupang.

Valens menyatakan, putusan MA yang memenangkan kasasi mereka telah “menempatkan masa depan lingkungan sebagai pertimbangan utama.”

“MA telah menjadikan kehidupan masyarakat di Lengko Lolok dan sekitarnya yang terancam dengan kehadiran pertambangan itu sebagai hal yang pertama-tama mesti diperhitungkan,” katanya.

Sementara, bagi Rikard, kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah, khususnya di Manggarai Raya, agar sebelum diimplementasikan, “sebuah kebijakan harus dikaji dengan benar, bijaksana, transparan, dan melibatkan rakyat.”

“Sikap merasa tahu dan benar sendiri bukan zamannya lagi, dan karena itu sudah saatnya dibuang jauh-jauh,” katanya.

Ia mengatakan, daripada mencari cara instan dengan membuka pintu bagi izin tambang di wilayah Flores yang masyarakatnya mayoritas bergantung pada sektor agraris, pemerintah “perlu fokus menggarap sektor pertanian, pariwisata, dan kelautan.”

BACA JUGA: Meski Warga Lengko Lolok, NTT Menang Kasasi Terkait Izin Tambang di MA, Masyarakat Sipil Ingatkan Ini Bukan Akhir Perjuangan

“Itulah tulang punggung ekonomi masyarakat. Pemerintah daerah harus kerja lebih keras lagi untuk wujudkan itu,” katanya.

Terkini