Dukungan Mengalir untuk Siswi SMK di Manggarai, NTT yang Berani Lapor Pelecehan Seksual oleh Guru Mereka

"Kesadaran melapor kejadian pelecehan seksual bagi korban, terutama kelompok perempuan yang diasosiasikan sebagai kelas kedua di lingkungan patriarkal seperti di Flores, mestinya terus didorong."

Floresa.co –  Langkah para siswi di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan [SMK] Negeri di Kabupaten Manggarai, NTT yang melaporkan guru mereka terkait kasus pelecehan seksual mendapat dukungan dari sejumlah pihak, yang diapresiasi sebagai sebuah tindakan berani dan patut dicontoh.

“Tentu tidak mudah buat mereka maupun korban pelecehan lain untuk melapor kejadian tersebut apalagi dengan ancaman yang [pernah] diberikan terang-terangan oleh terduga pelaku,” kata Elisabeth H. Dinan, seorang peneliti di Sunspirit for Justice and Peace yang selama ini terlihat dalam gerakan pemberdayaan perempuan di wilayah Flores.

Ney – sapaannya – mengomentari langkah lima siswi itu yang melapor guru mereka MS ke Polres Manggarai pada Sabtu, 10 Desember. Langkah itu mereka tempuh setelah sebelumnya mendesak sekolah memberhentikan Guru Mata Pelajaran Agama Katolik itu yang mereka tuding melakukan pelecehan seksual terhadap mereka.

Dari informasi yang diperoleh Floresa.co, setidaknya 17 siswi yang mengaku dilecehkan oleh MS. Salah satu di antara korban yang diwawancarai Floresa.co mengaku sempat diancam akan dilapor balik oleh MS jika mereka membawa kasus ini ke polisi.

Ney mengatakan, kesadaran melapor kejadian pelecehan seksual bagi korban, terutama kelompok perempuan yang diasosiasikan sebagai kelas kedua di lingkungan patriarkal seperti di Flores, mestinya terus didorong.

“Di Flores dan NTT secara luas, banyak kasus didiamkan karena korban takut mendapat stigma buruk yang disematkan dengan mudah oleh lingkungan sekitar,” katanya kepada Floresa.co.

“Kita masih punya banyak pekerjaan rumah untuk menciptakan ruang aman bagi korban-korban untuk speak up (berani berbicara),” tambahnya.

Ia menyoroti reaksi atau komentar-komentar dominan yang seringkali muncul terhadap kasus-kasus seperti ini, yang kata dia, “alih-alih menciptakan ruang aman bagi korban, malah menyudutkan mereka secara sepihak.”

“Dan ini biasanya yang sering menjadi pemicu mengapa korban diam-diam dan tidak berani bersuara,” katanya.

Tantangan lain, kata Ney, ketika korban melaporkan ke keluarga, maka jalan yang ditempuh kemudian adalah “diselesaikan secara kekeluargaan.”

“Kita jarang memikirkan dampak psikologis yang diterima oleh korban pasca kejadian tersebut dan menganggap urus secara ‘kekeluargaan’ sebagai solusi,” katanya.

Ia menyatakan, selain menyelesaikan kasus ini secara hukum dan juga pendampingan serius kepada korban yang mengalami trauma, “sanksi sosial juga penting untuk memastikan terduga pelaku tidak mengulangi lagi tindakannya.”

“Perlu dimasukkan ke dalam black list (daftar hitam) dari sekolah-sekolah untuk tidak memberi ruang baginya untuk mengajar. Tidak ada yang menjamin dia berhenti dari sekolah A dan tidak melakukan lagi di sekolah B,” katanya.

Ia merujuk pada riwayat MS yang pernah membuat pernyataan untuk tidak mengulangi lagi tindakannya, tapi “toh berakhir hanya sebuah perjanjian di atas kertas.”

“Sekolah-sekolah juga perlu tegas mengambil langkah untuk menghentikan kasus begini,” tambahnya.

Ney juga menyoroti soal pentingnya dukungan media dalam melaporkan kasus seperti ini agar betul-betul mempertimbangkan kepentingan korban.

“Saya salut bagaimana Floresa.co mengemas berita ini dengan menyebut korban sebagai A, B, C, dengan tidak membuat inisial dari nama-nama lengkap korban,” katanya.

“Menurut saya, itu bentuk kepekaan dan upaya pelindungan Floresa.co terhadap korban,” tambah Ney.

Ia mengatakan, tidak jarang media yang meliput kasus seperti ini berkontribusi pada melemahnya kepercayaan korban untuk melaporkan apa yang dialami.

“Coba cek saja saja media yang jelas mengumbar identitas korban, baik dari inisial nama, foto maupun alamat yang jelas. Kejadian-kejadian begini yang sering membuat korban ragu untuk melapor,” katanya.

“Sangat perlu seorang penulis menempatkan dirinya dari perspektif  korban, melindungi korban dengan mempertimbangkan serius dan adil apa yang ditulisnya,” katanya.

Di media sosial Floresa.co, kasus ini mendapat banyak perhatian.

Aloysius Narto Mat, menulis dalam komentar di Halaman Facebook Floresa.co bahwa ia “mengagumi keberanian” para siswi yang melapor MS.

“Kasus ini amat serius, maka penyelesaiannya juga mesti dilakukan dengan adil. Bisa jadi, ini awal yang baik untuk membuka berbagai kasus kekerasan seksual di sekitar kita,” tulisnya.

Andreas Harsono, aktivis dan peneliti dari Human Right Watch lembaga pemerhati hak asasi manusia berbasis di New York, Amerika Serikat mengunggah tautan berita dari Floresa.co di akun Twitternya.

Sementara itu, lewat akun Twitter, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan [Komnas Perempuan] juga menyatakan mereka sedang mendalami informasi kasus ini dan meminta untuk memberitahu mereka informasi-informasi tambahan.

Kasus ini sedang ditangani Polres Manggarai. Iptu Hendrick Rizqi Arko Bahtera, Kepala Satuan Reserse dan Kriminal di Polres Manggarai berjanji siap mendalami laporan para siswi.

Floresa.co sempat mewawancarai tiga di antaranya yang namanya kami rahasiakan untuk pertimbangan keamanan dan kenyamanan.

Korban A mengaku setiap kali masuk kelas MS selalu mencubit pipinya dan pernah memeluknya saat sedang sendirian di kelas sambil mengelus pundak, tengkuk hingga lehernya.

Saat sedang mengajar, kata dia, MS juga sering menjelaskan hal-hal bernuansa pornografi yang jauh dari tema pembelajaran. Bahkan dalam suatu kesempatan, MS menjelaskan hubungan seks suami-istri dengan mencontohkan A sebagai istrinya.

Sementara korban B mengaku bajunya pernah ditarik, lalu dipeluk dari belakang oleh MS. Ia sempat menegur MS bahwa tindakan demikian “tidak wajar dilakukan seorang guru terhadap muridnya.”

Sementara korban C mengatakan ia dan teman-temannya sempat diancam oleh MS usai mereka melaporkan kasus ini ke Guru Bimbingan Konseling hingga kepala sekolah.

Ketika dikonfirmasi Floresa.co pada 11 Desember terkait laporan terhadap tindakannya, MS mengklaim bahwa laporan para siswi itu “merupakan tuduhan semata.”

Sementara itu,  dari dokumen yang diperoleh Floresa.co, MS pernah membuat surat pernyataan pada 25 Oktober 2022 ketika pihak sekolah pertama kali menindaklanjuti laporan para siswa terkait tindakannya.

Dalam surat itu ia membenarkan pengakuan muridnya dan  menyatakan “akan mengubah sikap dan tingkah laku” serta “siap terima sanksi jika hal ini dilanggar.”

MS telah diberhentikan dari sekolahnya pada 5 Desember, menyusul desakan para korban.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini