BerandaNARASIKebijakan Politik Publik Berwawasan...

Kebijakan Politik Publik Berwawasan Ekologis untuk NTT; Inspirasi dari Sepeda di Den Haag

Oleh: Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, Direktur Wahana Lingkungan Hidup cabang Nusa Tenggara Timur

Den Haag. Kota yang pada tahun 1990-an saya hanya baca dan dengar dalam Pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Pada 23 Agustus 1949, di kota ini tempat penyelenggaran Konferensi Meja Bundar. Salah satu hasil monumental bagi Indonesia dalam perjanjian ini adalah Belanda menyerahkan sepenuhnya kedaulatan atas Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat. Kedaulatan itu tidak dapat dicabut kembali.

Dari stasiun di Kawasan Bandara Schipol, Amsterdam, saya dan teman-teman yang datang ke Belanda untuk acara pameran produk wilayah kelola rakyat dalam Tong Tong Fair, menuju kota ini kurang lebih 15 menit. Perjalanan dengan kereta, tentunya.

Setibanya di Stasiun Den Haag Centraal, kami melihat daerah sekitar yang dipenuhi dengan para pesepeda. Mereka lalu lalang. Tidak mengejutkan, karena sebelum berangkat ke Negeri Kincir Angin ini, saya telah membaca secuil tentang kota ini. Den Haag adalah tempat sempurna untuk dijelajahi dengan sepeda.

Warga Belanda yang bergerombol dengan sepeda mereka. (Dokumentasi Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi)

Sempurna karena?  Pertama, kota ini memiliki jaringan jalur sepeda yang tersebar luas. Seantero kota ramah dengan pengendara sepeda.

Kedua, kota ini sejuk dan datar  – kategori dingin untuk iklim Indonesia. Jadi, tidak mudah kelelahan. Saat sepanjang hari berjalan kaki kurang lebih 9-12 km, saya praktis tidak merasa lelah. Bahkan, cukup sulit berkeringat di kota ini.

Ketiga, kota ini memiliki berbagai destinasi sejarah yang menarik. Mulai dari bangunan pemerintahan, bangunan pendidikan hingga taman kota. Dua di antaranya adalah Istana Noordeinde dan Katedral St. Jacob, yang memancarkan keindahan arsitektur yang klasik.

Berikutnya, parkiran sepeda yang nyaman tersebar secara rapi di berbagai penjuru kota. Parkiran ditata dengan apik. Menurut cerita orang yang memandu kami, di kota ini bahkan ada parkiran yang bisa menampung ribuan sepeda. NL Times menyebut Den Haag adalah pemilik parkiran sepeda terbesar kedua di dunia.

Salah satu parkiran sepeda di Den Haag. (Dokumentasi Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi)

Bersepeda di sini tidak mengenal kelas sosial. Semua kalangan dari berbagai instansi pemerintah, sekolah, kampus, karyawan swasta hingga pengusaha bersepeda. Mulai dari sepeda yang murah, hingga yang mahal sudah jadi pemandangan yang lazim di sini.

Potret kolosal keindahan bersepeda di sini bukan karena hobi. Namun, kebiasaan yang sudah ada sejak lama dan memang dirancang untuk demikian adanya.

Kebijakan Publik Bersepeda yang Inspiratif

Gerakan bersepeda di Belanda memang dirancang melalui mekanisme kebijakan publik. Bahkan, sejak awal abad ke-20 di Eropa bersepeda sudah jadi tren.

Secuil sejarah, pada era 1970-an Belanda dilanda polusi udara dan kemacetan lalu lintas yang memburuk.

Pemerintah kemudian mempromosikan kebijakan solutif bersepeda.  Pemerintah mulai membangun jalur bersepeda dan melakukan kampanye massal bersepeda sebagai tranportasi sehari hari di kota.

Pada 1980-an, pemerintah mulai memperkenalkan konsep “fietsplan” (rencana sepeda). Ini merupakan kebijakan yang memberikan insentif bagi pekerja yang membeli sepeda baru dan digunakan dalam perjalanan ke tempat kerja.

Kebijakan ini telah meningkatkan jumlah pengguna transportasi sepeda di Belanda berkali-kali lipat.

Selanjutnya, pemerintah makin memperkuat keamanan dan kenyamanan bersepeda. Mereka memperluas jaringan jalur bersepeda. Membangun fasilitas-fasilitas parkiran sepeda yang baik.

Konsekuensinya, alokasi anggaran untuk bersepeda diperbesar. Pemerintah mengambil resiko itu dan turun tangan mengeluarkan kebijakan mengurangi kendaraan bermotor.

Jadilah Den Haag yang saya saksikan dengan mata kepala hari ini.

Kondisi ini makin mempertegas betapa berdampaknya kebijakan politik publik terhadap wajah kota (negara) dan masyarakat di dalamnya. Kebijakan yang peduli pada keselamatan rakyat dan keberlanjutan lingkungan harus jadi komitmen bersama.

Kita bisa dapat inspirasi dari praktik baik pemerintah di sini untuk mencegah pemburukan situasi kota dan ekologi.

Pesepeda di Den Haag. (Dokumentasi Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi)

Bagaimana dengan NTT?

Seketika saya membayangkan NTT. Bukan soal bersepeda, tapi soal kebijakan publik yang berwawasan ekologis.

Sebagai provinsi kepulauan, saya bayangkan ke depan NTT memiliki kebijakan publik yang memastikan keselamatan warga dalam mengarungi lautan.

Misalnya, kebijakan wajib pelampung di semua alat transportasi laut atau kebijakan stop pembuangan limbah dan sampah di laut.

Saya membayangkan NTT memiliki kebijakan publik perlindungan dan penyebarluasan konsumsi pangan lokal secara sistematis.

Saya yakin, masyarakat punya mimpi yang sama terhadap keberlanjutan daya dukung alam di NTT.

Artikel Terkini